Lha, minimal dua alat bukti yang melekat pada si Badu karena mencuri, harusnya juga melekat pada si Polan karena dilakukan secara bersama-sama. Beda kalau si Badu tidak dikenakan delik penyertaan (Pasal 55). Jika tidak cukup alat bukti, mengapa nama si Polan disebut dalam melakukan pencurian bersama-sama si Badu?
Dengan analogi di atas, putusan hakim Pra Peradilan Effendi Mukhtar secara materiil untuk memenuhi rasa keadilan setidaknya bagi Budi Mulya. Dan asas kepastian hukum bagi Boediono sendiri. Kalau kasus ini digantung bertahun-tahun oleh Jaksa KPK, lalu apa status Boediono?
Tidak salah jika hakim Praperadilan "mengintervensi" kewenangan penyidik KPK untuk melanjutkan pemeriksaan pada Boediono. Dari segi keadilan materiil terpenuhi. Dari segi formil, tentu jadi pertanyaan: mengapa nama Boediono disebut dalam Surat Dakwaan Budi Mulya dan didera dengan delik penyertaan?
Dalam hal ini, saya menyalahkan KPK. Kalau KPK tidak tunduk pada putusan Pra Peradilan, bagaimana dengan rasa keadilan bagi Budi Mulya? Kalau tidak mau menyidik Boediono, harusnya sejak awal Jaksa KPK tidak memasukan nama Boediono dalam Surat Dakwaan dalam melakukan perbuatan tindak pidana secara bersama-sama dengan Budi Mulya.
Saran saya untuk Jaksa Penuntut Umum untuk dakwaan dengan jeratan delik penyertaan, semua pelaku tindak pidana harus disidang dalam berkas yang sama tidak dipisah-pisah. Dan hati-hatilah menyebut nama orang dalam Surat Dakwaan.
Salam,
Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H