[caption id="attachment_405326" align="aligncenter" width="620" caption="Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh hadir memberi kesaksian untuk terdakwa Muhammad Nazaruddin di Pengadiloan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (15/2/2012). Angelina Sondakh membantah memiliki BlackBerry dan tidak mengakui semua isi pesan komunikasi dalam BlackBerry tersebut saat dipertanyakan dalam persidangan.kompas.com"][/caption]
Ada sejumlah pertanyaan terkait kejahatan korupsi yang sulit untuk dijawab. Laiknya pertanyaan tentang korban yang ditimbulkan dari suatu kejahatan lain. Siapakah korban korupsi? Lebih praktis lagi, siapakah korban korupsi proyek Hambalang? Hampir tidak ada yang mampu menjawabnya secara faktual: siapa, berapa jumlahnya, bagaimana kondisi para korban dan di mana korban berada. Lebih sering dijawab dengan nada retorik: korban korupsi adalah rakyat, publik atau masyarakat.
Jika yang dirugikan masyarakat, siapa masyarakat itu? Masyarakat adalah orang banyak yang tidak punya wajah alias anonim. Bila pemiliknya anonim, mengapa harus merasa bersalah karena yang dirugikan tidak kelihatan. Lebih sulit lagi ketentuan hukum merumuskan bahwa kejahatan korupsi merugikan keuangan negara. Jika demikian adakah hubungan kepemilikan langsung antara uang yang dikorupsi (milik negara) dengan masyarakat?
Karena pisau analisis bersumber pada ketentuan hukum berupa kerugian keuangan negara, indikator yang digunakan dengan menghitung nilai kerugian negara berdasarkan audit keuangan seperti laporan atau temuan BPK. Pisau analisis digunakan hingga pada taraf pembuktian dan menghitung besarnya ganti kerugian yang dimasukkan dalam tuntutan jaksa atau vonis hakim. Dalam rangka mengembalikan aset yang dicuri ke kas negara. Pada bagian ini, masyarakat yang katanya ditempatkan sebagai korban kejahatan korupsi hampir tidak berkaitan langsung dengan proses pengembalian kerugian negara yang dicuri itu.
Makin sulit lagi ketika menempatkan kejahatan korupsi dalam marwah elite dengan sebutan kejahatan kerah putih. Stigma ini sesungguhnya telah meringankan beban pelaku korupsi yang sungguh timpang dengan kejahatan pencuri ayam. Dengan sebutan elite itu, pelaku kejahatan korupsi “haram hukumnya” untuk dianiyaya atau diamuk massa seperti kejahatan begal motor. Meski kerugian dan petaka yang diakibatkan lebih dahsyat. Apalagi korban kejahatan korupsi baik bernama masyarakat atau negara tidak berwajah secara pribadi. Tidak bisa menangis sedih sebagai korban kejahatan. Itulah mengapa para tersangka, terdakwa, dan terpidana kejahatan korupsi masih bisa tampil di depan publik dengan senyum dan wajah tanpa dosa.
Pembenaran tindakan kejahatan korupsi kemudian ditutup dengan alasan-alasan “demi masyarakat” juga. Misalnya para pejabat yang memeras (meminta suap) para pengusaha atau konglomerat karena adanya anggapan bahwa kekayaan para konglomerat itu diperoleh juga dari cara-cara yang tidak halal. Seperti mengemplang pajak atau tidak melunasi hutang di bank. Dengan cara seperti ini muncul istilah “memeras pemeras”, “merampok perampok”. Daripada uang itu dilarikan konglomerat ke luar negeri, lebih baik “diperas” untuk dibelanjakan di dalam negeri sendiri. Apalagi uang hasil korupsi (suap) hanya kecil dibandingkan dengan utang yang dikemplang konglomerat.Bila konglomerat tidak dihukum, mengapa korupsi yang lebih kecil diungkit?
Pembenaran lainnya, uang hasil korupsi dialirkan dan dibelanjakan sebagian untuk kegiatan-kegiatan amal sosial. Diperuntukan keperluan orang banyak seperti membangun rumah ibadah, membantu korban banjir, menyumbang rumah yatim, dan bahkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan dengan membangun perusahaan. Banyak pengangguran menemukan pekerjaan dan kehidupan banyak keluarga terselamatkan. Semua ini berkat hasil korupsi.
Dengan tindakan “amal” seperti itu, para pelaku kejahatan korupsi dinyatakan sebagai pahlawan Robin Hood. Melakukan kejahatan demi kebaikan semua orang. Maka tidak mengherankan jika para pelaku kejahatan korupsi merasa sudah melakukan “penebusan dosa”. Penebusan dosa yang kemudian turut dibenarkan oleh kalangan agamawan dengan petuah dan nasihat sucinya “bersabarlah akan cobaan Tuhan”. Seakan tidak bisa membedakan mana cobaan, mana adzab.
Pendek kata analisis kejahatan korupsi dari pandangan kriminologi gagal menemukan keterkaitan antara pelaku kejahatan dengan urusan agama. Alim atau tidaknya seseorang. Gagal menemukan hubungan antara pelaku dengan tingkat pendidikan. Gagal menemukan hubungan antara pelaku dengan derajat kesejahteraan hidup. Karena fakta-fakta menunjukkan pelaku kejahatan korupsi mendera siapa saja: orang yang alim beribadah, tingkat pendidikan hingga jenjang doktor atau penghasilan (gaji) yang cukup memadai. Maka solusi meningkatkan kadar ibadah, meningkatkan jenjang pendidikan atau menambah gaji agar dapat membendung perilaku korup, gagal untuk diterapkan. Korupsi tidak ada hubungannya sama sekali dengan ketaataan beragama, pendidikan, dan penghasilan. Korupsi terkait dengan kekuasaan dan kesempatan. Maka yang harus diwaspadai adalah orang yang memegang kekuasaan. Terserah seberapa alim orang itu, seberapa tinggi pendidikannya atau seberapa besar penghasilannya. Ringkasnya, korupsi lahir karena adanya kekuasaan yang dimilikinya.
Kembali ke prespektif korban kejahatan korupsi. Lemahnya analisis untuk mengidentifikasi korban kejahatan korupsi disebabkan konstruksi sosial yang dibangun selama ini lebih kepada pelaku kejahatan (kriminolog) bukan pada korban kejahatan (victimolog). Semua ini bersumber pada badan pengetahuan (body knowledge) tentang korupsi. Kita bisa sangat cepat mengidentifikasi siapa pelakunya, apa motifnya, bagaimana rencana, tujuan, modus, aliran dana hingga konteks lingkungan yang mempengaruhi perilaku korupsi. Termasuk bagaimana cara menghukum para koruptor. Tetapi gagap hanya sekedar mengidentifikasi siapa korban korupsi.
Untuk melakukan dekonstruksi dan pembaharuan pisau analisis, paling tidak dibutuhkan beberapa hal sebagai berikut:
Pendidikan politik warga untuk memahami hubungan antara masyarakat (warga negara) dengan negara. Memahami relasi kekuasaan negara dengan warga dalam pembiayaan biaya pembangunan dan biaya rutin pemerintahan. Memahami kedudukan posisi warga negara sebagai pembayar pajak sebagai sumber pendapat negara terbesar dengan pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Memahami bahwa belanja pembangunan adalah wujud tanggung jawab dan kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak sosial ekonomi warga negara. Dengan adanya pendidikan politik ini, warga negara akan memahami posisinya sebagai bagian tak terpisah dari kekuasan negara secara keseluruhan. Sehingga berujung pada satu kesimpulan bahwa “kerugian keuangan negara” terbaca sebagai kerugian warga negara dan menjadi jelas posisinya sebagai korban kejahatan.
Selanjutnya memaknai “kerugian” dalam konteks korban masyarakat tidak cukup dibaca sebagai kerugian dalam pengertian ekonomis, materiil, matematis, dan berupa angka-angka nominal. Kerugian harus juga dibaca sebagai dalam pengertian kerugian sosial yang diderita. Yaitu kerugian yang terjadi dan dipikul masyarakat (juga lingkungan hidup), baik perorangan, kelompok warga, maupun komunitas. Oleh karena itu, dalam kejahatan korupsi perlu ada satu instrumen atau indikator berupa audit sosial untuk mengetahui impak dari kejahatan korupsi.
Kerugian sosial harus diintegrasikan kedalam pemenuhan hak-hak warga negara di lapangan ekonomi, sosial, dan budaya. Atau hak asasi manusia (HAM) generasi kedua yang lebih menekankan pada pemenuhan hak ekososbud. Selama ini HAM khususnya KomnasHAM lebih dominan mewacanakan pelanggaran HAM generasi pertama berupa pelanggaran hak sipil politik warga. Namun lemah mewacanakan HAM generasi kedua berupa pemenuhan dan pelanggaran akan hak ekososbud warga. Jika hal ini diintegrasikan, niscaya akan ditemukan jawaban mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan dan menjadikannya sebagai hostis humanis genaris (musuh bagi semua umat manusia). Karena kejahatan korupsi telah melanggar pemenuhan hak-hak eksosbud warga. Itulah jawabannya.
