Beberapa fraksi awalnya mengajukan draft rumusan Pasal 22E ayat (1) justru dengan menambahkan kata "serentak". Ada yang mengajukan draft yang berbunyi, "Pemilihan umum dilakukan secara bersamaan di seluruh Indonesia, serentak". Â
Fraksi PDIP mengajukan draft rumusan, " Untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, serentak diseluruh wilayah Republik Indonesia...".Â
Saat itu Slament Effendy Yusuf sebagai pimpinan sidang, sempat bertanya, "Kata "secara serentak" ini akan dimaknai seperti apa?". Hamdan Zoelva dari F-PBB pertama yang menyatakan bahwa kalimat "serentak" dihapus saja.Â
Usulan Hamdan Zoelva disetujui secara aklamasi oleh semua anggota. Kata "serentak" dihapus dan tidak menjadi norma. Bahwa Pemilu akan dilaksanakan serentak atau terpisah, diserahkan kepada perumus undang-undang. Dengan demikian tidak benar pendapat hakim Konstitusi bahwa norma "serentak" atau "bersamaan" sudah menjadi original intent. Justru yang terjadi sebaliknya.
Hal ini perlu saya tekankan, agar kata "serentak" seolah menjadi norma asli dari konstitusi dan disejajarkan dengan prinsip ataub azas pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Serentak atau tidak semata masalah kebijakan (teknis) belaka bukan prinsip atau norma konstitusi. Boleh serentak, boleh juga terpisah.
Pada bagian ini, pemilu lokal mendapat pijakannya. Pemilu lokal dapat dilaksanakan terpisah dengan Pemilu nasional. Karena sekali lagi, konstitusi tidak membuat norma "serentak".Â
Pemilu nasional cukup memilih Presiden dan wakil Presiden, anggota DPR RI dan anggota DPD RI (tiga kotak). Pemilu lokal akan memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota (dan Kepala Daerah). Terjadi pemisahan waktu pemilihan antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Pemilu lokal tergantung dari berakhirnya masa jabatan terutama Kepala Daerah.
Istilah Pemilu lokal bahkan Pemilu nasional tidak ada dalam UUD RI 1945 (selanjutnya disebut konstitusi). Pasal 22E sebatas menyebut frasa "pemilihan umum". Jadi bila saya menggunakan istilah "pemilu lokal" tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Karena tafsir atas frasa "pemilihan umum" tidak menjadi ekstensif menjadi "pemilu nasional". Â
Pemisahan ini juga untuk mempertegas semangat otonomi daerah yang tertuang dalam Pasal 18. Patut diketahui bahwa DPRD bukanlah sebagai badan legislatif sebagaimana DPR. Ketentuan tentang DPRD justru berada dalam satu naungan dalam Pasal 18.Â
DPRD tidak lain bagian dari Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala Pemerintah Daerah dan DPRD. Dan ketentuan tentang Pemilu lokal secara khusus tersirat dalam Pasal 18 ayat (3) "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum".
Bahwa ada hal yang fundamental perbedaan antara DPR dan DPRD. Diantaranya, DPR dalam membuat peraturan mengakomodasi kepentingan politik anggotanya dan kepentingan sosilogis (masyarakat secara nasional). Sedangkan DPRD dalam membuat peraturan baik peraturan yang berlaku internal DPRD maupun untuk kepentingan masyarakat daerah berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun tidak mengabaikan kekhasan dan kepentingan umum masyarakat daerah.