Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Anotasi Hukum Putusan Praperadilan

16 Februari 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini publik gaduh. Kegaduhan yang ditandai dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan sejumlah kalangan di media massa. Setelah hakim tunggal PN Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan Budi Gunawan dan menyatakan tidak sah penetapan tersangka terhadapnya. Semua pihak menyorot putusan praperadilan tersebut. Putusan yang dinilai kontroversial. Banyak pihak yang menolak dan kontra atas putusan tersebut.

Akan tetapi pernyataan dan pendapat yang disampaikan lewat media massa yang hanya sepotong itu pada gilirannya tidak membawa aspek pendidikan. Pernyataan dan pendapat yang tidak lengkap dan tuntas akan berakibat penarikan opini yang terkesan instan. Tidak ada argumen yang memadai untuk dijadikan alas pembenar.

Di satu pihak, ada peluang bagi kompasioner untuk menuliskan pendapat dan opininya. Tulisan yang relatif lebih lengkap yang disertai argumen yang memadai ketimbang pernyataan-pernyataan lisan. Apakah peluang itu? Rekan-rekan kompasioner dapat mengemukakan pendapatnya dalam bentuk Anotasi Hukum.

Putusan Praperadilan hari ini (16/2/2015) layak dijadikan obyek Anotasi Hukum. Karena memuat tiga hal : (1) putusan yang dinilai kontroversial. Kontroversial dilihat dari segi penerapan hukum acaranya dan atau penerapan hukum materiilnya. Serta bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat; (2) Memiliki dampak sosial politik yang tinggi. Dampak yang menimpa masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung; (3) Ada indikasi Judicial Corruption.Indikasi berangkat dari kecurigaan dan sangkaan pada hakim yang memimpin persidangan.

Saya lebih memilih menggunakan istilah Anotasi Hukum ketimbang Eksaminasi. Walaupun kedua istilah ini bermuatan sama, yakni catatan hukum atau penilaian terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde), oleh pihak luar badan peradilan. Atau jika ingin disepadankan Anotasi hukum bisa juga diartikan Eksaminasi Publik. Istilah eksaminasi biasanya melekat pada suatu badan seperti majelis eksaminasi atau tim eksaminasi pengawasan internal di Mahkamah Agung.

Eksaminasi publik atau Anotasi Hukum merupakan studi ilmiah dan kajian kritis terhadap produk hukum sekaligus merupakan bagian dari kontrol sosial terhadap subtansi dan prosedur badan peradilan. Tujuannya, untuk memperbaiki kinerja maupun peningkatan kemampuan teoritis hukum. Juga untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam berperanserta mengawasi jalannya suatu proses peradilan. Bagi kalangan akademisi khususnya fakultas hukum, hasil kajian eksaminasi dapat dijadikan bahan pembelajaran. Bagi hakim dan praktisi hukum lainnya dapat menambah dan memperluas pengetahuan hukumnya terutama masalah penerapan hukum.

Meskipun tulisan atau artikel di kompasiana tidak termasuk dalam Anotasi Hukum dalam pengertian formal, namun opini yang ditulis masih dalam kerangka ikutserta dalam mengawasi jalannya suatu proses peradilan. Sebagai upaya kontrol sosial terhadap lembaga yudikatif.

Apakah amar putusan dan pertimbangan hakim Sarpin Rizaldisudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum dan memperhatikan legal justice, moral justice dan social justice. Karena semua putusan hakim disayaratkan untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam dunia hukum ada adagium Sumum Ius Summa Inniora (Hukum yang tertinggi adalah ketidak adilan yang terbesar). Apabila para penegak hukum hanya menerapkan hukum saja tanpa mempertimbangkan keadilan yaitu moral justice dan social justice. Jika tidak, maka hukum hanya dimaknai "Lex dura sed tamen scripta" (hukum dirasa kejam, kaku, dan keras. Namun memang begitulah keadaannya).

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun