Karena hari ini (1 Oktober 2014), anggota DPR dilantik, tepat kiranya jika kita membuat refleksi. Meletakan cermin dihadapan anggota DPR untuk melihat siapa sesungguhnya mahluk itu. Bila tidak, kita sukar menebak dan mengidentifikasi siapa sesungguhnya anggota DPR itu. Saya akan memulainya dengan ilustrasi.
Mengapa kita harus marah, protes kepada anggota DPR, jika mereka malas-malasan rapat dan sering bolos. Mengapa kita kadang teriak ketika anggota DPR plesiran bersama keluarga dengan alasan studi banding. Mengapa kita harus gusar, jika ada diantara mereka yang ditangkap KPK. Mengapa kita harus memaki saat kehendak orang banyak tidak mereka hiraukan. Apakah karena mereka wakil rakyat yang sering diklaim? Bukan !. Apakah karena kita memilih mereka ? juga bukan !.
Mau kita pilih atau mereka diangkat oleh Presiden seperti dahulu Zaman Volkstraad dan DPR GR. Kita memang wajib protes. Mereka tidak seluruhnya mewakili rakyat. Hanya 20% rakyat dalam pengertian pemilih yang terwakili dalam diri mereka. 80% nya lagi tidak terwakili. Entah karena Golput, atau caleg yang dipilih tak memenuhi BPP. Masih mending Presiden Jokowi yang bisa dikatakan mewakili 53% suara rakyat. Sedangkan DPR atau DPRD tak lebih dari 20% mewakili rakyat. Meskipun hanya 20%, tetap saja kita mesti memaki jika mereka melakukan kesalahan. Apa alasanannya? Karena kita yang membayar mereka.
Sama seperti ketika anda sudah membayar seorang pembantu di rumah, tapi kerjanya banyak tiduran dan chating dengan pacarnya. Rumah kotor berantakan tak terurus. Padahal setiap bulan, gaji tak pernah putus. Karena alasan membayar itulah, kita memang wajib marah jika mereka tak melakukan kewajibannya.
Jadi peran dan posisi anggota DPR tak lebih seperti pembantu, pelayan, hamba atau abdi. Karena mereka dibayar oleh tuannya. Jadi kalau ada yang bilang, kita harus menghormati anggota DPR sebagai wakil kita. Ini pernyataan keblinger. Menghormati dari hongkong. Dalam pergaulan hidup, semua kita wajib saling menghormati. Sebagai wujud hubungan kemanusiaan. Sama-sama manusia yang setara. Bukan karena jabatan dan status. Terlebih jabatan dan status itu adalah pelayan, hamba dan abdi. Seharusnya yang namanya hamba dan abdi, anggota DPR yang harus tunduk, taat dan hormat pada tuannya. Tuan itu bernama Rakyat. Wakil Tuhan dimuka bumi (vox dei). Dunia jadi terbalik jika hamba dan abdi minta dihormati oleh tuannya. Bertinglaku layaknya mandor. Padahal mereka dibayar. Dan rakyat lah yang membayarnya.
Rakyat membayar dengan Pajak !. Kumpulan pajak menjadi pendapatan negara. Masuk ke dalam kas negara. Penerimaan pajak menjadi sumber utama dari APBN. Lebih dari 70% pendapatan negara berasal dari pajak. Atau sekitar Rp 1000 triliun. Sisanya baru dari sektor ESDM. Dari kas negara itulah, anggota DPR bisa mendapat take home pay tak kurang dari Rp 50 juta per bulan. Atau kurang lebih Rp 1 miliar per tahun. Segala fasilitas diperoleh. Dari rumah, kendaraan, tunjangan sampai biaya pemakaman jika wafat. Itupun mereka dibebaskan dari membayar pajak. Dengan adanya tunjangan PPh sebesar Rp 1,730,000 per bulan. Hanya urusan pulsa saja, diberikan Rp. 14,4 juta per bulan. Gilanya lagi, pendapatan anggota DPR Indonesia, masuk empat besar dunia. Negara miskin tapi pendapatan anggota DPR fantastis. 18 kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk. Penghasilan DPR mengalahkan penghasilan anggota parlemen dari Amerika. Di Amerika, anggota parlemen tidak ada yang mendapat fasilitas perumahan atau bantuan kredit kendaraan. Itupun masih dianggap kurang.
Sementara warga masyarakat membayar pajak merupakan kewajiban. Jika tidak, negara bisa memaksa. Padahal dari pajak, orang tidak mendapat manfaat langsung. Beda dengan retribusi atau iuran. Kita punya rumah dan tanah hasil beli sendiri, diwajibkan bayar PBB setiap tahun. Punya motor yang masih kredit, tetap bayar pajak kendaraan bermotor. Kerja setengah mati, lalu dapat bayaran, harus dipotong dengan pajak penghasilan. Dari PPh ini saja, penerimaan negara mencapai Rp 464 triliun. Bahkan rokok yang katanya merusak kesehatan itu tetap harus bayar cukai. Dari cukai rokok, negara mendapat penghasilan Rp 87 triliun.
Jadi saudara Golput atau tidak memilih anggota DPR itu dalam Pemilu lalu, saudara tetap wajib membayar pajak. Dan diantaranya untuk membayar kemewahan hidup anggota DPR. Makan di restoran menggunakan uang dari hasil kerja sendiri, tetap saja harus dipotong pajak. Hanya oksigen yang tidak dikuasai negara. Jika itu dikuasai, mungkin bernafas saja, kita harus membayar pajak. Uang pajak menjadi pendapatan negara. Dari kas negara itulah segala fasilitas diberikan kepada anggota DPR. Bahkan dianggap semua gaji dan fasilitas itu kurang. Masih merampok kas negara dengan korupsi. Mereka bukan dibayar oleh uang negara. Kapan negara punya penghasilan. Meskipun ada pemerintahan, jika rakyat mogok dan boikot membayar pajak, apa yang bisa dilakukan oleh negara.
Memang di Indonesia, pengertian rakyat masih abstrak. Berbeda dengan negara kesejahteraan di Eropa Barat. Secara jelas dan terang, negara melindungi kepentingan pembayar pajak. Pemerintahan akan berhenti, jika pembayar pajak melakukan boikot dan menolak membayar pajak. Rakyat atau pembayar pajak wajib meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang menggunakan uang itu. Rakyat atau pembayar pajak berhak mendapat manfaat dari adanya pemerintahan yang menggunakan uang pajak rakyat. Itulah mengapa disebut kedaulatan rakyat. Tak ada negara jika tak ada rakyat. Dan pemerintah menundukan diri sebagai abdi rakyat, pelayan rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai pembayar pajak.
Jika tidak, maka tak ubahnya negara seperti raja lalim. Memungut pajak dan upeti dari rakyat untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Negara ini jelas republik (res publika). Bukan kekaisaran totaliter. Dimana keluarga kerajaan dan para punggawa hidup bermewah-mewahan dengan mennggunakan uang pajak dan upeti dari rakyat. Seperti TKI kita yang dianggap sebagai penyumbang devisa negara, menambah pendapatan negara. Mereka yang bekerja siang malam sebagai pembantu rumah tangga di negri jiran, diambil manfaatnya oleh negara. Tatkala para TKI didera masalah, pemerintah seakan menutup mata.
Anggota DPR yang punya jas bagus, rumah bagus, mobil bagus, yang dibayar dari gaji dan penghasilan sebagai anggota DPR tak lain dan tak bukan berasal dari uang rakyat sebagai pembayar pajak. Apa yang patut disombongkan dari jabatan dan status seperti ini. Jika hidup mereka ditopang dari uang rakyat pembayar pajak. Masih lebih bangga jadi sopir bajaj yang bekerja dengan keringat sendiri dan tetap membayar pajak untuk memberi nafkah hidup bagi anggota DPR.
Adalah kewajiban rakyat sebagai pembayar pajak untuk meminta pertanggungjawaban kerja. Meminta mereka tidak malas-malasan. Berteriak jika kerjanya plesiran. Protes jika kebijakan yang diambil bertentangan dengan kepentingan pembayar pajak. Dan wajib hukumnya mencaci maki jika mereka malah merampok uang rakyat dengan cara korupsi. Menggunakan status dan jabatan sebagai anggota DPR untuk memperkaya diri sendiri. Karena sesungguhnya anggota DPR tak ubahnya hanya pelayan, abdi, dan hamba bagi rakyat Indonesia. Bahwa jabatan mereka adalah “wakil rakyat” bisa jadi benar. Tapi, tatkala mereka kerja dan hidup sebagai wakil rakyat menggunakan uang rakyat, saat itu juga mereka abdi dan hamba rakyat. Rakyat sebagai pembayar pajak.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H