Direktur Indonesia Maritime Institute (IMI), Y. Paonganan, mengutuk pengunduran peringatan hari Nusantara dari tanggal 13 Desember menjadi 15 Desember 2014. "Katanya Jokowi bervisi maritim, tapi mengapa tidak menghormati Deklarasi Djuanda. Ini bukti ketidakpahamannya atas perjuangan bangsa ini menjadi sebuah negara kepulauan terbesar dunia," ujar Paonganan (sumber).
Menurut pendapat saya, pernyataan media online kantor berita politik rmol.co berlebihan. Penyajian informasi sepotong akan mengakibatkan distorsi. Sebab fakta diplintir sedemikian rupa dengan mengedepankan praduga. Pilihan diksi pada judul “Pengunduran Hari Nusantara Khianati Deklarasi Djuanda” dan diksi “mengutuk”, sebagai penanda praduga itu.
Fakta yang sebenarnya, peringatan hari Nusantara yang dipusatkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan akan dihadiri oleh Presiden Jokowi pada tanggal 15 Desember 2014. Sedianya puncak peringatan hari Nusantara akan dilaksanakan pada tanggal 13 Desember, oleh Panitia peringatan ditunda menjadi tanggal 15 Desember, saat Presiden Jokowi hadir pada pelaksanaan acara puncak peringatan itu. Dari fakta ini, pernyataan media rmol.co dan Y. Paonganan terbantahkan. Pertama, tanggal 15 Desember adalah puncak peringatan. Peringatan hari Nusantara sendiri dilaksanakan sejak tanggal 10 – 17 Desember 2014. Kedua, penundaan atau pengunduran puncak peringatan inisiatif panitia bukan lembaga Kepresidenan. Ketiga, tidak ada kebijakan politik dan hukum pemerintahan Jokowi untuk mengubah hari Nusantara dari tanggal 13 Desember menjadi 15 Desember 2014. Faktanya adalah (rencana) Presiden Jokowi akan hadir pada tanggal 15 Desember 2014. Pertanyaannya, apakah kehadiran seorang Presiden Indonesia tidak bertepatan tanggal 13 Desember dianggap suatu “penghianatan” atau “tidak menghormati Deklarasi Djuanda” ?. Jika demikian kesimpulannya maka semua Presiden Indonesia kecuali Presiden Abdurrahman Wahid, adalah penghianat atas Deklarasi Juanda. Tentunya media rmol.co dan Y. Paonganan, mengutuk semua presiden Indonesia.
Presiden Soekarno dan Presiden Suharto, tidak pernah sekalipun hadir dalam peringatan tanggal 13 Desember sebagai hari Nusantara. Jangankan hadir, diperingati saja tidak pernah. Satu-satunya Presiden Indonesia yang tepat menghadiri peringatan hari Nusantara, hanya Presiden Abdurrahman Wahid. Karena memang hari Nusantara dicanangkan pertama kali oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Bertempat di Istana Merdeka pada tanggal 13 Desember 1999.
Presiden Megawati sekalipun menetapkan hari Nusantara melalui Keputusan Presiden No. 126 Tahun 2001, tetapi pada peringatan 13 Desember 2002, tidak menghadirinya. Sekalipun tanggal 13 Desember diperingati hari Nusantara, Presiden Megawati hadir pada 27 Desember 2001 sebagai acara puncak di pebuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Bukan tanggal 13 Desember 2001. Bahkan peringatan hari Nusantara pada tahun 2003, baru dihadiri oleh Presiden Megawati pada tanggal 19 Januari 2004 di Pelabuhan Merak, Banten.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih tragis lagi. Dari sepuluh tahun atau dua periode pemerintahan, hanya satu kali menghadiri peringatan hari Nusantara. Itupun tanggal 15 Desember 2004 di Lapangan Paseban, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bukan tanggal 13 Desember 2004. Atau tahun pertama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan Pilpres 2004. Pada periode kedua tahun 2009, peringatan hari Nusantara di Makasar, hanya diwakili oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Selama sepuluh tahun menjabat, peringatan hari Nusantara seperti sudah “jatah” wakil presiden yang menghadiri. Baik Wakil Presiden Yusuf Kalla maupun Wakil Presiden Boediono. Seperti tahun emas (50 tahun) peringatan Deklarasi Juanda tahun 2007 di Ancol, dihadiri oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla.
Jika menggunakan ukuran media rmol.co dan Y. Paonganan tentang “penghianatan” atas Deklarasi Juanda, seharusnya ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan saja mengundurkan kehadiran pelaksaan hari Nusantara dari tanggal 13 Desember menjadi 15 Desember 2004, tetapi hanya satu kali menghadiri peringatan hari Nusantara selama sepuluh tahun memegang tapuk kekuasaan. Tetapi, bagi saya bukan itu ukurannya.
Komitmen Presiden pada Deklarasi Juanda dapat dilihat pada program, kebijakan dan tindakan nyata pemerintahan yang memiliki visi maritim. Misalnya Presiden BJ Habibie, meskipun tidak memperingati tanggal 13 Desember, visi maritim dapat terlihat pada visi pembangunan kelautan Indonesia dalam Deklarasi Bunaken (26 September 1998). Atau saat Presiden Sekarno berkuasa, menunjuk Ali Sadikin sebagai Menteri Koordinator Kompartemen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora. Tetapi, sebaliknya saat Presiden Suharto berkuasa, Mochtar Kusumaatmadja—arsitek dan perumus Deklarasi Juanda—hanya diletakan pada posisi Menteri Luar Negeri. Dan tak menyentuh sama sekali dengan visi maritim.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H