Sektor-sektor uang yang dikorupsi sangat fundamental dalam isu-isu pemenuhan hak asasi. Misalnya sektor pangan, korupsi mengakibatkan malnutrisi, korupsi pendidikan mengakibatkan remaja putus sekolah. Korupsi sektor kesehatan berakibat pada cacat permanen, korupsi perumahan berakibat pada hidup tidak higienis. Akibat buruk dari korupsi tersebut berujung pada inhuman degrading (merendahkan manusia). Kualitas manusia dan kehidupannya memburuk.
Dalam konteks lingkungan hidup dan sumber daya alam, korupsi terjadi dalam bentuk penyuapan untuk mendapatkan ijin eksplorasi lingkungan (tanah, air, atau udara). Akibatnya adalah kerusakan lingkungan yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya serta rusaknya ekosistem. Masa depan warga negara Indonesia berpotensi diwarisi kekeringan dan kemiskinan sumber daya alam. Dalam hak asasi isu ini dikenal sebagai hak generasi masa depan(inter-generational rights). Korupsi tidak hanya merugikan secara material, tapi merusak masa depan dan kehidupan manusia. Korupsi tidak hanya melanggar undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi atau undang-undang tindak pidana pencucian uang, melainkan juga melanggar undang-undang di bidang pendidikan, kesehatan, ketanagakerjaan, dan banyak undang-undang lainnya.
Korupsi yang terjadi di Indonesia meliputi pelbagai sektor, di antaranya; pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, hutan dan sumber energi, peradilan dan penegakan hukum, fasilitas umum, agama hingga bantuan sosial untuk kaum dhuafa atau korban bencana. Sektor-sektor ini masuk dalam kategori hak yang dijamin dalam sejumlah aturan hukum HAM, nasional maupun internasional. Atas nama negara, sektor-sektor di atas menyedot uang negara (APBN/APBD). Dengan maraknya korupsi, kewajiban negara atau hak warga negara akan pemenuhan hak-hak eksosbud jadi terabaikan.
Apabila nilai uang yang dicuri oleh para koruptor itu dikonversi dalam wujud pemenuhan hak-hak warga negara, maka akan nampak hasilnya. Selama 13 tahun bergulir Reformasi, diperkirakan uang negara yang dikorupsi mencapai Rp. 1.480 triliun atau sekitar 20 persen dari total Rp.7.400 triliun dari dana APBN (sumber). Melebihi total belanja APBN 2011 sebesar Rp 1.229 triliun. Apabila nilai Rp 1.480 triliun itu dikonversi berupa pemberian subsidi pendidikan kepada siswa SD hingga SMA, bisa menangani lebih dari 274 juta siswa untuk 9 tahun pendidikan. Pendek kata, sekolah gratis dengan kualitas unggulan. Bila dikonversi dalam bentuk Perumnas, dapat dibangun 10 juta rumah untuk warga yang tidak mampu. Apabila dikonversi dibagi rata ke 74 ribu desa seluruh Indonesia, masing-masing desa akan mendapat Rp 2 miliar per tahun untuk 10 tahun ke depan atau Rp 20 miliar per desa. Apabila dikonversi dalam bentuk pembangunan sekolah politeknik kelautan (usulan Menteri Susi) akan berdiri 9.867 politeknik kelautan seluruh Indonesia.
Dari pelbagai survei menunjukkan adanya korelasi positif antara tingkat korupsi yang merajalela di suatu negara dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Khususnya berpengaruh pada indeks pembangunan manusia. Di satu sisi terjadinya rentang dan ketimpangan sosial antara kaum kaya dan miskin, akibat akumulasi kekayaan yang menumpuk pada sebagian orang.
Tetapi sekali lagi, pelaku kejahatan korupsi atau disebut koruptor tetap saja mendapat pembelaan dan pembenaran oleh banyak pihak. Tidak bisa “disentuh” oleh warga masyarakat yang marah; mendapat remisi; berdalih tidak ada kerugian negara; bilang asas praduga tidak bersalah hingga masih mendapat tempat terhormat meski sudah berstatus terpidana. Walaupun korban yang ditimbulkan mencapai jutaan orang dan menjangkau generasi akan datang. Inilah konstruksi sosial yang dibentuk dengan serangkaian nilai-nilai dan pisau analisis yang tidak cukup memadai. Terutama mengidentifikasi korban korupsi yang tidak berwajah.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H