[caption id="attachment_398702" align="aligncenter" width="624" caption="Hakim tunggal Sarpin Rizaldi mengetuk palu saat mengabulkan sebagian gugatan atau permohonan terkait penetapan status tersangka Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2/2015). Hakim memutuskan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah secara hukum/Kompasian(tribbunews.com)"][/caption]
Sebenarnya proses praperadilan itu sederhana. Karena sederhana, pemeriksaan hingga keputusan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari. Disain praperadilan memang dibuat sederhana, cepat dan ringkas. Proses pemeriksaan dan putusan praperadilan yang baru saja berlangsung (16/2/2015) menjadi rumit, tidak jelas ujung pangkalnya. Sebagai pembenaran, banyak pihak membangun konstruksi berpikir yang juga rumit dan asal-asalan. Padahal obyek perkara praperadilan itu begitu sederhana.
Saya ambil contoh dua obyek praperadilan: penangkapan dan penahanan. Kenapa dua hal ini dimasukan? Jawaban sederhananya: upaya paksa. Apa dasarnya? Bab V KUHAP. Ada enam bentuk upaya paksa: penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukkan rumah,penyitaan dan pemeriksaan surat. Jadi kalau hakim Sarpin bilang penetapan tersangka sebagai bentuk upaya paksa, itu ngarang namanya. Tidak ada dasar hukumnya.
Praperadilan adalah alat kontrol yg ditujukan pada penyidik atau penuntut umum yang melakukan tindakan sewenang-wenang.Dari tindakan yang sewenang-wenang itu, orang akan dilanggar haknya dan menimbulkan kerugian. Kerugian bisa dihitung secara material. Makanya kenapa praperadilan memasukan juga gugatan ganti kerugian.
Misalnya tentang penangkapan. Anda bisa cari di goggle dan ketik “polisi salah tangkap”. Akan muncul daftar berita dimana banyak kasus polisi salah tangkap. Orang yang ditangkap polisi itu belum tentu dia tersangka. Jadi ketika ada rumusan logika yang menyatakan bahwa semua tersangka pasti akan ditangkap, itu pikiran ngawur. Tidak semua tersangka akan ditangkap, dan orang yang ditangkap belum tentu berstatus tersangka. Jadi membuat hubungan sebab akibat antara tersangka dan ditangkap, pikiran yang sesat. Ini dua obyek yang berbeda.
Orang yang ditetapkan sebagai tersangka tidak akan kehilangan hak apapun. Karena tidak ada hak yang hilang, makanya gugatan ganti kerugian tidak bisa dirumuskan. Seperti kasus Budi Gunawan, yang mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp 1 juta rupiah ke KPK tidak bisa menunjukan bentuk kerugiannya. Karena memang tidak jelas bentuk material kerugian yang ditimbulkan.
Tetapi orang yang ditangkap pasti akan kehilangan haknya. Minimal hak akan kebebasan untuk berpergian. Orang yang ditangkap 1x24 jam, akan kehilangan penghasilan yang dia dapat dalam bekerja. Seorang pengamen yang salah tangkap oleh polisi dikira pengedar narkotika, pasti akan kehilangan pendapatan satu hari saat mengamen. Sederhana saja.
Kedua, tentang ditahan. Inipun obyek yang berbeda. Tidak semua orang yang ditangkap akan ditahan. Misalnya, para demonstran yang ditangkap polisi jika tidak ditetapkan sebagai tersangka harus dilepaskan dalam waktu 1x24 jam. Lebih daripada itu, syarat- syarat penahanan harus terpenuhi.
Sama seperti tersangka dan ditangkap di atas, tidak semua tersangka itu akan ditahan dan sebaliknya orang yang ditahan belum tentu berstatus tersangka. Orang yang ditahan pasti hak kemerdekaannya terampas dan menimbulkan kerugian yang bisa dihitung.
Apakah semua orang yang berstatus tersangka akan ditahan? Jawabnya Tidak. KUHAP sudah memberi batasan itu. Paling tidak semua tindak pidana ringan yang tuntutannya di bawah lima tahun tidak boleh ditahan. Misalnya, tersangka penganiyaan ringan atau tersangka penadah yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 600 ribu, tidak boleh ditahan.
Banyak peristiwa para tersangka dengan tindak pidana ringan ditahan oleh polisi. Inilah yang dapat digugat ke praperadilan. Bagaimana cara pembuktiannya: sederhana saja. Dia tunjukan salinan surat penahanan pada pasal yang disangkakan dan benturkan dengan syarat penahanan dalam KUHAP. Misalnya soal penadah tadi, dalam surat penahanan tertulis dia disangka melanggar pasal 482 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 3 bulan. Benturkan dengan syarat penahanan dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP. Lalu hitung nilai kerugian selama dia ditahan. Misalnya 1 minggu x penghasilan yang hilang selama 1 minggu itu. Sederhana saja.
Peristiwa sehari-hari disekitar kita pada pokoknya bisa dijadikan obyek perkara praperadilan: ditangkap dan ditahan. Ini belum termasuk tindakan upaya paksa lain. Misalnya, polisi sesuka hati masuk kerumah kita melakukan penggeledahan. Tentu ini melanggar HAM yang mencampuri kehidupan pribadi, keluarga dan tempat tinggal kediaman seseorang. Menggeledah rumah tanpa menunjukan surat perintah pengeledahan. Pembuktiannya, tinggal menghadirkan saksi di praperadilan bahwa saat pengeledahan berlangsung, polisi tidak menunjukan surat penggeledahan dan tuan rumah tidak menandatangani berita acara. Belum termasuk penyitaan. Misalnya, motor yang disita polisi dianggap barang bukti pencurian. Rupanya salah. Dengan disitanya, motor itu, pemilik motor yang pekerjaannya tukang ojek akan kehilangan penghasilannya. Itu baru tingkat kerugian materiil, belum lagi gugatan rehabilitasi. Karena polisi salah sita itu motor, para tetangga bisa menggangap orang itu memang penadah barang curian. Padahal yang salah polisi karena salah sita. Bagaimana memulihkan nama baik ini (rehabilitasi)?
Tetapi kebanyakan peristiwa sehari-hari yang kita temui, tidak berujung pada praperadilan. Ditempuh cara damai. Pihak kepolisian mengunjungi keluarga untuk memberi ganti kerugian. Atau malah banyak yang takut melakukan praperadilan karena mendapat ancaman.
Kalau ada pihak yang punya concern pada praperadilan dan mengatasnamakan HAM, seharusnya membela dan mengadvokasi rakyat kebanyakan yang dilanggar hak-haknya. Karena salah tangkap, salah tahan atau ada polisi yang mengeledah dan menyita sesuka hatinya. Inilah empati kemanusiaan yang sesungguhnya. Membela orang kebanyakanyang mencari keadilan. Merekalah yang wajib dibela, karena KUHAP memberi ruang untuk melakukan upaya hukum itu. Bukan sebaliknya, membela “orang besar” yang tidak jelas ada dasar hukumnya di KUHAP. Dengan berputar-putar pada apologi yang rumit.
Salam Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI