Bila dipersonifikasi, saat ini seharusnya Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut: DPD) melakukan tobat. Tobat atas segala dosa-dosa yang sudah diperbuat. Tapi apa yang ditunjukan hari ini? Kembali DPD melakukan dosa dengan terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD yang baru. Dosa dalam pandangan publik yang memegang etika politik sebagai pedomannya. Publik yang mana? secara khusus saya membatasi publik adalah kalangan organisasi masyarakat sipil (NGO/CSO) yang selama ini memberi dukungan pada DPD; kalangan akademisi khususnya ahli hukum tata negara yang selama ini mendorong DPD diberi kewenangan yang lebih besar dan kalangan media massa. Inilah “Tuhan” bagi DPD. Dimana DPD bersandar dan menaruh harap akan perjalanan dan masa depannya. Tapi jika DPD terus melakukan dosa, apa yang dapat diharapkan lagi pada publik?.
Pertanyaannya, salahkah anggota DPD memilih secara aklamasi Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD yang baru? Secara tegas saya nyatakan: salah !. Dari sisi hukum salah, dari etika politik juga salah. Jadi salah yang berlapis-lapis. Salah dalam tulisan ini saya identikan dengan dosa.
Ditinjau dari praktek hukum tata negara, pemilihan pimpinan (termasuk ketua) DPD cacat hukum. Karena tidak ada dasar hukum yang menjadi landasan pengambilankeputusan ini. Bagaimana tidak, Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib sudah dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Agung. Lalu mau menggunakan Tata Tertib yang mana? Peraturan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib pun sudah dinyatakan tidak sah oleh MA pada 20 Februari 2017 lalu. Kemudia muncul usulan aneh untuk kembali menggunakan Tatib tahun 2014. Ini jelas blunder.
Sebab Tatib tahun 2014 sudah dicabut oleh Tatib 2016. Bila tidak atau belum ada Tatib, apa dasar hukum pemilihan pimpinan DPD? Seharusnya DPD, mencabut terlebih dahulu Tatib yang sudah dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung, terus membuat Tatib baru. Dari Tatib baru itulah mekanisme dan pengambilankeputusan pemilihan pimpinan DPD baru bisa dilaksanakan. Pada sisi ini saja, publik (khususnya kalangan CSO, akademisi dan media massa) sudah menghimbau pada DPD untuk tunduk pada putusan Mahkamah Agung. Tetapi himbauan itu diabaikan. DPD tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung.
Ditinjau dari etika politik, terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD mengambarkan kerakusan pada kekuasaan. Berorientasi pada kekuasaan. Dalam hal ini mengejar kursi pimpinan DPD. Saat ini Oesman Sapta Odang menduduki jabatan Wakil Ketua MPR dan juga Ketua Umum Partai Hanura. Untuk rangkap jabatan sebagai pimpinan MPR sekaligus ketua DPD inipun menimbulkan kegaduhan. Ditambah lagi Oesman Sapta Odang sebagai ketua umum partai Hanura. Mungkin bagi Oesman Sapta Odang itu masalah pribadi beliau yang memang haus pada kekuasaan. Tapi pertanyaan untuk anggota DPD yang katanya memilih secara aklamasi, apakah tidak ada anggota DPD lain yang pantas menduduki jabatan sebagai ketua DPD?
Mungkin saja anggota DPD beranggapan bahwa dengan terpilihnya ketua umum partai Hanura sebagai ketua DPD, perjuangan DPD untuk memperluas kewenangannya di DPR dapat jalan mulus. Ini pikiran yang sesat dan naif. Ada beberapa alasan yang ingin saya kemukakan disini:
Pertama, bila selama ini DPR acuh, tidak peduli bahkan mempreteli kewenangan DPD lewat UU MD3 dan tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi bukan lantaran lemahnya lobi politik pada fraksi dan partai politik di DPR. Bisa jadi asumsi ini yang dijadikan alasan mengapa banyak anggota DPD masuk menjadi anggota partai politik. Padahal lemahnya kewenangan DPD bukan pada tataran praktek an sich. Tetapi secara konseptual, memang begitulah (segitulah?) batas kewenangan DPD.
Konseptual yang saya maksud, alasan keberadaan dibentuknya DPD dalam perdebatan amandemen UUD 1945 sejak perubahan pertama tahun 1999. Jadi ini bukan ada tidaknya “keinginan politik” dari DPR –yang notebenenya diisi orang partai politik – untuk memberi kewenangan lebih besar pada DPD. Tapi sejak dari “sononya”, DPD itu tidak lebih dari “utusan daerah yang dilembagakan” bukan parlemen kamar sebelah.
Kedua, jika anggapan anggota DPD dan ketuanya adalah bagian dari partai politik dan akan memudahkan jalan perjuangan DPD – paling tidak hendak melakukan amandemen UUD 1945 – bisa mulus, tentu salah besar. DPR yang terdiri dari banyak partai politik tentu memiliki kepentingan politik masing-masing. Dan kepentingan itu tidak abadi. Lalu bagaimana mungkin, kalau DPD dipandang oleh anggota DPR (yang lain) sebagai “fraksi Hanura dari kamar sebelah” mau didukung oleh partai-partai politik lain? Kalaupun akan ada dukungan, apa bentuk pertukaran politik sebagai wujud kepentingan itu? Justru dengan anggapan DPD adalah “fraksi Hanura dari kamar sebelah”, perjuangan DPD secara kelembagaan di DPR menjadi makin lemah.
Ketiga, satu kekuatan selama ini yang menyokong DPD adalah publik. Pihak CSO, akademisi, praktisi hukum dan media massa. Mereka sudah mendukung DPD sejak amandemen UUD ketiga. Dimana perwakilan LSM/NGO di Badan Pekerja MPR, mengusulkan agar DPD menjadi semacam kamar kedua (senat) dan kewenangannya diperbesar. Dukungan tidak berhenti sampai disitu. Penguatan terus dilakukan termasuk diantaranya menjadi Pemohon ke-3 dan Pemohon ke-4 dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Tujuannya agar DPD menjadi kekuatan pengimbang dari DPR. Tapi jika DPD terus melakukan kesalahan, bagaimana mungkin akan mendapat dukungan dari publik?
Sepatutnya DPD memperbaiki diri dan bertobat bukan malah menambah daftar dosa. Dosa dimana tidak ada output yang berarti atas kerja legislasi selama ini (lihat progres RUU Wawasan Nusantara); dosa saat ketua Irman Gusman dicokok oleh KPK; dosa DPD tidak patuh pada hukum dengan mengabaikan putusan MA; dosa DPD saat anggotanya berbondong-bondong masuk partai politik; dosa kisruh dan kacaunya sidang paripurna DPD; dan terakhir dosa memilih ketua umum partai Hanura dan Wakil Ketua MPR menjadi Ketua DPD yang baru.