Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Drama Politik Calon Kapolri

14 Januari 2015   19:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:09 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421223887421087356

[caption id="attachment_390736" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Kompas.com"][/caption]

Proses pencalonan Komjen Budi Gunawan penuh dengan keganjilan. Suatu yang tak lumrah. Sehingga sulit melihat peristiwa ini lepas dari keterkaitan politik. Karena hanya politik yang dapat membuat suatu peristiwa menjadi akrobat. Jungkir balik tidak karuan. Bagi penonton (termasuk yang mengatakan dirinya sebagai pengamat) tidak akan mampu membuat analisis yang pas atas peristiwa itu. Bagaimana tidak, jika informasi yang diperoleh hanya didapat dari pemberitaan di media massa. Pemberitaan atas tindakan dan dan ucapan para politisi dan para aktor di atas panggung. Informasi yang sangat sumir dan tidak merepresentasikan situasi yang sebenarnya terjadi. Terkadang informasi itu sudah terdistorsi lebih dulu. Dengan modal informasi yang sangat terbatas itu, analisispun tak lebih dari sekedar dugaan. Rekaan dan asumsi. Berikut rekaman saya, beberapa keganjilan yang menyertai peristiwa yang heboh pekan ini:

Pertama, Presiden Jokowi tidak melibatkan KPK dan PPATK serta KomasHAM untuk dimintakan pendapatnya perihal profil Budi Gunawan. Meskipun ketentuan ini bukanlah suatu keharusan yang diwajibkan dalam undang-undang. Namun, tradisi pencalonan Kapolri –paling tidak sejak Presiden SBY – KPK dan PPATK dilibatkan. Terlebih Presiden Jokowi sudah memulai saat proses pencalonan Menteri hingga Dirjen Pajak. Walaupun ada pengecualian atas pencalonan Jaksa Agung, KSAU dan KSAL. Minimal KPK dilibatkan dalam melakukan uji sahih terhadap laporan harta kekayaan penyelanggara negara (LHKPN) calon. Menurut saya, sulit diterima akal sehat Presiden Jokowi menabrak tradisi ini. Apalagi sebelumnya, nama Budi Gunawan sudah terkena “stabilo merah” KPK sewaktu diajukan sebagai calon Menteri. Apa motif kesengajaan ini yang dilanggar oleh Jokowi? Semua orang hanya bisa menebak dan mereka-reka, motif dibalik ini semua.

Keganjilan Kedua, proses penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal sangat terburu-buru. Surat dari Kompolnas yang diterima pada pagi hari Jumat, 9 Januari 2015, langsung dibuat surat oleh Sekretariatan Negara sore harinya ke DPR RI dengan langsung menunjuk Budi Gunawan sebagai calon tunggal. Sebagaimana tradisi pencalonan Kapolri sebelumnya, atau pencalonan Menteri, beberapa calon dipanggil terlebih dahulu oleh Presiden ke Istana. Mengikuti proses wawancara langsung dengan Presiden. Lagi-lagi tradisi ini ditabrak oleh Presiden Jokowi. Maka wajar jika publik mempertanyakan, apa motifnya? Mengapa terburu-buru? Bukankah masa pensiun Kapolri Sutarman masih cukup lama: Oktober 2015. Ada peristiwa apa, sehingga Presiden terburu-buru ingin mengganti Kapolri. Sementara Jendral Sutarman, hampir-hampir tidak memiliki “dosa” politik (menurut pemberitaan di media massa). Beda halnya dengan pergantian KSAL yang lamban dan terkesan tidak merespon instruksi Presiden untuk menenggelamkan kapal pencuri ikan. Wajar jika diganti selekasnya.

Ketiga, demikian pula Kompolnas yang mengajukan calon dilakukan secara cepat. Hanya memiliki waktu untuk memeriksa persyaratan administratif. Keganjilan itu, ketika melihat daftar nama usulan calon Kapolri. Hanya ada 5 (lima) nama calon yang kesemuanya berpangkat Komjen. Sementara pada saat penggantian Kapolri Timur Pradopo, Kompolnas mengajukan sembilan calon, tiga berpangkat Komjen dan enam orang berpangkat Irjen. Sementara dua nama usulan: Budi Gunawan dan Badrodin Haiti, sudah terkena isyu rekening gendut sejak tahun 2010. Mengapa tetap diusulkan oleh Kompolnas?. Maka wajar pula jika ada dugaan bila publik menyatakan Kompolnas ikut “bermain”. Sebagai catatan, komposisi pengurus Kompolnas, tiga diantaranya adalah Menteri, yang notebenenya pembantu Presiden Jokowi. Sebagai ketua Kompolnas, Tedjo Edhy Purdjianto (Menko Polhukkam). Lalu dua nama adalah kader PDI Perjuangan. Wakil Ketua Kompolnas: Tjahjo Kumolo (Mendagri), dan anggota Yasonna Hamonangan Laoly (Menkumham). Ketiga nama ini tiba-tiba bungkam. Di media yang seolah-olah mewakili Kompolnas hanya Adrianus Eliasta Meliala. Padahal Adrianus posisinya sebagai anggota biasa.

Keempat, surat yang dibuat Sekneg Pratikno ke DPR bocor ke media sosial dan media massa. Surat yang dikatagorikan rahasia itu, sudah bocor terlebih dahulu sebelum diterima oleh DPR RI. Jadi pertanyaan, bocor atau dibocorkan? Lalu apa motifnya?

Kelima, dari bocornya surat itulah, Indonesia Corruption Watch(ICW) langsung beraksi. Reaksi pertama dengan melakukan pertemuan dengan Bambang Widjojanto, komisioner KPK. Reaksi kedua, ICW lewat Emerson Yuntho menggalang petisi lewat change.org. untuk menolak pencalonan Budi Gunawan. Anehnya dari 10 ribu lebih dukungan petisi itu, hampir sebagian besar adalah relawan Jokowi saat Pilpres. Termasuk ICW meskipun lembaga ini non partisan tapi sikap politiknya saat Pilpres lebih condong mendukung Jokowi-JK. Harus diingat bahwa Bambang Widjojanto adalah pendiri ICW.Pertanyaannya, apakah tidak ada hubungan dan komunikasi antara ICW-Bambang Widjojanto dengan Teten Masduki. Kenapa Teten Masduki? Saat ini Teten ada dalam lingkaran istana. Diangkat oleh Jokowi sebagai staff khusus di Kementrian Sekretaris Kabinet. Sejak Pilpres sampai saat ini, Jokowi mempercayakan kepada Teten perihal isyu anti korupsi. Ini ditandai dengan masuknya Teten dalam Tim Anti Mafia Migas dibawah Faisal Basri.Sedangkan Teten adalah mantan Ketua Badan Pekerja ICW.Hingga saat ini komunikasi Teten, Bambang dan ICW masih terjalin. Jadi pertanyaan, apakah Teten membiarkan ICW membuat petisi yang seolah-olah menyerang keputusan Presiden Jokowi. Dan penandatangan petisi, mayoritas pendukung dan relawan Jokowi. Ada apa ?

Keenam, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK juga ganjil. Menurut KPK, perkara ini udah diselidiki sejak Juli 2015. Dengan bahan penyelidikan itulah, KPK memiliki catatan hingga membuat tanda “stabilo merah” pada Budi Gunawan saat dicalonkan sebagai Menteri. Meskipun tidak menyalahi ketentuan hukum, namun penetapan Budi Gunawan yang secepat kilat itu terkesan ganjil. Belum pernah sebelumnya Budi Gunawan diperiksa oleh KPK. Bahkan pemeriksaan saksi-saksi sekalipun belum terjadi. Dua alat bukti yang diperoleh pada tahap penyelidikan, biasanya dikonfrontir terlebih dahulu kepada saksi-saksi pada tahap penyidikan. Dari terkonformasinya alat bukti itulah, status seseorang bisa dinyatakan sebagai tersangka. Seperti kasus Ratu Atut, yang terlebih dahulu diperiksa sebagai saksi. Lain halnya jika Budi Gunawan tertangkap tangan. Dari peristiwa-peritiwa sebelumnya (misalnya Anas Urbaningrum atau Andi Malaranggeng), waktu keluarnya surat perintah penyidikan hingga penetapan sebagai tersangka memakan waktu lebih dari satu bulan. Untuk kasus Budi Gunawan, hari itu keluar Sprindik, hari itu juga ditetapkan sebagai tersangka. Dan tidak melalui pemeriksaan saksi-saksi sebelumnya.

Ketujuh, sangat aneh 9 dari 10 fraksi di DPR sudah bersepakat untuk meloloskan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Padahal kita ketahui KMP sangat reaktif pada isyu yang berkaitan dengan pemerintahan Jokowi. Sebagai corong biasanya Fadli Zon (Wakil Ketua DPR). Kali ini Fadli Zon justru membela Budi Gunawan. Dengan mengatakan “Kalu memang misalnya KPK dan PPATK ada bukti terkait dengan rekening saudara Budi Gunawan, ya buktikan sekarang. Kalau memang tak punya bukti, sebaiknya mereka tutup mulut," kata Fadli (12/1/2014). Padahal masih pada subyek yang sama, sebelumnya Fadli Zon paling kencang mempermasalahkan pertemuan Budi Gunawan dengan Trimedya Panjaitan di rumah makan Sate Senayan saat kampanye Pilpres. Ditambah, setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka, malamnya beberapa anggota Komisi III DPR menemui di kediaman Budi Gunawan. Untuk memastikan proses uji kepatutan dan kelayakan tetap akan dilaksanakan meskipun yang bersangkutan sudah dalam status tersangka. Mengapa, DPR tetap ngotot mempertahankan Budi Gunawan ?

Inilah tujuh peristiwa yang terasa ganjil bin aneh pada proses pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Siapa sesungguhnya yang “bermain”. Menjadi wayang dan dalang, sudah tidak jelas lagi. Sebagai penonton, saya, anda dan kita semua hanya bisa menerka dan menebak-nebak saja. Ada apa dibalik ini semua ?

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun