Sampai tulisan ini dibuat, saya belum mendapatkan salinan nota keberatan DPR perihal pencegahan ke luar negeri (baca: cekal) Setya Novanto. Dari salinan itu, akan lebih mudah diketahui alasan-alasan Bamus DPR menyampaikan “protes” kepada Presiden. Tapi sudahlah. Saya menggunakan rujukan berita di media massa saja. Terutama alasan-alasan hukum yang melandasinya.
Bertentangan dengan Putusan MK
Kompas.com mewartakan, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan pencegahan Ketua DPR Setya Novanto ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 64/PUU-IX/2011. Putusan tersebut membatalkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang memperbolehkan penegak hukum meminta pencegahan kepada Ditjen Imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri meski masih dalam proses penyelidikan.
"Dalam Undang-Undang Imigrasi, yang menyatakan dalam penyelidikan boleh dicekal kan dibatalkan MK. Saya kan saksi waktu itu digugat sama Yusril (Ihza Mahendra). Pada saat Undang-Undang imigrasi dibuat tak boleh ada diskresi yang tak masuk akal," kata Fahri.
Awalnya saya agak ragu dengan berita ini. Apakah wartawan Kompas yang salah kutip atau memang sumber berita (Fahri Hamzah) yang mengatakan demikian. Sebab apa yang dikatakan keliru !. Amar putusan dalam norma Pasal 97 ayat 1 menghapus frasa “setiap kali”. Pasal ini tentang perpanjangan waktu pencegahan. Tidak ada yang berkaitan dengan “penyelidikan”. Mungkin Fahri Hamzah boleh protes ke KPK, jika misalnya Setya Novanto dicekal lebih dari 3 kali berturut-turut. Diperpanjang lebih dari 2x6 bulan. Karena norma itu yang dipermasalahkan di sidang MK. Sedangkan saat ini Setya Novanto baru satu kali dicekal dan belum ada indikasi diperpanjang.
Mungkin maksud Fahri putusan MK yang lain. Kalau hal itu memang ada. Yakni putusan MK Nomor 40/PUU-IX/2011 berkaitan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf b. Itu benar. MK menghapus kata “penyelidikan” dalam rangkaian norma di pasal tersebut. Tapi dalam pemberitaan itu jelas dan terang Fahri mengutip putusan MK nomor 64/PUU-IX/2011 pasal 97 ayat 1 dan menyinggung kata “penyelidikan”. Tapi baiklah, mungkin Fahri hilaf atau tidak hapal putusan MK. Kita gunakan saja dasar hukum ini untuk menilik masalah Setya Novanto.
Status hukum Setya Novanto sebagai saksi dalam perkara KTP elektronik dengan tersangka Andi Narogong. Kasus ini sudah masuk tahap penyidikan sejak tanggal 23 Maret 2017. Ditandai dengan ditetapkannya Andi Narogong sebagai tersangka. Jadi perkara yang berkait dengan Setya Novanto sudah masuk tahap penyidikan. Sementara yang dicoret oleh MK adalah tahap “penyelidikan”. Kutipan Pasal 16 ayat 1 huruf b “ Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang”.
Dan yang membuat blunder nota keberatan DPR ini dengan adanya pernyataan dari Yusril Ihza Mahendra yang diberitakan oleh Kompas.com. Entah sengaja atau tidak, Yusril sudah “menipu” Fahri dengan merujuk pada ketentuan hukum. Ada dua pernyataan yang menyesatkan yang dikemukakan oleh Yusril:
Pertama, Yusril mengatakan, permintaan pencegahan seorang saksi oleh KPK diberikan oleh UU KPK tercantum dalam Pasal 13. Padahal pasal ini tidak bicara soal “pencegahan ke luar negeri seorang saksi”. Jelas ini menyesatkan.
Kedua, Yusril mengatakan pasal pencegahan seorang saksi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 memang telah dibatalkan MK melalui amar putusan Nomor nomor 64/PUU-IX/2011. Dengan demikian, hanya orang yang berstatus tersangka saja yang baru bisa dicekal. Seperti saya terangkan diatas, amar putusan MK pada perkara ini menghapus frasa “setiap kali”. Tidak ada kata atau frasa dalam pasal ini yang berbunyi “saksi” atau “tersangka” yang kemudian dibatalkan oleh MK. Sekali lagi Yusril melakukan penyesatan.
Dari dua premis yang dibangun Yusril, dia kemudian memberi kesimpulan "Jadi kalau Novanto keberatan dicekal oleh KPK sedangkan statusnya baru sebagai saksi, maka dia bisa mengajukan uji materi ke MK untuk membatalkan pasal dalam Undang-undang KPK yang membolehkan mencekal seseorang yang baru berstatus saksi,". Uji materi ke MK, tidak masalah tetapi yang jadi masalah tidak ada dalam UU KPK yang membolehkan atau tidak membolehkan sesorang saksi dicekal. Kalau tidak ada norma itu, apa yang mau diuji?