Ada celah hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang “bisa” menjadi obyek perkara praperadilan. Sengaja saya memberi tanda petik pada kata “bisa”, sebab masih mensiratkan tanda tanya besar. Celah hukum itu adalah panggilan paksa saksi dalam proses penyidikan. Ada dua pertanyaan mendasar: (1) apakah penyidik boleh melakukan upaya paksa pada saksi? Dan (2) Jika boleh, dan kemudian terjadi pelanggaran prosedur, dapatkan diajukan gugatan ke praperadilan?
Selama ini, pemanggilan saksi secara paksa sering dilontarkan oleh pihak penyidik baik kepolisian, KPK, Kejaksaan atau Penyidik PNS. Bahkan tak kurang seperti KomnasHAM dan DPR juga memberlakukan upaya paksa. Dasar hukum para penyidik adalah Pasal 112 ayat (2) KUHAP berbunyi “orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya” . Dengan dasar hukum ini, penyidik memberi toleransi pemanggilan saksi dua kali berturut-turut. Jika saksi tidak hadir juga tanpa alasan yang sah, patut dan wajar, maka penyidik melakukan pemanggilan paksa atau kadang disebut penjemputan paksa. Di Kepolisian, penjemputan paksa dilakukan setelah dikeluarkannya Surat Perintah Membawa Saksi (model SERSE:A.4.01).
Yang jadi masalah, apakah dapat dilakukan upaya paksa saat saksi mangkir dari pemanggilan sebanyak dua kali. Pasal 112 ayat (2) KUHAP itu tidak menengaskan adanya upaya paksa. Berdeda halnya dengan tersangka dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP “ Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah”. Sehingga memperlakukan saksi sama seperti tersangka dengan membawa paksa adalah tidak berdasarkan hukum.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 113 KUHAP “Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya”. Jadi bukan upaya paksa berupa penjemputan atau membawa saksi tetapi dimungkinkan untuk penyidik melakukan pemeriksaan datang ke tempat kediaman saksi.
Hal lainnya adalah siapakah yang disebut dengan “petugas” dalam pasal 112 ayat (2) KUHAP ? Tidak ada kejelasan. Apakah petugas yang namanya tercantum didalam Surat Perintah Membawa Saksi atau bukan? Seringkali, seperti KPK yang mengancam akan menggunakan aparat TNI untuk memanggil paksa saksi yang mangkir dua kali. Lebih rumit lagi, DPR atau KomnasHAM yang menggunakan aparatur lain untuk melakukan pemanggilan paksa pada saksi. Apakah “petugas” yang dimaksud berarti aparat TNI?
Tapi, okelah kita asumsinya saja bahwa pemanggilan paksa saksi dibenarkan oleh KUHAP. Lalu bagaimana jika dalam proses penjemputan atau membawa paksa tersebut terjadi salah prosedur? Salah prosedur misalnya Surat Perintah Membawa Saksi tidak ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang. Atau Surat Pemanggilan itu disampaikan hanya 1 hari sebelumnya. Padahal ketentuan Pasal 227 ayat (1) KUHAP, mensyaratkan surat itu disampaikan selambatnya tiga hari. Atau memperlakukan saksi seperti memperlakukan tersangka yang ditangkap. Digunakan borgol misalnya. Yang pada pokoknya adalah kesalahan prosedur dalam upaya paksa pemanggilan saksi. Tentu pertanyaannya, dimanakah tempat saksi mencari keadilan? Apakah dapat diajukan gugatan ke praperadilan?
Sedangkan ketentuan praperadilan tidak memasukan pemanggilan paksa sebagai obyek praperadilan. Lebih dari itu pihak yang punya kedudukan hukum mengajukan praperadilan hanya dibatasi tersangka, keluarga dan kuasanya. Saksi tidak punya kedudukan hukum. Disinilah letak hakim punya kebebasan untuk melakukan penemuan hukum.
Memberi interprestasi ekstensif atas frasa “penangkapan” dan kedudukan hukum dalam Pasal 77 dan Pasal 79 KUHAP. Dimana ditemukan adanya kesamaan unsur antara penangkapan dengan membawa paksa. Kesamaan pada unsur pengekangan sementara waktu kebebasan yang dan unsur adanya Surat Perintah. Saya tidak akan mengeksplorasi lebih jauh frasa “penangkapan” dengan membawa paksa. Ini hanya sekedar contoh.
Demikian juga dengan batasan “kedudukan hukum” digunakan tafsir filosofis dan argumentum per analogiam sebagai konstruksi hukumnya (metode eksposisi).Dengan batasan pengertian adalah pihak-pihak yang dirugikan atau hak-haknya dilanggar. Jadi bukan saja tersangka tetapi juga saksi yang dirugikan memiliki kedudukan hukum. Suatu analogi perbandingan menggunakan penetapan Mahkamah Konstitusi yang memberi tafsir ekstensif atas pemohon perkara hasil Pilkada. Bukan saja sebatas peserta Pilkada tetapi juga calon peserta Pilkada dapat memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon. Dengan asumsi adalah pihak yang dirugikan kepentingannya. Argumentum per analogiam digunakan untuk memberi penjelasan tambahan akan batasan “kedudukan hukum”.
Contoh dalam tulisan ini hanya untuk memberi gambaran ringkas bahwa hakim dapat melakukan penemuan hukum yang berkaitan dengan peristiwa konkrit. Dengan menggunakan metoda interprestasi atas kata, frasa atau kalimat yang tertulis dalam KUHAP.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H