Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Apabila Kasus Budi Gunawan Ditangani Kejaksaan Agung

22 Februari 2015   21:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pimpinan KPK sementara Taufiequrachman Ruki menyatakan KPK bisa melimpahkan kasus Komjen Budi Gunawan ke Kepolisan atau Kejaksaan Agung. Tentang hal ini sudah saya tulis di artikel Akibat Dari Putusan Praperadilan sub judul Pelimpahan Penyidikan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Jaksa Agung M. Prasetyo memastikan akan menerima kasus itu. “Kami kan tak bisa menolak, makanya harus dipelajari sebaik-baiknya” (sumber). Rumusan masalahnya (1) apakah kejaksaan mempunyai wewenang sebagai penyidik kasus korupsi?. Dan (2) Apa kemungkinan-kemungkinan (hukum) yang bisa terjadi jika Kejaksaan Agung melakukan penyidikan dan penuntutan atas kasus tersebut?

Pertanyaan pertama tentang kewenangan kejaksaan termaktub dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan. Pada pokoknya menerangkan bahwa kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu.

Penjelasan ayat ini menyatakan yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana korupsi. Hal ini diperkuat dengan fatwa Mahkamah Agung No. KMA/102/III/2005 yang menyatakan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang.

Untuk diketahui, Pasal (ayat) tersebut pernah diuji di Mahkamah Konstitusi oleh pemohon seorang tersangka korupsi Djailudin Kaisupy. Secara ringkas mengugat kewenangan kejaksaan sebagai penuntut umum merangkap sebagai penyidik perkara korupsi. Dia menilai hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dimana sudah ada Kepolisian yang juga berwenang sebagai penyidik perkara korupsi.

Dari aspek historis, kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana tertentu, khususnya tindak pidana korupsi sudah dimulai sejak berlakunya Herziene Inlandsch Reglement (HIR) hingga saat ini.Pada masa HIR, penyidikan merupakan bagian dari penuntutan. Kewenangan itu menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan. Bahkan, jaksa dapat melakukan penyidikan sendiri sesuai Pasal 38 jo Pasal 39 jo Pasal 46 ayat (1) HIR.

Dalam KUHAP, penyidik tidak tunggal sepenuhnya berada di tangan kepolisan. Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP yang disebut dengan penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Ketentuan kekhususan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP secara tegas menyebutkan kewenangan kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi).

Kewenangan kejaksaan sebagai penuntut umum dan penyidik juga terjadi di beberapa negara lain. Seperti di Amerika Serikat, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama praktek di Jepang dan Jerman. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang jaksa.

Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) memberi pertimbangan atas kewenangan tersebut. MK meminta agar pembentuk UU berlaku konsisten untuk memberikan kewenangan penyidikan kasus korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan.Apabila pilihan pembentuk UU menetapkan Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu, maka seyogianya Kepolisian ditentukan tidak lagi berwenang. Sebaliknya, apabila wewenang penyidikan memang sepenuhnya akan diberikan kepada Kepolisian, maka jaksa hanya berwenang melakukan penunututan. MK memberi saran agar pembentuk UU segera merevisi peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk KUHAP, UU Kejaksaan dan UU Kepolisian.

Pertanyaan kedua tentang kemungkinan apa yang bisa terjadi jika Kejaksaan Agung melakukan penyidikan dan penuntutan atas kasus Komjen Budi Gunawan?. Kemungkinan ini berdasarkan batasan kewenangan yang dimiliki oleh kejaksaan dan Jaksa Agung dan dengan asumsi putusan praperadilan (16/2/2015) dianggap telah berkekuatan hukum tetap.

Kemungkinan pertama, kejaksaan akan mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprindik). Pelimpahan perkara dari KPK ke Kejaksaan Agung dalam batasan berkas penyelidikan bukan penyidikan. Dimana dalam penyelidikan telah ditemukan dugaan terjadinya peristiwa tidak pidana suap/gratifikasi. Dengan kata lain, semua kegiatan/ tindakan yang dilakukan dalam proses penyidikan di KPK dianggap tidak ada. Termasuk penetapan tersangka, penemuan alat bukti (keterangan tersangka dan surat) dan penemuan barang bukti lain. Dianggap tidak ada karena dasar penyidikan menggunakan Sprindik KPK bukan Sprindik Kejaksaan Agung.

Dengan Sprindik baru akan ditunjuk penyidik di lingkungan kejaksaan untuk menjalankan tugas-tugas penyidikan. Tugas utamanya, menemukan sejumlah bukti-bukti atas dugaan terjadinya peristiwa tindak pidana.

Kemungkinan kedua, Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan alasan: tidak cukupnya bukti atau peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana. Implikasinya, secara hukum dan sosial, Budi Gunawan yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka, sudah dianggap tidak bersalah sebelum diajukan ke sidang pengadilan.

Namun tindakan penerbitan SP3 ini dapat di-praperadilan-kan. Pihak yang dapat melakukan permohonan praperadilan adalah KPK sebagai pihak supervisi atau saksi pelapor. Tetapi sampai sekarang, tidak jelas siapakah saksi pelapor atas perkara Budi Gunawan tersebut. Kehendak KPK akan melakukan praperadilan atas SP3 itu sangat tergantung pada “kehendak politik”, bukan lagi menjadi ranah hukum.

Kemungkinan Ketiga, ketika kejaksaan menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, apakah dapat melakukan gugatan praperadilan? Tentu saja dapat karena hal ini merupakan hak semua orang yang terkait (tersangka) untuk mencari keadilan. Tinggal tergantung pada putusan hakim praperadilan nantinya. Bila merujuk pada putusan praperadilan sebelumnya (16/2/2015), kecil kemungkinan untuk dikabulkan. Membaca amar putusan dan pertimbangan hakim Sarpin Rizaldi, sebatas mempermasalahkan kewenangan KPK yang salah menjerat subyek hukum (penyelenggara negara atau aparat penegak hukum) berdasarkan UU KPK. Sementara Kejaksaan kewenangannya lebih luas dalam cakupan subyek hukum karena menggunakan KUHAP dan UU Kejaksaan.

Kemungkinan keempat, Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Perbedaan dasar dengan SP3, bila dikemudian hari ditemukan bukti atau alasan baru, maka penuntut umum dapat melakukan penuntutan (kembali) terhadap tersangka. Tetapi SKPP dalam perkara Budi Gunawan ini terasa janggal jika dilakukan. Karena proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh instusi yang sama yakni Kejaksaan Agung.

Bila membandingkan dengan peristiwa lama, Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan SKPP atas tersangka Bibit-Chandra pada 1 Desember 2009. Namun saat itu proses penyidikan dilakukan oleh Kepolisian dan kemudian berkas dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Saat ini penyidikan dan penuntutan dilakukan segaligus oleh intitusi yang sama.

Bila SKPP dikeluarkan oleh kejaksaan, inipun rentan terhadap gugatan praperadilan. Dalam kasus Bibit-Chandra, kejaksaan kalah di praperadilan setelah digugat oleh Anggodo (adik Anggoro) sebagai saksi pelapor. Atau jika kejaksaan menahan berkas penuntutan tanpa batas waktu yang jelas, inipun rentan digugat. Pada kasus ini, saya pernah menuliskannya berdasarkan pengalaman pribadi pada tulisan berjudul Menggugat Kejaksaan Agung dan KPK.

Kemungkinan Kelima, Jaksa Agung menggunakan kuasanya menyampingkan perakara atau lazim disebut deponering. Ini wewenang penuh Jaksa Agung untuk “meyampingkan perkara demi kepentingan umum”.Penggunaan instrumen ini, secara implisit mengandung pengakuan bahwa tersangka adalah orang yang memang diduga telah melakukan suatu kejahatan dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap sebagaimana telah dituangkan Jaksa dalam surat dakwaan. Hanya “demi kepentingan umum”, perkara tersebut dikesampingkan alias tak jadi dituntut ke pengadilan.

Kewenangan Jaksa Agung menerbitkan deponering lebih bersifat politis. Karena sebelum menggunakan senjata pamungkas ini, Jaksa Agung terlebih dahulu memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Khususnya mendengar arahan langsung dari Presiden sebagai atas Jaksa Agung. Dalam konteks ketatanegaraan, Jaksa Agung sebagai pejabat negara berkedudukan sama seperti Menteri sebagai pembantu Presiden. Diangkat dan diberhentikan Presiden tanpa mendapat persetujuan DPR. Artinya, meskipun deponering adalah wewenang Jaksa Agung tapi harus tetap dibaca sebagai kehendak atau paling tidak mendapat persetujuan dari Presiden.

Saat Kejaksaan Agung mendapat limpahan perkara Budi Gunawan dari KPK, episode ini akan terus berlanjut. Akan tetap menjadi perbincangan di arena publik. Entah perkara tersebut tetap dilanjutkan hingga naik ke tahap persidangan atau dihentikan dengan keluarnya SP3, SKPP atau deponering, isyu ini tetap menjadi perhatian publik. Sorot publik lebih terarah nantinya pada Jaksa Agung dan atasanya yakni Presiden. Sebab, Kejaksaan bukanlah lembaga independen seperti KPK. Kejaksaan adalah bagian dari pemerintahan yang dipimpin langsung oleh Presiden.

Pertanyaannya: apakah Jaksa Agung siap menerima “bola panas” ini dari KPK?

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun