Sebenarnya saya tidak terlampau hirau lagi dengan polemik UU Pilkada. Karena proses hampir usai. Saya katakan hampir, karena hanya menyisakan satu tahap lagi hingga sampai penghujung. Tinggal putusan Mahkamah Konstitusi atas pengajuan uji materi UU Pilkada. Tidak ada cara lain. Inilah kanal satu-satunya untuk menyatakan pendapat pro atau kontra. Dan saya tidak akan menanggapi proses persidangan tersebut. Sebab para hakim MK tidak dapat diintervensi dengan pembentukan opini publik. Diantaranya dengan membuat tulisan di Kompasiana ini. Putusan para hakim murni putusan hukum, atas keyakinan para hakim. Lagipula selama persidangan, para hakim tidak diperkenankan membaca dan menyimak pemberitaan di media massa, untuk menghindari pengaruh pembentukan opini.
Berbeda halnya saat proses pembahasan di DPR hingga pengesahan tanggal 26 September 2014. Apapun produk DPR dan pemerintah di gedung itu, senyatanya adalah hasil dari pertarungan politik. Pembentukan opini publik bagian dari pertarungan itu. Ketika saya menulis di Kompasiana dan blog lain, dengan maksud untuk turut mempengaruhi opini publik. Alasan dan argumen hanya soal pilihan untuk memberi pembenaran. Ketika pertarungan telah dimenangkan oleh salah satu pihak, maka berakhir sudah satu babak. Pembentukan opini tak memiliki pengaruh signifikan untuk menarik kembali putusan tersebut. Dan saya menghormati itu.
Oleh karenanya, saya tidak terlampau hirau lagi dengan segala bentuk manuver politik untuk mendesakan pikiran agar UU Pilkada dapat digagalkan. Karena menurut saya selain cara melalui uji norma baik ke MA maupun ke MK, tidak ada cara lain lagi. Termasuk cara yang ditempuh Presiden SBY untuk mengeluarkan Perpu. Atau usulan Yusril agar Jokowi tidak menandatangani UU Pilkada yang telah disahkan DPR. Bahkan yang paling ekstrim, mendorong Presiden menerbitkan Dekrit. Karena cara-cara seperti ini hanya bentuk dari manuver politik.Tidak ada maksud untuk mengagalkan UU Pilkada atas nama tuntutan rakyat. Alasan klise dan dicari-cari.
Apa yang dilakukan Presiden SBY dalam 2 minggu terakhir sesungguhnya untuk menyelamatkan diri sendiri. Maafkan saya, jika apa yang saya kemukakan ini dianggap tidak berkenan. Dari pernyataan maupun tindakan yang dilakukan oleh Presiden SBY secara logis tak ada maksud untuk mengusung pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Justru ada agenda tersembunyi yang hendak disampaikan.
Jika Presiden SBY memang sungguh-sungguh untuk mengusung Pilkada secara langsung, sedari awal hal itu yang diperjuangkan lewat pembantunya bernama Menteri Dalam Negeri. Pernyataan Presiden SBY yang mengatakan bahwa dia lebih memahami aspirasi rakyat selama 10 tahun memerintah sangat kontras dengan RUU yang diajukan oleh Kemendagri 3 tahun yang lalu. Dengan mengajukan mekanisme pemilihan Gubernur lewat DPRD dan pemilihan Bupati / Walikota secara langsung. Bahkan hingga Februari 2014, usul itu tetap dipertahankan oleh pemerintah. Sebaliknya ditolak oleh semua fraksi di DPR. Jika kemudian pemerintah mengubah usulan tersebut karena semua fraksi di DPR dari bulan Februari hingga akhir Agustus 2014,menolaknya. Dan kemudian terjadi secara tiba-tiba tanggal 2 September 2014, fraksi yang tergabung dalam KMP mengubah sikapnya, semua orang juga sudah tahu apa latar belakangnya. Karena itulah politik.
Sedari awal pemerintah memang tidak berniat untuk melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung. Paling tidak pemilihan Gubernur lewat DPRD. Bila kemudian Presiden SBY mengubah sikap politiknya di dua minggu terakhir atau satu minggu menjelang rapat paripurna DPR, masih ada kesempatan pemerintah untuk menarik RUU Pilkada itu. Karena RUU Pilkada berasal dari hak inisiatif pemerintah. Atau jika hal itu tidak dapat dilakukan karena pelbagai alasan, pemerintah dapat mengajuan ketidaksetujuan dalam rapat tingkat pertama di komisi atau panja sebelum rapat paripurna.
Saya kira Presiden SBY memahami benar mekanisme pengambilankeputusan ini selama 10 tahun di pemerintahan. Ketidaksetujuan pemerintah saat pembahasan RUU bersama DPR dan atau DPD, dapat dilakukan saat rapat tingkat pertama. Tak perlu jauh-jauh untuk membandingkannya. RUU Daerah Otonomi Baru (DOB) atau RUU Pertanahan yang sedianya akan dibawa ke rapat paripurna DPR tanggal 29 September 2014, gagal dilakukan karena belum ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR. Salah satu pihak saja tidak ada persetujuan, RUU tidak dapat diajukan ke rapat paripurna. Soal perbedaan pendapat antar fraksi jikapun tidak menemukan kesepakatan dapat diselesaikan di rapat paripurna. Pada saat rapat paripurna, pemerintah tidak punya hak lagi untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Setuju atau tidak setuju. Jadi hanya akal-akalan Presiden SBY, saat UU sudah disahkan mengatakan posisi pemerintah belum menyatakan ketidak setujuan. Bila pemerintah tidak setuju, RUU tersebut tidak akan diajukan ke rapat paripurna seperti RUU DOB dan RUU Pertanahan. Persetujuan pemerintah letaknya berada di rapat tingkat pertama baik di rapat Komisi, Panja atau Pansus. Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Presiden SBY melalui Kemendagri ? Terlampau naif jika kita mengatakan Presiden SBY tidak tahu mekanisme ini.
Selanjutnya justru mengeluarkan Perpu atau tidak ingin menandatangani UU Pilkada. Sekali lagi, saya katakan terlampau naif jika kita katakan Presiden SBY tidak mengerti hukum. Bahkan mengatakan akan melakukan uji norma ke MK. Pastilah Presiden SBY tahu hukum paling tidak lewat penasehat khusus Presiden bidang hukum. Bahwa Pemerintah tidak punya legal standing mengajukan gugatan ke MK. Termasuk atas nama partai Demokrat, tidak punya legal standing itu. Tidak mungkin jika Presiden SBY pura-pura bodoh atau buta hukum.
Presiden SBY pasti tahu jika Perpu yang dikeluarkan akan sia-saia saja. Alasan kegentingan memaksa atas dikeluarkannya Perpu tidak terpenuhi. Karena peristiwa hukum atas pemberlakukan UU Pilkada belum terjadi. Pilkada baru akan dilakukan Oktober 2015. Bagaimana bisa meramal akan terjadi kegentingan memaksa. Sementara peristiwa hukum atas pemberlakukan UU Pilkada belum terjadi saat ini. Dan saya kira Presiden SBY juga mengetahui. Termasuk Presiden SBY mengetahui jika Perpu yang diterbitkan berpotensi akan menimbulkan ketegangan antara Presiden dan DPR. Entah disetujui atau tidak disetujui. Jadi soalnya bukan Perpu itu disetujui atau tidak disetujui dengan menghitung komposisi kekuatan fraksi di DPR. Tapi, akibat yang ditimbulkan dari setuju atau tidak disetujui Perpu itu akan menimbulkan ketegangan politik antara dua lembaga negara itu. Dan sekali lagi saya kira Presiden SBY sebagai ahli strategi militer sudah tahu itu.
Dari upaya Presiden SBY untuk mengeluarkan Perpu atau tidak ditandatangani UU Pilkada, ada sesuatu yang tidak masuk akal saya. Jika hal itu bagian dari rencana strategis maka rencana tersebut termasuk katagori rahasia negara. Aneh jika rahasia dibeberkan kepada publik dengan suka cita. Pertemuan dengan Yusril dibiarkan publik mengetahuinya. Pembicaraan telpon dengan hakim MK Hamdan Zoelva, dibiarkan media mempublikasikan. Bahkan smsDeny JA kepada Presiden, dibiarkan begitu saja diketahui umum. Seakan ada kesengajaan agar rencana rahasia ini dibeberkan kepada publik.
Termasuk sampai hari ini tidak ada sanksi apapun kepada Nurhayati Ali Assegaf penganjur walk out partai Demokrat saat rapat paripurna. Padahal sebelumnya mengatakan kecewa, marah dan memerintahkan untuk mengusut dalang yang memerintahkan walk out. Ketika sudah diketahui dan NurhayatiAssegaf melaporkan, Ketua Umum Partai Demokrat ini mengatakan memakluminya.
Dari rentetan peristiwa dan pernyataan Presiden SBY tersebut, apa sebenarnya motif di balik ini semua. Saya hanya menduga – mudah-mudahan dugaan saya salah --- SBY sedang membentuk opini kepada dunia Internasional. Agar ambisi SBY untuk bisa menduduki jabatan Sekjen PBB atau lembaga internasional lain dapat didukung oleh beberapa negara. Terkait rajinnya Presiden SBY dalam dua tahun terakhir menghadiri acara-acara internasional dan melakukan lawatan.
Pandangan dunia sangat ditentukan seberapa jauh persepsi Amerika atas suatu peristiwa di suatu negara. Persepsi Amerika menentukan dukungan. Ada dua peristiwa yang punya pengaruh atas dukungan itu. Pertama, pemberitaan New York Times (26/9/2014) yang menulis berita berjudul“Parliament in Indonesia Rolls Back Election Rights” (Parlemen Indonesia Menarik Hak Memilih). Secara gamblang koran itu menulis “… sebuah kemunduran bagi transisi demokrasi dan perampasan hak rakyat yang nyata oleh elite politik di negara itu. Ditambah dengan demoistrasi WNI dari New Jersey dan Philadelphia di depan hotel Presiden SBY menginap. Dalam waktu bersamaan berlangsung sidang paralel KTT Iklim di PB. Dihadiri sejumlah kepala negara dan beberapa tokoh dunia lainnya. Meskipun New York times tidak dapat dikatakan mewakili persepsi Amerika. Tapi media ini punya pengaruh untuk ikut membentuk opini di tingkat dunia. Saat bersaamaan Presiden SBY yang berada di New York bersama dengan tokoh dan kepala negara lain, New York Times memberitakan situasi politik di Indonesia.
Kedua, gejolak politik dan demostrasi besar yang terjadi di Hongkong. Dan masih terkait dengan isu pemilihan langsung. Suhu politik di Hong Kong menghangat, bahkan cenderung memanas. Belakangan ini frekuensi aksi demo meningkat, seiring tidak di responya tuntutan warga HK untuk bisa memilih sendiri pemimpin daerah Administrasi Khusus Hong Kong. Dua peristiwa politik dengan isu yang sama baik di Indonesia dan Hongkong, kini mendapat sorotan dunia internasional.
Pada situasi ini reputasi SBY diuji. Sejauhmana reaksi dan tindakan SBY sebagai seorang tokoh dapat membantu mendorong proses demokratisasi. Tindakan, pernyataan yang dilakukan oleh Presiden SBY selama 2 minggu terakhir akan melengkapi “curiculum vitae” dirinya untuk mendapat dukungan dunia internasional. Dengan menyatakan bahwa dirinya sudah berupaya melakukan penyelamatan demokrasi dan menunjang perdamaian.
Posisi Presiden SBY saat KTT Iklim di markas besar PBB New York saat itu, sudah cukup maju. Meskipun Presiden SBY baru mendapat giliran kesebelas dalam sidang pararel bertema National Actions and Ambitition Announcements yang dipimpin oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon di ECOSOC itu, namun reputasi dan prestasi Presiden SBY sudah mendapat pengakuan internasional. Pada Juni 2011, dalam sidang ILO ke -100 di Swiss, pidato Presiden SBY mendapat standing applause, dipuji karena berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk melengkapi “curiculum vitae” itu, Presiden SBY rajin mengejar penghargaan dan pengakuan dunia Internasional. Di antaranya bidang manajemen pengurangan risiko bencana dari PBBdi Jenewa, pada 10 Mei 2011.Sebelumnya, Presiden SBY juga terpilih sebagai Ketua KTT ASEAN ke-18 pada 7 Mei 2011.Penghargaan World Statesman Award dari organisasi Appeal of Conscience Foundation (ACF), sebuah yayasan antaragama di Amerika Serikat, dapat dimaknai satu anak tangga menuju kursi Sekjen PBB.
Presiden SBY memang berhasrat untuk menduduki kursi Sekjen PBB yang akan ditinggalkan Ban Ki-moon tahun 2015. Walaupun Presiden SBY pernah mengatakan setelah pensiun nanti, dia akan membuka warung makan nasi goreng. Tapi apa yang dilakukan Presiden SBY dalam dua tahun terakhir tidak menunjukan upaya untuk menunjang usaha penjual nasi goreng. Bahkan lebih cenderung menjadi penyanyi dengan membuat album rekaman. Urusan partai Demokrat yang akan ditinggalkan sudah akan diwariskan kepada Pramono Edhi Wibowo.
Untuk mengganti posisi Ban Ki-moon, reputasi dan prestasi SBY harus diuji dan diakui terlebih dahulu. Terlebih jika dapat menjadi tokoh perdamaian Korea Utara dan Korea Selatan. Hanya kejadian demo WNI di Amerika, pemberitaan New York Times telah menampar wajah SBY dihadapan para kepala negara dan tokoh dunia yang saat itu berkumpul di PBB. Demi ambisi untuk menduduki Sekjend PBB atau ketua di lembaga Internasional lain, SBY membutuhkan dukungan internasional. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Presiden SBY dengan memberi pernyataan politik, membuat Perpu, menjadi kelompok penyeimbang, pesan yang ditujukan kepada dunia internasional. Bukan untuk konsumsi dalam negeri. Kita tidak dapat mengunyahnya karena terasa janggal dan tidak logis. Tak ada niat Presiden SBY untuk mendukung pemilihan langsung. Apa yang dilakukan bagian dari manuver politik pengirim pesan kepada dunia internasional bahwa dirinya mendukung proses demokratisasi di Indonesia.
Jadi tak perlu kita mengulas teralampau dalam, apakah Perpu itu sesuai hukum atau tidak. Akan disetujui oleh DPR atau tidak. Demokrat akan jadi penyeimbang atau tidak. Karena manuver yang dilakukan oleh Presiden SBY demi menunjang kariernya setelah pensiun nanti. Bahkan setelah tanggal 20 Oktober 2014 lepas menjadi Presiden, dugaan saya SBY masih tetap akan membangun opini bukan sebagai play maker partai Demokrat tapi berhasrat diakui dunia sebagai tokoh demokrasi dan perdamaian dari Indonesia. Dan pemberitaan atau opini negatif atas diri SBY yang dapat dibaca di dunia internasional akan coba dihalau. Masih ingat ketika hastag negatif pada SBY di twitter tiba-tiba menghilang. Oleh pihak twitter, hastag tersebut dihilangkan oleh pihak pemerintah Indonesia bukan dari pihak twitter. Hastag yang berisi kecaman negatif pada diri SBY sedikit banyak akan berpengaruh pada pembentukan opini di dunia internasional.
Pada titik ini, saya setuju saja. Apalagi jika SBY dapat menjadi Sekjen PBB. Saya akan dukung dan setuju. Hanya cara menuju ambisi itu, apakah memang dilakukan secara tulus atau sekedar memanfaatkan situasi. Bila dilakukan dengan tulus demi demokrasi dan perdamaian di Indonesia. Paling tidak menjadi juru damai perseteruan paska Pilpres, saya kira semu orang juga akan mendukung. Tapi, jika yang dilakukan demi ambisi menuju kursi Sekjen PBB hanya memanfaatkan situasi, bersandiwara, pasti semua orang akan mengecam. Dan saya kira, dunia internasional juga bisa membedakan mana tokoh asli dan mana tokoh palsu.
Salam Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI