Ajakan mengabaikan perihal ini ditujukan pada masyarakat umum. Pada netizen, pada warga masyarakat Indonesia. Dalam kaitan dengan kasus korupsi, masyarakat harus ditempatkan dan diperlakukan sebagai korban. Ajakan untuk mengabaikan ini adalah upaya perlawanan atas penggunaan demagog dan slogan “kita harus mengutamakan praduga tak bersalah” yang kerap diserukan oleh para pembela tersangka/ terdakwa koruptor. Para pembela – tidak harus advokat – para koruptor seolah ingin mengatakan “klien atau rekan atau bos atau junjungan saya tidak korupsi”. Abaikan seruan itu!
Ada lima alasan yang jadi dasar saya menyerukan untuk mengabaikan asas praduga tak bersalah khususnya untuk kasus korupsi.
Pertama, asas praduga tak bersalah secara normatif hanya ditujukan kepada aparat penegak hukum. Diluar aparat penegak hukum, tidak terikat dengan asas ini. Aparat penegak hukum pun secara khusus ditujukan kepada hakim. Asas ini hanya diatur dalam KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. Itupun penerapannya tidak mutlak.
Asas ini tidak pernah disebutkan baik dalam UU Kejaksaan maupun UU Kepolisian. Meskipun dalam prakteknya kejaksaan dan kepolisian menggunakan KUHAP dalam memperlakukan tersangka, tetapi dua aparat penegak hukum ini tidak mutlak menggunakan asas praduga tak bersalah. Bahkan polisi sebagai penyidik seringkali menggunakan praduga bersalah (presumption of guilt) misalnya dalam proses penangkapan. Proses penangkapan yang menggunakan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seseorang “ yang diduga keras” bukan “telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan”.
Dalam sistem hukum Common Law yang menjadikan asas praduga tak bersalah sebagai pondasi, perlakukan kepada pelaku kejahatan oleh penyidik/ kepolisian sungguh berbeda. Ada hak untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya dan hak untuk tidak memberikan jawaban dalam proses penyidikan. Dua hak fundamental ini tidak diatur dalam KUHAP kita. Termasuk hak tersangka untuk mengajukan ”review” yg ditujukan pada hakim komisaris. Artinya penerapan asas praduga tak bersalah dalam sistem hukum kita – khususnya dalam proses penyidikan, tidak diberlakukan secara mutlak.
Kedua, sesungguhnya hanya hakim yang harus berpedoman pada asas praduga tak bersalah. Tetapi itupun terjadi kontradiksi antara konsep (yang tertera dalam undang-undang) dengan penerapannya. Dalam undang-undang, dinyatakan “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Sudah banyak yang paham apa yang dimaksud dengan “berkekuatan hukum tetap”. Kira-kira hingga ada putusan kasasi – jika terdakwa mengajukan banding dan kasasi. Logikanya jika belum ada putusan kasasi (yang berkekuatan hukum tetap), terdakwa “wajib dianggap tidak bersalah”. Padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Status seseorang saat ada putusan pengadilan tingkat pertama sudah berubah dari terdakwa menjadi terpidana. Otomatis hak-hak sebagai terdakwa hilang (diantaranya hak dinyatakan tidak bersalah) dan berubah mendapatkan hak-hak sebagai terpidana. Artinya hakim pun tidak menerapkan asas praduga tak bersalah setelah ada putusan pengadilan meskipun belum berkekuatan hukum tetap.
Kekeliruan mengadopsi asas ini bisa dibandingkan dengan rumusan lain. Rumusan asas praduga tak bersalah yang tertera dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), berbeda dengan undang-undang kita. Konvenan dirumuskan dengan kalimat ”... until proved guilty according to law”.Sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan rumusan hukum kita bilang ” sampai berkekuatan hukum tetap”, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Disinilah letak kontradiksinya. Asas ini diadopsi dari sistem hukum luar, tapi rumusannya melampaui dari sumber aslinya. Dan naifnya, dalam prakteknya hakim tidak tunduk pada asas praduga tak bersalah setelah putusan pengadilan, meskipun belum berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, secara filosofis asas ini “tidak selaras” dengan UUD 1945 (konstitusi). Pada hakekatnya asas praduga tak bersalah bersumber dari sistem hukum Common Law yang dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik – liberal sekitar abad ke 16. Asas hukum ini menempatkan manusia sebagai mahluk individu yang harus dihargai dan dihormati.
Dilain pihak, UUD 1945 tidak mencantumkan “hak untuk dianggap tidak bersalah” sebagai hak-hak dasar manusia (baca: warga negara). Karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).
Sebaliknya, ada dua filosofi yang secara implisit tertuang dalam UUD 1945: (1) Konstitusi kita tidak menganut paham individualistik secara murni dalam konteks HAM. Justru hak-hak kolektif (masyarakat) yang lebih diutamakan. Dalam pengertian hak dan kebebasan setiap orang diarahkan untuk terciptanya harmonisasi kehidupan sosial. (2) Pasal 28 J UUD 1945, justru lebih mengedepankan kewajiban asasi, atau kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi manusia orang lain.