Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Inkonsistensi Kaum Abolisionis

7 Maret 2015   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:01 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaum abolisionis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pihak-pihak atau warga Indonesia yang memprotes pidana mati atas pelaku kejahatan narkotika yang belakangan hangat menjadi topik pembicaraan. Para jamaah pengikut abolisionisme. Apa itu abolisionisme, secara singkat telah dijelaskan oleh rekan Nararya dalam artikel berjudulBerbagai Pandangan Mengenai Hukuman Mati. Inkonsistensi yang akan saya ulas disini melingkupi (1) mereduksi ajaran dasar dari abolisionisme; (2) menerapkan standard ganda atas peristiwa yang berbeda dan (3) terjadinya kontradiksiinterminisdalam asumsi yang dibangun oleh kaum abolisionis di Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa seruan dan protes penghapusan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan diawali dan diprakarsai oleh kaum abolisionis dengan gerakan kemanusiaan global. Gerakanyang bersumber dari aliran social defence radikal yang dikembangkan oleh F. Gramatika lewat tulisannya berjudul “The fightagainst punishment”.Kemudian dilanjutkan oleh ahli hukum pidana Universitas Erasmus, Rotterdam, Louk Hulsman. Pada pokoknya menghendakipenghapusan hukum pidana atau abolisionisme. Hukum pidana secara keseluruhan, tidak hanya pidana mati.

Inilah inkonsistesi pertama para jamaah aliran abolisionisme di Indonesia yang banyak dilakoni oleh para aktivis gerakan HAM. Hanya mempersoalkan pidana mati, dan menutup mata atas bentuk-bentuk pemidanaan lainnya seperti pidana penjara dan pidana kurungan. Mereduksi pengertian abolisionisme sebatas penghapusan hukum pidana mati belaka.

Bila merujuk pada argumen mbahnya abolisionisme yakni Gramatika bahwa pelaku kejahatan diibaratkan orang yangsakitsehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Argumen ini berangkat dari asumsi bahwa sistem peradilan pidana mengandung masalah dan menderita cacat struktural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yang dianggap realistik dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem tersebut. Dalam perspektif Hulsman, sistem peradilan pidana mengandung cacat berupa: (1) memberikan penderitaan; (2) tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan; (3) tidak terkendali dan (4) pendekatan yang dipergunakan memiliki cacat mendasar. Ringkasnya, sistem peradilan pidana tidak sempurna. Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Di sisi lain, abolisionisme menawarkan penggunaan metodealternatif berupa perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Konkritnya seperti yang diterapkan di beberapa negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan Swedia. Para terpidana dihukum dengan pidana denda yang dikenal dengan istilah day fine atau denda harian.Denda harian merupakan pembayaran sejumlah denda sebesar pendapatannya dalam satu hari. Dalam konteks ini, jamaah abolisionisme di beberapa negara Skandinavia menyoal seluruh hukuman pidana badan termasuk pidana mati. Sedangkan di Indonesia, jamaah abolisionisme mereduksi hanya pidana mati saja.

Inkonsistensi kedua, kaum abolisionis di Indonesiamenerapkan standard ganda atas peristiwa yang berbeda. Berteriak lantang untuk menghapus pidana mati atas pelaku kejahatan narkotika namun tidak pada pelaku kejahatan lain yang ancaman hukumannya serupa. Seperti pembunuhan berencana atau aksi teror. Bungkam atas vonis pidana mati baik kepada pelaku pembunuhan berencana atau aksi teror.

Selain daripada itu, pada pelaku tindak pidana korupsi atau teror, kaum abolisionis di Indonesia bahkan menyerukan kepada hakim (lewat opini media) untuk menghukum pelaku seberat-beratnya atau menjatuhkan hukuman yang setimpal. Dan membenarkan vonis berupa pidana penjara atau kurungan untuk jangka waktu tertentu. Padahal dogma dasar dari abolisionisme menentang segala bentuk pemidanaan badan pada pelaku kejahatan. Dan mengganti dalam alternatif lain berupa perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Dalam ajaran abolisionisme, haram hukumnya menjatuhkan pidana badan secara keseluruhan.

Ada beberapa kontradiksiinterminisdalam asumsi yang dibangun oleh kaum abolisionis di Indonesia. Bentuk kontradiksiinterminis tersebut saya sebut juga sebagai inkonsistensi Meski sebenarnya istilah “inkonsistensi” ini tidak tepat.

Asumsi pertama, bahwa pidana mati telah melanggar hak hidup pelaku kejahatan. Dengan dalil konvensi Internasional dan konstitusi. Sejatinya konvensi Internasional mencakup pada seluruh umat manusia, dan konstitusi mencakup setiap orang tanpa membeda-bedakan. Tidak ada keistimewaan yang diberikan hak hidup khusus untuk pelaku kejahatan. Dalam pandangan ini, kaum abolisionis menggunakan dalil hukum dari prespektif pelaku, bukan umat manusia atau setiap orang. Tentu pandangan seperti ini nihil dan menisbikan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelaku secara langsung maupun tidak langsung telah menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of life) orang lain terutama korban.

Dengan kata lain, kaum abolisionis membenarkan tindakan pelaku kejahatan yang secara terang telah melanggar hak hidup dan hak atas kehidupan korban atau pihak lain. Mengabaikan atau menisbikan hakuntukhidupkorbandarikejahatan-kejahatanitu. Sebagai ilustrasi mengabaikan korban kejahatan narkoba di Indonesia yang angkanya mencapai 15 ribu orang setiap tahun atau 41 orang mati setiap hari. Bila menggunakan pendekatan kuantitatif, jumlah orang (korban) yang telah dirampas hak hidupnya lebih banyak dari pelaku kejahatan sendiri. Membela hak hidup satu orang (pelaku), dan mengabaikan hak hidup banyak orang (korban) suatu pandangan yang naif.

Bahwa benar konstitusi memberikan hak untuk hidup pada setiap orang (vide Pasal 28I ayat (1)),namun pembacaan secara sistematis dan mendalami original intent pembentukan pasal-pasal HAM, bahwa keseluruhan hak-hak yang diberikan itu ditutup dengan ketentuan dalam Pasal 28J. Dengan dua ketentuan: (1) setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain; dan (2) pelaksanaan hak dan kebebasan tunduk kepada pembatasan. Oleh karena itu pembacaan atas hak hidup dalam konstitusi tidaklah bebas, mutlak dan berdiri sendiri. Namun dibatasi dan tidak boleh melanggar hak asasi orang lain. Pengaturan Pasal 28J sebagai pasal penutup tentang hak asasi manusia sejalan dengansistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms,everyone shall be subject only to such limitations as.

Asumsi kedua, kaum abolisionis di Indonesia berlindung pada argumentasi restorative justice dengan (sekali lagi) menggunakan prespektif pelaku kejahatan. Bahwa pelaku kejahatan (yang diancam dengan pidana mati itu) sebagai“orangsakityangperludisembuhkan”. Pandanganinitelah mengabaikan fakta bahwa setiap kejahatan – apakah ia termasuk dalam kategorimalainse ataumalaprohibita –sesungguhnyaadalah serangan terhadap harmoni sosial masyarakat, yang berarti pula bahwa setiapkejahatanpastimenimbulkan“luka”berupadisharmonisosial padamasyarakat.Makintinggikualitaskejahatanmakintinggipula kualitasdisharmonisosialyangditimbulkannyapadamasyarakat. Sehingga, pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah harmoni sosial dalammasyarakatdipulihkanhanyadenganmerestorasipelaku kejahatan yang menimbulkan disharmoni tersebut,sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang menentang pidana mati.

Hukuman (pidana) yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan haruslah dilihatjuga sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang tergangguakibatdarikejahatanitu.Keadilanbarudirasakanada manakala harmoni sosial telah dipulihkan. Artinya, yang membutuhkan upaya-upaya restoratif sesungguhnya adalah masyarakat yang harmoni sosialnyatergangguolehadanyakejahatantadi.Dengandemikian, hukuman (pidana) adalah upaya untuk merestorasi disharmoni sosial itu. Pada dasarnya konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Asumsi ketiga, bahwa bentuk pidana mati adalah melanggar hak asasi manusia. Anggapan ini sebenarnya tidak tepat. Sebab,bukanhanyapidanamati,melainkanseluruhjenispemidanaanpadahakikatnya adalah pelanggaran HAM, tetapi kemudian menjadi sah karenadiperkenankanolehhukumyangberlaku.Dalamhalpenahanantidakdidasarkan pada suatu ketentuan hukum yang berlaku dapat pula disebutsebagai pelanggaran HAM, tidak hanya hukuman mati, tetapisemua jenis hukuman pidana pada hakikatnya merampas atau melanggarHAMdarisiterpidana,namunkemudiansahkarenasesuaidenganketentuan hukum yang berlaku. Bila kaum abolisionis di Indonesia konsisten, maka protes dan penghapusan bersandar pada alasan HAM tidak saja pada pidana mati tetapi pada rupa-rupa pidana badan lainnya.

Asumsi keempat, kaum abolisionis di Indonesia beranggapan bahwa pidana mati wujud dari pembalasan (retributif). Bersumber pada teori pembalasan kuno (lex alionis). Harus dipahami penggunaan pembalasan dalam bentuk-bentuk pidana (hukuman) tidaklah berarti balasdendam,melainkanpembalasan yang sesuai (proporsional) dengan kesalahan pelaku kejahatan. Pada hakekatnya teori retributif merupakan“morallyJustified“ karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.

Dalam konteks hukum di Indonesia, teori retributif dalam menjatuhkan pidana mati bersifat primumremidium. Suatu pilihan paling akhir jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki pelaku kejahatan. Ketika sanksi-sanksi lain sudah tidak lagi berdaya. Prinsip primumremidium nampak pada dua hal : pertama, rekomendasi atau pendapat Mahkamah Konstitusi dan Tim Perancang KUHP(revisi) memuat sejumlah persyaratan yang cukup ketat. Diantaranya pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yangapabilaterpidanaberkelakuanterpujidapatdiubahdenganpidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkansampaiperempuanhamiltersebutmelahirkandanterpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Kedua, dalam norma sejumlah undang-undang yang mencantumkan pidana mati dirumuskan secara khusus, alternatif dan selektif. Diantaranya terdapat dalam KUHP, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Pengadilan HAM, UU Tindak Pidana Korupsi. Terlebih UU Tindak Pidana Korupsi, ketentuan yang tercantum didalamnya bersidat fakultatif dengan mencantumkan kata “dapat”. Artinya hakim dapat saja menjatuhkan hukuman mati pada koruptor atau sebaliknya.

Demikianlah sejumlah pandangan dan pikiran kaum abolisionis di Indonesia yang secara umum saya sebut inkonsistensi. Ringkasnya, hanya meributkan pidana mati pada pelaku kejahatan narkotika.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun