Karakter warga kota Balikpapan (Kalimantan Timur) yang terbuka juga dipengaruhi oleh letak geografis. Berada dipesisir pantai dan memiliki teluk yang menjadi lintasan perairan. Tetapi, tidak semua masyarakat pesisir –yang ditampakan hari ini—menampilkan karakter terbuka. Ditandai dengan menerima perbedaan, inovatif dan terjadinya inkulturasi. Diperbandingkan dengan kota Jakarta – juga terletak di pesisir—yang masih kentara isu rasialis Cina dan ego Betawi. Atau kota Cilegon yang masih memperdebatkan pengaruh kesultanan Banten dan pengaruh Padjajaran. Jadi bukan semata letak geografis (pesisir), suatu masyarakat akan bersikap terbuka. Karakter yang merupakan unsur dari budaya dipengaruhi salah satunya dengan cara (mode) produksi suatu masyarakat dimasa lalu dan saat ini.
Masyarakat Balikpapan hampir tak mengenal cangkul dan sistem irigasi. Pertanian dengan sistem persawahan jelas mempengaruhi budaya suatu masyarakat. Komunikasi dan interakasi sosial yang homogen dalam suatu wilayah bernama desa akan membentuk budaya tersendiri. Sistem ladang berpindah yang banyak dilakoni suku Dayak di Kalimantan, hampir tak berbekas dalam sejarah Balikpapan. Demikian juga nelayan pencari ikan di laut. Hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat, terutama suku Bugis-Makasar. Tetapi tidak menjadi unsur dominan dalam suku asli (suku Bali dan Paser). Walaupun budaya melaut oleh suku Bugis-Makasar hampir sama tuanya dengan sejarah kota Balikpapan. Dimana pada abad ke XIX, perkampungan (homogen) suku Bugis-Makasar seperti Karang Bugis dan Kampung Baru sudah ada. Karakter masyarakat Balikpapan lebih banyak dipengaruhi oleh pola industrialisasi dan perniagaan. Suatu sistem masyarakat yang telah dilakoni sejak tahun 1900an.
Makin kentalnya budaya industri bagi masyarakat kota Balikpapan juga lantaran Balikpapan – pada masa lalu—bukanlah pusat kerajaan. Balikpapan hanyalah sub residen (onder afdeling).Dihimpit oleh dua kerajaan besar: Kutai dan Banjarmasin. Bahkan bila diperbandingkan, Balikpapan tidak memiliki sistem kerajaan seperti Bulungan dan Berau. Oleh karenanya, warga Balikpapan tidak terlampau hirau dengan romantisme feodal masa lalu. Tidak memandang seseorang dari kasta dan keningratan. Ujungnya tak mengenal istilah “putra daerah”. Sebab bila dilihat dari populasi, suku Bugis-Makasar terbanyak, tetapi tidak dapat menjatuhkan klaim karena juga sebagai pendatang sebagaimana suku-suku yang lain. Warga kota Balikpapan memandang status sosial berdasarkan kepemilikan uang/modal dan kepemilikan senjata. Untuk hal yang terakhir ini, lambat laun mulai sirna. Awalnya kepemilikan uang ditandai dengan jenjang kepangkatan dari sistem industri perminyakan (BPM, Pertamina) dan kepemilikan senjata (KNIL). Budaya warga kota Balikpapan dibentuk oleh perusahaan perminyakan (Belanda) dan sejarah pertempuran sekutu/NICA dan Jepang. Pendek kata, Balikpapan adalah kota kecil yang baru dibentuk oleh minyak dan mesiu.
Meskipun kota Balikpapan baru dianggap ada pada tahun 1897, namun pembentukan kota baru dibangun (kembali) setelah kemerdekaan tahun 1945. Sebab bila dihubungkan dengan eksplorasi perusahaan Mathilda, dalam waktu yang hampir bersamaan lahir juga Sanga-sanga, Samboja dan Muara Badak. Namun dalam perjalanannya, tiga daerah itu hampir-hampir tak berkembang. Bila kota Balikpapan dianggap maju lantaran minyak, tentu hal yang sama juga berlaku bagi Tarakan, Plaju dan Pangkalan Brandan yang justru lebih awal. Bahkan ditahun 1945, Balikpapan layaknya Nagasaki dan Hiroshima. Luluh lantah akibat perang dunia kedua. Penyebabnya, Balikpapan menjadi wilayah perebutan kekuasaan dari Belanda, Jepang, Australia dan Indonesia. Pada setiap masa kekuasaan bercokol, masing-masing menanamkan pengaruh dan budaya masing-masing. Minyak dan mesiu menjadi satu kesatuan sejarah Balikpapan. Peninggalan sejarah yang ditandai dengan bangunan menampakan dua wajah itu: minyak dan mesiu.
Hampir jarang ditemukan bangunan-bangunan model Eropa bahkan bangunan pra sejarah model kerajaan ditemukan di Balikpapan. Balikpapan tidak memiliki kota tua seperti Jakarta. Bangunan sejarah kerajaan seperti Pontianak. Bahkan perkampungan pecinan yang dulunya berada disekitar Klandasan, sudah punah diterjang mortir dan bom pada pertempuran Australia dan Jepang. Bangunan yang tersisa hanyalah sarana pendukung bagi pegawai perusahaan minyak BPM dan tangsi-tangsi KNIL. Seperti Lapangan Merdeka (votbalveld), societeitbernama Banua Patra, BPM Hospitaal (Rumah sakit Pertamina sekarang), Tangsi-tangsi militer di belakang bekas Bioskop Antasasri dan disekitar lapangan Foni, pusat perniagaan Klandasan dan Kebun Sayur, goa-goa Jepang, meriam-meriam di atas bukit/gunung, penyaringan air somber, rel kereta pengangkut batu bata/ batako di sekitar Karang Anyar-Rapak, Europe Leger School di sekitar Lapangan Merdeka dan tentu saja perumahan pegawai BPM (De Bataafsche Petroleum Maatshappij NV) dengan perpaduan gaya Indis-Eropa. Sebagian besar gedung-gedung tersebut dibangun kembali setelah tahun 1945.
Memang sejak tahun 1919, saat Balikpapan menjadi lokasi perindustrian pengolahan minyak yang dipegang oleh BPM hingga tahun 1942, kota ini tergolong maju. Apalagi sejak tahun 1939, kota Balikpapan mendapat perlindungan ekstra dari pemerintahan kolonial Belanda. Dengan mendudukan pasukan KNIL terbanyak dibanding daerah lain di luar Jawa. Hal ini mengingat, komoditi minyak yang dapat membantu pemerintahan Belanda saat terjadi depresi ekonomi dunia tahun 1930an. Pada tahun 1937 saja, telah ada rute penerbangan Jawa-Balikpapan oleh Koninklijk Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatsschappij (maskapai penerbangan di Hindia Belanda yang biasa disingkat KNILM). Saat itu lokasi bandara masih di Manggar lalu tahun 1936 dipindah ke Sepinggan. Ada juga pangkalan udara rahasia di sekitar Melak dengan nama sandi Scheveningen. Keramaian kota Balikpapan direkam dalam terbitan Bintang Timoer pada tahun 1930an “Balikpapan pada waktu yang terbelakang sekali ini memang betul-betul kelihatan maju, tanda-tanda pun bukan sedikit banyaknya, yaitu dari bangunnya perserikatan yang dikemudikan oleh bangsa Indonesia sendiri seumum-umumnya, lebih-lebih dalam hal sosial, onderwijs, ekonomi dan semuanya. Menilik sempitnya kota Balikpapan itu, maka kita boleh bilang bahwa tempat sekecil ini jadi rame”. Indikasi Balikpapan sebagai kota industri juga ditulis Warta Oemoempada 12 Juni 1937 yang mengangkat artikel berjudul: Sengadja Dikemoekakan, Oentoek Diperhatikan Soal Gadjih Kaoem Boeroeh BPM.
Hanya kemudian Belanda jualah yang menghancurkan kota Balikpapan pada 18 Januari 1942, sesaat sebelum Jepang merebut kota itu 24 Januari 1942. Kilang minyak dan pelabuhan dibakar. Hingga 15 hari, langit gelap tertutup asap tebal. Kejadian ini kembali berulang pada Juni-Juli 1945. Pasukan Australia membordir kota Balikpapan selama 20 hari dari udara dan laut. Karena binggung mencari persembunyian dan pertahanan Jepang yang berada di goa-goa. Jadi praktis sejak Juli 1945, saat Jepang menyerah kalah dengan Australia di Balikpapan. Kota ini sudah hancur lebur. Kota Balikpapan, terutama diantara daerah Kilang Minyak dan Klandasan benar-benar habis tinggal puing.
Membangun kembali kota, sama halnya seperti membangun kota baru. Membangun kota berarti juga membangun peradaban dan kebudayaan. Seperti halnya Nagasaki dan Hirosima, pondasi Balikpapan sudah ada. Sehingga pembangunan infrastruktur bukanlah prasyarat utama pembentukan kebudayaan. Balikpapan sebagai kota industri pengolahan minyak, tradisi masyarakat industri dan perniagaan menjadi penopangnya. Terlebih warga kota Balikpapan tak pernah dihinggapi budaya kejut semacam sistem tanam paksa di Jawa yang mengakibatkan masyarakatnya berorientasi agraris. Namun, demikian karakter masyarakat terbuka yang dipengaruhi oleh industrialisasi dan perniagaan juga membawa dampak-dampak negatif. Diantaranya menjadi cepat latah (budaya instan), konsumtif, pragmatis dan dianggap tak memiliki empati.
Salam Kompasiana
Daftar Pustaka
Ham, Ong Hok. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: Gramedia.
Ojong, Petrus Kanisius.2005. Perang Pasifik, Jakarta: Kompas
Poeze, Harry Albert. 2008. In Het Land van de Overheerser: Indonesier in Nederland 1600-1950, ab. Hazil Tanzil & Koesallah Toer, Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Suprapto, Agus. 1996. Perang Berebut Minyak: Peranan Strategis Pangkalan Minyak Kalimanatan Timur dalam Perang Asia Pasifik 1942-1945, Samarinda: Lembaga Pariwara kalimantan Timur.
Warta Oemoem edisi: 19 April 1937; 12 Juni 1937; 17 Juli 1937; 7 Agustus 1937.
Bintang Soerabaia edisi: 14 Mei 1911: 27 Juni 1911
Kompasiana. 4 Maret 2013. Matanasi, Petril. Riwayat Kota Balikpapaner
Wikipedia. Pertempuran Balikpapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H