Karena kerap berkecimpung di dunia politik praktis, seorang teman bilang, “Hen, kamu punya pengetahuan cukup. Punya pengalaman banyak, cocoknya kamu jadi anggota DPR atau bupati” ucapnya. Saya bilang “kalau ukurannya itu ya memang. Tapi saya tidak mau”. Dia menyanggah dengan pertanyaan sulit “kenapa?”. Supaya tidak panjang-panjang menjelaskannya, tetap saja saya bilang “ya, tidak mau saja”. Bukan sekali dua kali teman-teman di partai mengajak saya bergabung dan diminta jadi caleg. Ada juga calon bupati menawarkan diri agar saya mau jadi pendampingnya jadi wakilnya. Tetap saja, saya jawab “terima kasih”.
Ada celaan bilang saya tidak percaya diri. Saya jelas membantahnya. Justru saya tahu diri. Saya bilang, “karena saya sering terlibat dalam dunia politik praktis, saya tahu apa isinya”. Mengukur diri untuk masuk ke kandang macan itu. Lantas ada yang mengusulkan lain, “Hen, setahuku kamu orangnya jujur, baik dan berani. Harusnya kamu jadi pimpinan KPK”. Saya tertawa, dan jawab “apalagi itu”.Saya lantas beri tausyiah “ usulan kalian itu menandakan, kalian tidak kenal aku dan tidak tahu apa itu dunia politik”.
Saya lalu memberi contoh. Sampai saat ini di Indonesia, yang namanya pemimpin politik itu lahirnya instant dan dadakan. Bahkan pilihan jadi anggota DPRD sebagai pilihan akhir karena himpitan hidup. Pilihan terpaksa. Bermaksud ingin mengubah status sosial, prestise dan drajat kemapanan. Di Amerika sono, pimpinan seperti senator dan presiden memang sudah disiapkan sejak dini. Sejak dari mahasiswa. Karena kebanyakan pimpinan politik di Amerika banyak dari lulusan fakultas hukum maka mahasiswa fakultas hukum, adalah manusia pilihan. Badan khusus seperti partai politik sudah mengincar sejak awal. Mahasiswa pilihan yang terpilih seperti diisolasi, dlindungi. Disediakan mentor khusus. Biasanya karirnya dimulai dengan tugas merebut ketua senat mahasiswa. Pandai berdebat dan IP selalu menjulang. Seperti orang pingitan, dijaga hati-hati dari pergaulan lawan jenis. Layaknya seperti manusia aristokrat. Salah satu tujuannya: menghindari catatan masa lalu yang suram. Inilah titik tolak saya: masa lalu yang suram !
Saya punya catatan masa lalu yang suram. Bisa saja kepala sekolah SMP tempat saya belajar dulu buka suara, kalau saya pernah dihukum karena ketahuan ngisap ganja dan tawuran. Atau guru SMA saya bisa saja bilang, saya pernah kena skorsing karena menolak ikut upacara bendera hanya dulunya saya masuk dalam kelompok pengajian Islam radikal. Dikejar-kejar Kodim buat pertemuan dari mesjid ke mesjid. Lebih cilaka lagi, Ayah saya pernah bilang dia punya kenalan seorang kolonel di Yogya. Nama saya ada dalam catatan di Korem sebagai mahasiswa PKI. Hanya karena sering ikut demonstrasi. Susah mengelak masa lalu jika mengingat saya sampai diintrogasi dua orang Letkol di Kodam Jawa Tengah.
Urusan dengan perempuan? Apalagi yang ini, paling kacau. Seingat saya, ada tiga kali saya terjebak pada urusan seperti ini. Masalahnya sederhana saja. Saya menganggap teman-teman perempuan sama seperti laki-laki. Saya dekat. Perasaan dekat seperti adik-adik saya yang perempuan juga. Tapi siapa yang bisa menebak hati orang? Kalau dia sampai jatuh hati, itu hak dia. Tapi kalau urusan jatuh hati ini sampai sakit hati, itu berabe. Bisa aja suatu hari, misalnya saya jadi pesohor tiba-tiba, dia muncul bilang saya pernah memperkosanya. Apa tidak runyam urusan. Soal benar salah di dunia politik itu tidak penting. Jadi isyu saja, sudah cukup jadi senjata untuk menjatuhkan.
Dunia politik tidak mengenal persahabatan. Ada saja alasan yang bisa digunakan untuk memperkeruh persahabatan sebelumnya. Sering saya menemukan kasus seperti ini. Seorang teman yang sudah jadi pejabat di Jakarta dianggap musuh bagi teman-temannya di daerah. Hanya urusan sepele. SMS tidak pernah dibalas, pinjam uang tidak dikasih, mau ketemu susahnya bukan main, kalau pulang kampung maunya kumpul dengan pejabat daerah. Ujung-ujungnya bilang lupa dan sombong, mentang-mentang sudah jadi pejabat. Kalau kesalnya sudah diubun-ubun, semua rahasia masa lalu dibongkar. Siapa sih yang tidak punya catatan masa lalu yang suram. Selalu ada saja celah untuk menjatuhkan.
Pada beberapa teman yang saya tahu melakukan kesalahan, misalnya teman KPU di daerah main dengan Caleg untuk diloloskan. Sangking sayangnya sama teman saya mengingatkan. Saya bilang, hidupmu tidak hanya untuk hari ini. Karirmu besok mungkin akan lebih tinggi lagi. Tapi ingat, kesalahanmu sekarang yang dianggap tidak diketahui umum, akan dibongkar orang. Bukan orang lain yang bongkar tapi orang yang paling dekat denganmu saat ini. Hari ini kalian bisa berteman, tapi besok saat masuk dunia politik, teman dan sahabat itu sudah tidak ada lagi.
Kesadaran itulah yang membuat saya tidak mau jadi pelaku di dunia politik. Entah jadi pejabat apa saja. Saya tahu diri. Tahu kelebihan saya dari teman-teman, tahu kelemahan dari orang yang memusuhi. Itulah cermin diri. Saya sudah cukup bahagia hidup di dunia sosial. Persahabatan dan pertemanan relatif lebih abadi yang diikat dengan norma sosial bukan atas kepentingan sebagaimana dunia politik. Kalaupun ada masa lalu yang suram, bisa dengan mudah saya tuturkan seperti tulisan ini. Tidak ada kekuatiran sedikitpun, saya akan dijatuhkan. Emangnya dijatuhkan dari kursi apa? Bisa dengan enteng dan penuh canda mengisahkan masa lalu yang suka mabok. Tapi jangan coba-coba hal ini terbongkar saat mejadi pejabat. Bisa jadi peluru untuk musuh. Seperti kehidupan free sex di Amerika suatu yang lumrah saja terjadi dalam kehidupan sosial. Tapi jadi peluru musuh untuk menjatuhkan Bill Clinton.
Dan lebih nyaman jadi kompasioner. Bisa menulis apa saja yang ada dipikiran. Tidak perlu tergagap-gagap kemukakan pendapat seperti para pejabat kalau lagi bicara depan wartawan. Kata-katanya mesti diatur, pelan dan gagap.
Selamat malam minggu bagi yang merayakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H