[caption id="attachment_400588" align="aligncenter" width="624" caption="Suasana paripurna pengajuan angket DPRD DKI kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (27/2/2015). (KOMPAS.com/Kurnia Sari Aziza)"][/caption]
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta sudah memutuskan penggunaan hak angket setelah disahkan rapat paripurna 26 Februari 2015. Hak angket digunakan atas anggapan bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan pelanggaran terkait rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015. Ahok dinilai telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ahok menyampaikan Raperda APBD 2015 ke Kementerian Dalam Negeribukan dokumen hasil pembahasan dan persetujuan bersama oleh Pemerintah DKI dan DPRD. Tetapi Ahok membatahnya. Menurut Ahok, DPRD telah membuat Raperda APBD 2015 versi sendiri, dengan menyelundupkan anggaran diluar persetujuan Pemerintah DKI. Dengan indikasi, rancangan APBD 2015 yang dikirimkan pihak DPRD ke Kemendagri pada 10 Februari 2015, terdapat berkas dokumen tanpa ada label SKPD (satuan kerja pemerintah daerah). Versi DPRD inilah yang dituding memunculkan dana siluman hingga Rp 12,1 triliun.
Dari obyek kebijakan yang akan diselidiki oleh DPRD lewat hak angket, nampak pihak DPRD terlibat secara langsung dalam sengketa ini. DPRD sebagai pihak yang berkepentingan (berperkara) atas kebijakan tersebut, di satu sisi memeriksa dan menyelidiki dirinya sendiri.
Penggunaan hak angket dengan obyek kebijakan di atas, ditengok dari prespektif hukum menimbulkan kerancuan dan terkesan naif. Dalam dunia hukum dikenal asas nemo judex idoneus in propria causa (tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri). Asas ini sesungguhnya untuk menjujung tinggi prinsip imparsialitas aparat penegak hukum khususnya hakim. Putusan yang diambil menghindari benturan kepentingan (conflict of interest) karena ada keterkaitan antara pemeriksa/pemutus atas perkara atau obyek yang diperiksa. Seseorang tidak dibenarkan menjadi pemutus perkaranya sendiri. Prinsip imparsialitas (ketidak-berpihakan/impartiality) dan asas nemo judex idoneus in propria causa melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan sampai kepada tahap pengambilan keputusan. Sehingga putusan dapat benar-benar diterima sebagai solusi yang adil bagi sumua pihak yang berperkara.
Dalam melakukan penyelidikan untuk menemukan kebenaran, panitia angket DPRD akan cenderung untuk melakukan distorsi atau menutup sebagian fakta dimana ada “kesalahan” anggota DPRD di dalamnya. Khususnya anggota DPRD yang melakukan tindakan serupa pada 10 Februari 2015. Menyerahkan raperda APBD 2015 ke Kemendagri tanpa ada persetujuan kepala daerah. Apalagi jika “kesalahan” tersebut justru dilakukan oleh anggota panitia angket sendiri.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh panitia angket tak ubahnya seperti pekerjaan yang dilakukan oleh penyelidik di lembaga penegak hukum. Menyelidiki suatu peristiwa dengan mengumpulkan sejumlah bukti, baik surat-surat maupun keterangan saksi. Bahkan kekuasaan panitia angket melebihi kekuasaan penyelidik yang dapat melakukan pemanggilan paksa. Dalam jangka waktu paling lama 60 hari, panitia angket akan melaporkan hasilnya. Salah satu bentuk hasil penyelidikan berupa dugaan tindak pidana yang selanjutnya hasil tersebut diserahkan kepada aparat penegak hukum. Menjadi pertanyaan, apakah anggota DPRD mau menjadikan dirinya disangka melakukan tindak pidana dari hasil penyelidikan panitia angket? Atau setidaknya diduga melakukan pelanggaran prosedur/ administratif seperti yang disangkutkan pada Ahok. Adanya benturan kepentingan dan non imparsialitas, menjadikan proses dan hasil panitia angket diragukan kebenarannya.
Pada dasarnya hak angket murni instrumen politik bukan instrumen hukum. Hasil dari panitia angket berupa benar-salah tidaklah sama dengan norma benar-salah dalam proses hukum. Benar-salah pada hasil panitia angket juga dimaknai sebagai benar-salah dalam prespektif politik. Karena keputusan-keputusan yang diambil tidaklah murni berdasarkan fakta-fakta hukum. Namun lebih pada pengambilankeputusan suara mayoritas dari rapat paripurna DPRD. Keputusan yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dan persetujuan yang dikomando lewat fraksi-fraksi adalah keputusan politik.
Efektifitas keputusan politik dan hukum sangat ditentukan seberapa besar penerimaan publik. Penilaian publik biasanya menggunakan tolok ukur prinsip imparsialitas. Apakah proses dan hasil yang diputuskan ada tidaknya benturan kepentingan dan ada tidaknya keberpihakan. Penerimaan publik juga ditentukan drajat sentimen dan trust pada lembaga yang melahirkan putusan tersebut.
Pada konteks perseteruan DPRD DKI Jakarta dan Ahok yang sudah berlangsung lama (tidak hanya pada perkara APBD 2015 saja), publik sudah kadung lebih percaya pada Ahok ketimbang beberapa anggota DPRD. Perseteruan yang terjadiberulang-ulang antara Ahok dan anggota/pimpinan DPRD, dukungan suara masyarakat terbelah. Mayoritas lebih percaya dan mendukung Ahok.
Dengan digunakannya hak angket itu, cemooh publik tidak hanya tertuju pada orang per orang anggota DPRD tapi sudah menjalar ketidakpercayaan pada suatu institusi bernama DPRD DKI Jakarta. Anggota DPRD menggunakan senjata hak angket untuk melindungi dan membela kepentingannya sendiri. Disini akan terlihat pembelahan pendapat antara “rakyat” dengan “wakil rakyat”. Putusan dan kebijakan yang diambil oleh “wakil rakyat” tidak selamanya sinkron dan selaras dengan aspirasi “rakyat”. Kesalahan yang menimpa orang/oknum/anggota DPRD akan berimbas pada hukuman “rakyat” berupa menurunya elektabilitas suara partai di Pemilu selanjutnya.
Pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi “hakim” untuk memberi penilaian dan putusan. Penilaian dan putusan itu berwujud pada sikap, tindakan dan opini. Kebenaran versi masyarakat yang akan menentukannya. Hal ini mengingatkan pada kasus Prita Mulya Sari. Dimana putusan pengadilan dilawan oleh “kebenaran” versi masyarakat. Ujungnya putusan pengadilan tersebut menjadi tidak efektif. Bahwa segala sanksi hukum yang dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera, dilawan oleh masyarakat untuk membenarkan tindakan pelaku.
Apabila anggota DPRD lebih rasional, penggunaan hak angket pada kasus Raperda APBD 2015 bisa lebih matang dipertimbangkan. Menjadi relatif lebih obyektif, jika penggunaan hak angket menjauhi sangkaan benturan kepentingan dan non imparsialitas. Sebagaimana pedoman etik yang berlaku pada hakim dan Pimpinan KPK. Hakim tidak boleh mengadili perkara yang obyek perkara melibatkan keluarga dan kerabat. Demikian juga Pimpinan KPK, dalam proses penyidikan tidak diperkenankan mengambilkeputusan yang perkaranya ada ikatan keluarga dan kerabat. Sementara pada proses penyelidikan dan putusan panitia angket DPRD DKI Jakarta, anggota DPRD terkait langsung dengan obyek yang diperiksa. Lalu apakah publik percaya pada proses dan hasil itu, jika DPRD menjadi “hakim” atas dirinya sendiri?
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H