Muncul pertanyaan besar bagi pengamat hukum dalam satu minggu terakhir: mengapa hakim Pra Peradilan Effendi Mukhtar membuat putusan "memerintahkan KPK untuk menetapkan tersangka Boediono"?
Dengan membaca Putusan Nomor: 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel halaman 54 hingga halaman 76 akan lebih jelas dan terang dengan memperhatikan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Tentang kewenangan Praperadilan, saya kira sudah jelas dan tidak perlu dipertentangkan. Karena objek sengketa tentang penghentian penyidikan tertera jelas dalam KUHAP. Tapi yang lebih banyak mendapat sorotan adalah "putusan yang diangap baru atau aneh".Â
Dari segi formil tidak aneh, karena putusan hakim beranjak dari permohonan (petitum) pemohon. Beda kalau ultra petita. Dari segi materiil, ini penemuan hukum hakim. Itupun sah saja. Hanya karena "baru" sebagai penemuan hukum, banyak orang jadi gagap. Namanya juga baru.
Saya lebih melihat mengapa hakim sampai membuat putusan yang "baru" seperti itu?. Menurut pendapat saya karena kekeliruan Jaksa Penuntut Umum/ Jaksa KPK selama ini dalam melakukan penuntutan. Anggap saja putusan hakim Effendi Mukhtar sebagai koreksi atas kekeliruan penerapan hukum oleh JPU selama ini. Â Apa kekeliruan JPU itu?
Ketika seorang terdakwa dikenakan delik penyertaan (bersama-sama), berkas perkaranya dipisah atau sidangnya dipisah. Memang untuk mengabungkan atau memisahkan berkas perkara adalah hak JPU, tapi dalam prakteknya memisahkan berkas perkara pada delik penyertaan banyak kerugiannya.
Ambil contoh pada perkara konkrit dalam PraPeradilan ini. Dalam Surat Dakwaan, Budi Mulya didakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum bersama-sama dengan (salah satunya) Boediono.
Bahkan dalam Putusan PN, hal tersebut disebut lagi. Mungkin menyebut nama orang lain (diluar terdakwa) dalam Surat Dakwaan bisa saja tidak berakibat hukum (meskipun Andi Hamzah bilang penyebutan nama dalam Surat Dakwaan harus inisial, jika disebut identitas lengkap: "Boediono", maka konsekwensinya dia harus juga dituntut).
Apalagi penyebutan nama "Boediono" terlibat secara bersama-sama (delik penyertaan), maka tidak ada pilihan lain, siapapun yang disebut namanya dalam Surat Dakwaan dan dikaitkan dengan delik penyertaan, harus juga dituntut. Jika tidak ingin dituntut, harusnya Jaksa tidak menyebutkan namanya dalam Surat Dakwaan dan termasuk sebagai pihak dalam delik penyertaan.
Analoginya, si Badu didakwa mencuri bersama-sama dengan Si Polan. Nama Si Polan disebut dalam Surat Dakwaan dengan terdakwa Si Badu. Konsekwensi logis dalam penerapan Pasal 55 KUHP, harusnya si Polan juga didakwa dalam satu berkas yang sama dengan Si Badu. Tetapi kemudian, Si Badu divonis bersalah.
Sampai si Badu keluar dari penjara, Si Polan tidak pernah dituntut. Kalau ada orang membela si Polan (karena putusan hakim Praperadilan dianggap aneh) Â lalu mengapa hanya si Badu yang dianggap bersalah dan dikenakan delik penyertaan (bersama-sama). Â Tidak bisa Penuntut Umum bilang, belum cukup bukti untuk menetapkan si Polan sebagai tersangka.
Lha, minimal dua alat bukti yang melekat pada si Badu karena mencuri, harusnya juga melekat pada si Polan karena dilakukan secara bersama-sama. Beda kalau si Badu tidak dikenakan delik penyertaan (Pasal 55). Jika tidak cukup alat bukti, mengapa nama si Polan disebut dalam melakukan pencurian bersama-sama si Badu?
Dengan analogi di atas, putusan hakim Pra Peradilan Effendi Mukhtar secara materiil untuk memenuhi rasa keadilan setidaknya bagi Budi Mulya. Dan asas kepastian hukum bagi Boediono sendiri. Kalau kasus ini digantung bertahun-tahun oleh Jaksa KPK, lalu apa status Boediono?
Tidak salah jika hakim Praperadilan "mengintervensi" kewenangan penyidik KPK untuk melanjutkan pemeriksaan pada Boediono. Dari segi keadilan materiil terpenuhi. Dari segi formil, tentu jadi pertanyaan: mengapa nama Boediono disebut dalam Surat Dakwaan Budi Mulya dan didera dengan delik penyertaan?
Dalam hal ini, saya menyalahkan KPK. Kalau KPK tidak tunduk pada putusan Pra Peradilan, bagaimana dengan rasa keadilan bagi Budi Mulya? Kalau tidak mau menyidik Boediono, harusnya sejak awal Jaksa KPK tidak memasukan nama Boediono dalam Surat Dakwaan dalam melakukan perbuatan tindak pidana secara bersama-sama dengan Budi Mulya.
Saran saya untuk Jaksa Penuntut Umum untuk dakwaan dengan jeratan delik penyertaan, semua pelaku tindak pidana harus disidang dalam berkas yang sama tidak dipisah-pisah. Dan hati-hatilah menyebut nama orang dalam Surat Dakwaan.
Salam,
Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H