Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kesalahan Fatal Koalisi Merah Putih

12 September 2014   20:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:52 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fraksi-fraksi partai politik yang bergabung dalam koalisi merah putih (KMP), melakukan kesalahan fatal. Usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD tidak memiliki dasar hukum. Bila usulan ini disetujui oleh suara mayoritas dan disahkan, maka undang-undang ini akan batal demi hukum. Karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan undang-undang, sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dasar hukum yang saya maksud, tidak ada perintah UUD 1945 maupun UU setara yang memberi kewenangan kepada DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah. Dalam ilmu hukum disebut norma kewenangan. Norma ini harus ditautkan dalam UU Pilkada yang baru di Konsideran bagian “Mengingat”.

Untuk mudahnya, kita bandingkan dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang ini, kepala daerah dipilih oleh DPRD (pasal 18 ayat 1 huruf a). Secara materi sama dengan usulan KMP, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Norma kewenangan DPRD dalam UU 22/1999 itu, berdasarkan pada UU No. 4 tahun 1999, yang dikenal dengan sebutan UU Susduk. Yaitu pasal 34 ayat 2 huruf a berbunyi “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota”. Secara kronologis, UU Susduk disahkan terlebih dahulu pada tanggal 1 Februari 1999. Sedangkan UU Pemerintah Daerah disahkan kemudian pada7 Mei 1999. Memang seharusnya demikian, UU sebelumnya (Susduk) menjadi rujukan untuk UU Pemerintah Daerah menyangkut norma kewenangan DPRD. Dengan ditautkannya UU No.4/1999 (khusunya pasal 34 ayat (2) huruf a) di dalam konsideran bagian “mengingat” pada UU No. 22/1999. Sehingga sah secara hukum (formil) DPRD memilih kepala daerah.

Namun, pasal 34 ayat 2 huruf a tentang pemberian kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, sudah tidak berlaku lagi. Setelah UU No. 4 tahun 1999 diganti dengan UU No. 27 tahun 2009. Juga demikian UU No.27 tahun 2009 sudah dicabut dan diganti dengan UU No.17 tahun 2014 yang kita kenal sekarang dengan sebutan UU MD3. Segala tugas, fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD terangkum dalam UU MD3 ini. Secara kronologis, UU MD3 telah disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014 dan dicatat dalam lembar negara RI tahun 2014 nomor 182.

Dalam UU MD3, tugas dan wewenang DPRD Provinsi terdapat di Bab V Pasal 317. Dan Bab VI pasal 366 yang mengatur tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Tidak ada satu pasal dan ayat pun dalam Bab V dan Bab VI ini yang memberikan kewenangan baik kepada DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah. Apakah hal ini menunjukan ada yang luput atau by design?. Mengapa DPR tidak memasukan kewenangan DPRD memilih kepala daerah dalam UU MD3?

Melihat perjalanan dan pembahasan UU MD3 yang tidak memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, memang by design. Konstruksi hukum yang dibangun memang demikian. Situasi saat itu antara bulan Februari hingga Agustus 2014, semua fraksi di DPR tetap menginginkan Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Saat UU MD3 ini dibahas, bersamaan waktunya dengan pembahasan RUU Pilkada. Karena semua fraksi di DPR tetap menginginkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat maka tugas dan wewenang DPRD tinggal copy paste saja dari UU No.27 tahun 2009. Dimana tidak ada kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah. By design kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Tugas dan wewenang DPRD dalam UU MD3, sama persis dengan UU No.27/2009. Salah satunya, wewenang DPRD Provinsi untuk “memilih wakil gubernur dalam hal terjadikekosongan jabatan wakil gubernur “ (Pasal 317 ayat 1 huruf e).

Usulan perubahan mendadak yang dilakukan oleh KMP agar Kepala daerah dipilih lewat DPRD terjadi pada tanggal 2 September 2014. Setelah UU MD3 disahkan. Tentu menjadi masalah hukum ketika usulan pemberian kewenangan ini tidak ada sandaran hukumnya baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU MD3. Anehnya, tidak ada upaya anggota DPR untuk menarik kembali UU MD3 untuk dilakukan revisi, dengan penambahan norma kewenangan kepada DPRD.

Perdebatan pro dan kontra atas usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD lebih banyak berkutat pada materi dan alasan-alasan filosofis,ekonomis dan sosiologis. Namun luput menyinggung tentang alasan yuridis sebagai dasar hukum syarat formil pembentukan undang-undang. Bila hal ini dipaksakan untuk menjadi UU maka besar kemungkinan akan diajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Sebagai kewenangan MA untuk menyatakan sah atau tidak sah peraturan UU dengan alasan pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, yakni UU No. 10 tahun 2004.

Apalagi hal ini menyangkut hal yang sangat vital tentang norma kewenangan (bevoegdheids normen) yaknipemberian kewenangan dari UUD atau UU kepada suatu Lembaga. Wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi (F.A.M. Stroik & J.G. Steenbeek). Azas legalitas dalam HAN, menyatakan bahwa semua perbuatan dan keputusan pejabat administrasi harus didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Baik kewenangan yang diperoleh dengan atribusi maupun pelimpahan kewenangan. Maksud Atribusi adalah menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan. Dimana kewenangan atribusi merupakan kewenangan untuk membuat keputusan (besluit).

RUU Pilkada sebagaimana usulan KMP yang memberi kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, secara hukum formil harus memiliki dasar yuridis (juridishe gelding). Yakni tercantumnya dasar hukum akan norma kewenangan kepada DPRD. Norma kewenangan ini harus bersifat pasti, jelas, dan tidak menimbulkan multi tafsir. Sehingga ukuran-ukuran pertanggungjawaban atas penggunaan kewenangan dapat dinyatakan jelas pula. Jika peraturan UU ini tidak memiliki dasar hukum akan kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah, maka peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun