Heboh perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI Jakarta, memunculkan pertanyaan “siapakah yang salah?”. Dalam hal proses penetapan rancangan peraturan daerah anggaran pendapatan dan belanja daerah (selanjutnya disebut APBD 2015), saya nilai keduanya salah. Baik Ahok selaku Gubernur maupun anggota DPRD. Keduanya telah melanggar ketentuan prosedur (hukum formil) proses penetapan APBD 2015. Titik temu kesalahan yang sama karena tidak adanya persetujuan bersama dalam proses pembahasan APBD 2015. Point kuncinya adalah persetujuan bersama.
Dasar hukum untuk menyatakan kesalahan prosedural itu berdasarkan tiga ketentuan: (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005; dan (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Pada pokoknya menyatakan bahwa pembahasan APBD diwajibkan adanya persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD. Persetujuan bersama ini tidak otomatis APBD menjadi sah. Karena pihak yang mengesahkan APBD adalah Menteri Dalam Negeri.
Kesalahan Ahok menyerahkan draft APBD 2015 ke Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) tanpa ada paraf dari Ketua DPRD selaku pimpinan Panitia Anggaran. Pembubuhan paraf sebagai tanda bahwa draft APBD tersebut sudah mendapat persetujuan dari DPRD. Jadi masalahnya bukan pada format draft APBD berupa e-budgeting atau tidak, tetapi tidak adanya paraf dari Ketua DPRD sebagai tanda adanya persetujuan bersama.
DPRD pun melakukan tindakan serupa. Dengan mengirimkan draft APBD versi DPRD ke Kemendagri. Mengirimkan langsung tidak melalui pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur yang memiliki wewenang tersebut, merupakan pelanggaran prosedural. Andaipun draft APBD versi DPRD itu ditandatangani atau diparaf oleh semua pimpian DPR, tetapi tidak melewati Gubernur, artinya pemerintah daerah tidak memberi persetujuan. Untuk diketahui tiga ketentuan hukum yang disebut di atas, menyaratkan adanya persetujuan bersama. Bukan semata-mata hanya ada persetujuan DPRD an sich.
Suatu perbuatan bisa dianggap salah, bila ada ancaman hukuman berupa sanksi yang dijatuhkan. Pasal 312 ayat (1) UU 23/2014 menyebutkan bahwa kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama. Artinya tindakan persetujuan bersama adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan baik oleh kepala daerah dan DPRD. Pelanggaran atas kewajiban ini dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 312 ayat (2). Berupa sanksi administratif tidak dibayarkan hak hak keuangan selama 6 (enam) bulan. Yang dimaksud dengan hak-hak keuangan meliputi gaji, tunjangan jabatan dan tunjangan lain (vide Pasal 75 ayat (2)). Dengan kata lain, Ahok dan seluruh anggota DPRD DKI Jakarta tidak akan menerima gaji dan tunjangan selama 6 (enam) bulan ke depan.
Lalu apa konsekwensi belum adanya persetujuan bersama draft APBD 2015? Pembiayaan menggunakan APBD tahun anggaran sebelumnya yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Selanjutnya Perkada tersebut harus mendapat pengesahan dari Mendagri.
Bila perseteruan antara Ahok dan DPRD karena tidak adanya titik temu adanya persetujuan bersama, Ahok dapat menerbitkan Perkada untuk menggunakan APBD tahun 2014 sebagai rencana pembiayaan. Perkada tidak membutuhkan persetujuan DPRD hanya membutuhkan pengesahan dari Mendagri. Dengan begitu, nasib para PNS misalnya yang terancam tidak mendapatkan gaji bulanan sebenarnya tidak beralasan. Dengan Perkada yang menggunakan APBD 2014, hal itu bisa diatasi. Namun, sanksi administratif pada Ahok dan seluruh anggota DPRD tetap dijalankan selama enam bulan tidak menerima gaji. Undang-undang telah mengantisipasi dan memberi opsi jika sewaktu-waktu terjadi ketegangan antara kepala daerah dan DPRD dan tidak tercapai persetujuan bersama dalam proses pembahasan APBD.
Namun demikian kesalahan Ahok tersebut dilatarbelakangi oleh pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh DPRD dalam proses pembahasan. Dimana DPRD melakukan pembahasan dilakukan terperinci sampai satuan tiga. Proses ini bertambah runyam tatkala anggota DPRD memberi usulan mata anggaran tertentu dan nilai anggaran pada beberapa jenis kegiatan. Hal ini diakui sendiri oleh Selamat Nurdin anggota Komisi C (Bidang Keuangan) DPRD yang menyorot rincian program. Diantaranya honor bagi guru honorer dan anggaran pembangunan stadion BMW yang berujung pada pemotongan anggaran sebesar 10 -15 persen (sumber). Pemotongan anggaran tersebut kemudian dipindahkan atau dialokasikan pada mata anggaran lain diantaranya pengadaan UPS (uninterruptible power supply) yang oleh Ahok disebut “anggaran siluman”. Indikasi bahwa nomenklatur tersebut merupakan usulan anggota DPRD terungkap dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) DKI Arie Budiman. Ari mengatakan pihaknya tidak mengusulkan pengadaan UPS dan peranti pendidikan semacam itu."Untuk APBD 2015 tidak ada, justru clean. Di APBD 2015 tidak ada pengadaan UPS ataupun titipan lain," ujar Arie (sumber).
Atas kesalahan ini Ahok dapat saja dijatuhi hukuman atau sanksi. Sanksi administratif berupa tidak dibayarkan gaji dan tunjangan selama enam bulan sebagai kepala daerah ditetapkan oleh Mendagri. Sanksi politik berupa hak menyatakan pendapat DPR (setelah digunakannya hak angket) bahwa Ahok telah melanggar ketentuan hukum. Hak menyatakan pendapat itu mirip dengan dakwaan jaksa penuntut umum di muka peradilan. Pada akhirnya, apakah Ahok benar-benar bersalah, yang menentukan adalah putusan Mahkamah Agung (MA). Putusan MA tersebut yang dijadilan landasan usulan pemberhentian Ahok sebagai kepala daerah ke Presiden. Jadi kuncinya pada putusan MA yang menyatakan apakah Ahok bersalah atau tidak.
Menjadi masalah atas pelanggaran kewenangan anggota DPRD yang memberi usulan mata anggaran hingga satuan tiga. Tidak ada ketentuan sanksi hukuman apapun atas perbuatan ini. Pada prakteknya, pelanggaran tersebut lazim terjadi di hampir semua daerah. Kepala daerah yang akomodatif, membiarkan dan membenarkan DPRD memberi usulan masuknya sejumlah mata anggaran tertentu hingga satuan tiga. Meminjam istilah Obdusman, perbuatan melampaui kewenangan yang dimilikinya untuk tujuan lain disebut maladminsitrasi. Hanya maladminsitrasi yang dilakukan oleh anggota DPRD dalam konteks peristiwa di atas, tidak ada sanksi hukuman apapun. Karena tidak ada sanksi maka perbuatan tersebut tidak bisa dianggap maladminsitrasi atau salah.
Diluar ketentuan hukum tertulis berlaku juga sanksi sosial yang dijatuhkan masyarakat atas perbuatan salah seseorang. Terkadang sanksi sosial bentuk hukuman yang dirasakan lebih perih ketimbang sanksi hukum tertulis dan sanksi politik yang diterima. Mungkin saja, Ahok dan seluruh anggota DPRD dapat menerima sanksi administratif berupa tidak diberikan gaji dan tunjangan selama enam bulan, namun implikasi dari itu semua, sanksi sosial yang diterima kadang tidak bisa diduga-duga bentuknya. Seluruh elemen masyarakat (warga) Jakarta yang terkait langsung dengan pembiayaan APBD 2015, dapat memberikan reaksi yang rupa ragam. Sanksi sosial yang tidak bisa diduga wujudnya. Karena kepentingan warga Jakarta terbaikan oleh adanya perseteruan tersebut, dengan tidak adanya persetujuan bersama antara Ahok dan DPRD.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H