[caption id="attachment_386281" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi /(KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)"][/caption]
Pada hari selasa tanggal 23 Desember 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan beberapa pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Bahasa MK, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Seperti biasa, setelah MK membacakan putusan atas pengujian undang-undang, timbul pelbagai tanggapan. Beberapa diantaranya beranggapan pemerintah tidak dapat lagi sewenang-wenang membubarkan ormas. Atau ada yang berpendapat pemerintah tidak dapat lagi ikut campur urusan ormas. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, tulisan ini akan membantu menunjukan pasal-pasal apa saja yang telah dibatalkan oleh MK.
Pada hari yang sama, MK membacakan dua putusan sekaligus. Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 3/PUU-XII/2014. Kedua perkara ini mengajukan obyek hukum yang sama: UU Ormas. Perbedaannya, perkara No. 82/PUU-XI/2013 dimohonkan oleh Pengurus Pusat Persyarikatan Muhammadiyah yang diwakili Din Syamsudin dan Abdul Mu’ti. Sementara perkara perkara No. 3/PUU-XII/2014 dimohonkan oleh sejumlah ormas diantaranya Perkumpulan ICW, Yayasan Fitra dan YAPPIKA. Perkara No. 82/PUU-XI/2013 memohon dicabutnya 21 pasal sedangkan perkara No. 3/PUU-XII/2014 memohon dicabutnya 11 pasal.
Kedua permohonan itu ada yang mengajukan pasal-pasal serupa dan ada yang berbeda. Kesimpulannya, dari dua perkara tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan 10 pasal dan memberi tafsir konstitusional bersyarat atas 2 pasal. Dari 10 pasal yang dibatalkan MK, ada 3 pasal yang bersifat ultra petitum. Maksudnya MK membatalkan pasal yang tidak dimohonkan (tidak diminta oleh pemohon untuk dibatalkan). Pasal-pasal dalam UU Ormas tersebut adalah:
Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25. Keempat pasal ini menyangkut tentang ruang lingkup ormas yang terdiri dari nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Dengan ruang lingkup yang berbeda tersebut UU Ormas, mensyaratkan adanya struktur organisasi dan kepengurusan. Misalnya Pasal 24 yang mensyaratkan ormas lingkup provinsi harus memiliki struktur dan organisasi dan kepengurusan paling sedikit 25% dari jumlah kabupaten/kota dalam satu propinsi. Ketentuan adanya ruang lingkup ormas itulah yang dibatalkan oleh MK.
Menurut pertimbangan mahkamah bahwa pembedaan ruang lingkup tersebut dapat mengekang prinsip kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin konstitusi. Padahal, tidak ada hak dan kebebasan orang lain yang terganggu oleh keberadaan ormas yang memiliki ketiga lingkup tersebut secara bersamaan. Walaupun ormas hanya memiliki kepengurusan pada tingkat kabupaten/kota.
Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 dan Pasal 18. Ketiga pasal inilah yang disebut di atas sebagai ultra petitum. Sebagaimana pertimbangan mahkamah “Walaupun pemohon tidak menguji Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, tetapi ketiga pasal yang mengatur pendaftaran ormas terkait ruang lingkup Ormas, maka harus dinyatakan inkonstitusioal pula”. Ketiga pasal tersebut masuk dalam Bab Pendaftaran (Ormas). Khususnya pejabat yang berwenang yang menerbitkan surat keterangan terdaftar bagi ormas yang tidak berbadan hukum: Menteri untuk ormas ruang lingkup nasional; gubernur untuk ormas provinsi dan bupati/ walikota untuk ormas kabupaten/kota. Ketiga pejabat yang disebut tersebut juga berwenang melakukan verifikasi dokumen pendaftaran, Dan ada penyebutan Camat yang melakukan pendataan ormas tidak berbadan hukum. Dengan dicabutnya ketiga pasal tersebut, maka ormas yang tidak berbadan hukum dapat mendaftarkan diri dimana saja dengan memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 16 ayat (2).
Prinsipnya, ormas yang tidak berbadan hukum dapat mendaftarkan diri kepada semua tingkat instansi pemerintah yang bertanggung jawab dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Ketika ormas yang tidak berbadan hukum telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya dalam lingkup daerah maupun nasional. Sebaliknya jika tidak mendaftarkan diri, negara tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai ormas terlarang sepanjang tidak melakukan perbuatan melanggar hukum yang tercantum dalam Pasal 59 UU Ormas.
Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi ”Setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama”. Mahkamah memandang bahwa hak dan kewajiban anggota suatu ormas adalah masalah internal (otonom) masyarakat sesuai karakteristiknya. Negara tidak dapat mencampuri dan memaksakan suatu ormas mewajibkan anggotanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pengaturan demikian bentuk pembatasan yang melanggar prinsip kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945.
Pasal 40 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas.”. Mahkamah berpendapat negara tidak boleh terlalu jauh mencampuri hak dan kebebasan ormas. Walaupun tujuan pengaturan tersebut baik dan positif bagi pengembangan ormas, tetapi pemberian peran tersebut bertentangan dengan hakikat ormas sebagai organisasi masyarakat yang mandiri dan otonom. “Campur tangan negara dalam pemberdayaan ormas akan mengancam kreativitas masyarakat dalam mengekspresikan hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945,”.
Dan terakhir Pasal 59 ayat (1) huruf a yang berbunyi “Ormas dilarang menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang Ormas”. Ketentuan ini sebenarnya telah diputuskan oleh MK dalam putusan MK No. 4/PUU-X/2012 tertanggal 15 Januari 2013. Putusan MK itu mencabut larangan penggunaan lambang negara. Artinya, penggunaan lambang negara dibebaskan bagi siapapun atau organisasi apapun. Oleh karena ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU Ormas mengandung muatan materi yang sama dengan pertimbangan hukum dalam putusan MK No. 4/PUU-X/2012, maka putusan MK No. 4/PUU-X/2012 tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum dalam permohonan a quo.