[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi (Sumber: Kompas.com)"][/caption]
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi meminta kepada relawan untuk membantu mengawasi program-program pembangunan. Relawan dituntut untuk turut serta mengawalnya. Menjadi pengawas partikelir. Hasil pengawasan biasanya berupa laporan. Yang jadi soal, bagaimana cara memilah informasi yang akan disampaikan langsung ke Presiden. Dan bagaimana masyarakat pelapor (dalam hal ini relawan) mengetahui laporannya ditindaklanjuti?
Di dalam kehidupan bermasyarakat apalagi bernegara, semua lembaga dan institusi memiliki batasan kewenangan dan fungsi masing-masing. Tak terkecuali lembaga kepresidenan. Presiden bukan sosok mahluk yang serba maha. Tetap ada ruang lingkup dan batasan tugas dan tanggungjawabnya. Tidak mungkin bahkan tidak bisa semua masalah diselesaikan oleh Presiden. Jika demikian, bagaimana cara relawan memilah informasi yang akan disampaikan kepada Presiden hasil dari pengawasan?
Saya kasih ilustrasi: di satu kampung di Bengkulu, warga masyarakat melaporkan ke Bupati perihal jalan rusak. Sudah hampir 2 tahun terbengkalai tanpa ada perhatian.Atas laporan ini, Bupati berkilah, “itu jalan propinsi, bukan wewenang Pemda Kabupaten”. Apakah salah masyarakat melapor? Bagaimana masyarakat awam bisa membedakan antara jalan desa, jalan kabupaten, jalan propinsi dan jalan nasional? Yang pasti masyarakat pelapor hanya tahu, jalan yang melintas kampungnya itu rusak dan harus dilaporkan. Dilaporkan kepada orang yang mereka pilih dalam Pilkada, yakni Bupati. Dan saat kampanye berjanji akan memperbaiki infrastruktur jalan.
Urusan lapor melapor bukan perkara sederhana, sebagaimana yang diharapkan oleh Jokowi kepada relawan. Sudah terlampau sering masyarakat malas melaporkan kejadian karena terbentur masalah prosedur dan birokrasi. Laporan dianggap salah sasaran, atau laporan tidak ditindaklanjuti. Laporan dari urusan yang dianggap sepele, seperti pungutan biaya ekstrakurikuler di sekolah sampai laporan jembatan roboh. Bila tidak ada batasan itu, dan pengetahuan masyarakat terbatas, haruskah masyarakat pelapor yang memilah-milah laporannya sendiri? Masyarakat khususnya relawan bisa melaporkan apa saja, “Pak Presiden Jokowi, KTP yang saya urus sebulan lalu, belum juga keluar”. Hal begini bukan salah masyarakat. Meski dia tau urusan KTP adalah wewenang lurah dan paling jauh wewenang kantor kecamatan. Tapi karena sangking cintanya pada Presiden, semua hal dilaporkan. “lha, pak Jokowi kan minta kita melakukan pengawasan dan saya sudah melaporkan”
Contoh pengelolaan laporan, salah satunya bisa belajar dari sistem yang dibangun oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Ganjar membentuk satuan khusus mengelola pengaduan dan laporan masyarakat dalam situation room. Satuan Tugas ini yang kemudian memilah-milah informasi dan menempatkan skala prioritas mana yang akan mendapat respon atau jawaban dari Gubernur segera. Dan mana laporan yang menjadi kewenangan SKPD, untuk ditindaklanjuti. Tak terbatas laporan saja, keluhan dan curhat masyarakat juga diterima.
Menampung banyaknya laporan setiap hari, satu pekerjaan sendiri untuk memilah-milahnya. Misal seperti laporan dugaan korupsi kepada KPK lewat layanan pengaduan online. Tidak kurang 50 laporan masyarakat setiap harinya. Bisa kita hitung berapa jumlah per bulan. Dengan keterbatasan penyidik, tidak semua laporan ditindaklanjuti. Masyarakt kadang tidak mau tahu masalah internal kelembagaan. Yang pasti mereka sudah lapor dan mengeluh laporannya tidak ditindaklanjuti. Bahkan orang sekaliber Mahfud MD, yang saat itu masih menjabat sebagai ketua MK pernah mengeluh pada KPK, “saya sudah melapor, tapi sampai sekarang laporan saya ke KPK belum ditindaklanjuti”
Saya harap Jokowi melalui timnya, dapat membangun sistem pelaporan masyarakat dan progres dari upaya tindak lanjut itu. Entah dibentuk lembaga tersendiri untuk mengelola laporan relawan atau mendayagunakan lembaga seperti Setneg atau Departemen Informatika. Agar relawan yang diberi tugas melakukan pengawasan dan pemberi laporan akan lebih antusias bekerja. Mereka harus tahu, laporan yang disampaikan lewat sistem pelaporan online resmi seminggu lalu misalnya, saat ini laporan itu sudah ada di meja Menteri Pekerjaan Umum. Jangan sekedar menerima atau menampung laporan saja seperti “sumur tanpa dasar”. Input masuk setiap saat, tapi tidak ada outputnya. Bahkan prosesnya, orang tidak tahu, sudah sejauhmana berjalan.
Selain itu, sistem informasi dan komunikasi yang dibangun tidak sekedar menerima laporan. Dari relawan ke Presiden. Tapi juga komunikasi dari Presiden ke relawan, sebagai bentukmengikutsertakan publik dalam kebijakan. Misalnya program pemberdayaan nelayan yang akan dijalankan Presiden. Tiba-tiba mendapat hambatan dari DPR, dalam hal alokasi anggaran. Ujungnya program menjadi macet.Presiden lewat komunikasi dengan relawan dapat melaporkan hal tersebut dan meminta uji publik. Jika program itu disokong besar oleh masyarakat, sehebat apapun koalisi politik di DPR menghalanginya, akan mendapat perlawanan langsung dari masyarakat pemilih.
Kedepan, paradigma Pilpres akan dengan sendirinya hilang. Masyarakat tidak akan peduli lagi, sosok Jokowi atau koalisi politik di DPRD. Masyarakat lebih fokus pada program-program pembangunan. Dirasakan dan dihadapi langsung sehari-hari. Meski Presiden Jokowi sekalipun mendapat dukungan 100% anggota DPR, atas kebijakan misalnya mencabut subsidi wajib belajar 9 tahun, akan berhadapan juga dengan masyarakat. Sebaliknya, mau Presidennya Jokowi atau siapapun, dan koalisi permanen menentangnya habis-habisan, misalnya atas kebijakan biaya listrik gratis untuk kapasitas 900 W ke bawah bagi seluruh masyarakat. Pastilah dukungan masyarakat akan meluas, entah dulunya pendukung Jokowi atau Prabowo.
Jadi seruan Jokowi pada relawan untuk turutserta dalam pengawasan, harus diimplementasikan dalam bangunan sistem informasi dan komuniasi terpadu. Dirancang dan dibangun dengan kesungguhan. Tidak sekedar formalitas dan ceremoni belaka. Seperti selama ini terjadi. Presiden SBY yang hanya sebatas memberikan informasi satu arah lewat akun twitter. Walau hal tersebut satu langkah kemajuan dari Presiden terdahulu. Tetapi tidak cukup hanya itu. Masyarakat (khususnya relawan) harus terlibat dan dilibatkan. Dan para pengelola pengaduan tidak bisa menolak apapun pengaduan dan laporan masyarakat. Meski sebatas keluhan, “Pak Presiden, jaringan internet tempat saya lelet”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H