Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Propaganda Anti Rokok YLKI Titipan Sponsor

22 Maret 2015   13:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gegara Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa membagi-bagikan rokok kepada orang rimba di Jambi, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meradang. Kejadian yang sekitar dua minggu lalu hingga sekarang tetap menjadi topik hangat di media sosial. Ironisnya bukan bantuan makanan dan pakaian yang dipersoalkan melainkan berpaling ke 15 pak rokok yang dibagikan gratis kepada para temenggung. Kata Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI usaha Khofifah adalah sesuatu yang tragis, menyalahi aturan, bertolak belakang dengan program mengurangi kemiskinan. Wujud kepedulian Khofifah dengan membagikan bahan makanan, pakaian, uang santunan untuk ahli waris yang ditinggalkan lantas disingkirkan, seolah tidak pernah ada. Tertutup oleh tudingan YLKI soal bagi-bagi rokok gratis. Untuk melengkapi suaranya, Tulus tak lupa menuduh Khofifah disponsori oleh industri rokok besar untuk mempromosikan produknya. Bahkan, Tulus menyebut Mensos telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif. "Dalam PP tersebut, siapapun dilarang membagikan produk rokok secara cuma-cuma atau gratis kepada siapapun. Lha, ini yang melakukan justru pejabat negara. Tragis!," kata Tulus (sumber).

Rilis yang dilakukan oleh YLKI itu bernada manipulasi dan lebih bersifat propaganda. Ada dua manipulasi yang dilakukan: Pertama, seperti yang disebut di atas, YLKI menutup informasi ke publik perihal bantuan bahan makanan, pakaian dan uang santunan ke orang rimba. Padahal inilah tujuan utama kehadiran Khofifah setelah mendengar peristiwa 11 orang meninggal dunia karena kelaparan. YLKI lebih fokus pada pemberian rokok kepada temenggung.. Pada titik ini, YLKI abai sebagai lembaga watchdog atas kebijakan pemerintah hingga meninggalnya 11 orang itu. Bahkan pada konteks charity, bentuk kepedulian sama sekali tidak ditunjukan dengan rilis yang disampaikan hanya urusan rokok. Peduli pada penderitaan yang dialami oleh anak suku dalam atau orang rimba di Jambi. Justru saya mempertanyakan komitmen kemanusiaan YLKI.

Manipulasi kedua, Tulus (YLKI) memanipulasi ketentuan PP 109/2012 dengan mengatakan “ membagikan produk rokok secara cuma-cuma atau gratis kepada siapapun”. Dalam ketentuan Pasal 45 PP 109/2012 disebut larangan memberikan produk tembakau secara cuma-cuma khusus kepada anak, remaja (di bawah usia 18 tahun) dan perempuan hamil.Lalu kepada siapa Khofifah memberikan rokok itu?

Dalam pemberitaan disebut, Mensos memberikan rokok tersebut kepada tiga temenggung yang menyambutnya: Temenggung Marituha, Temenggung Nyenong dan Temenggung Ngamal (sumber). Saya kira YLKI harus belajar lagi soal budaya dan adat bangsa sendiri. Temenggung adalah jabatan tertinggi dalam sebuah kelompok orang rimba, sebab mereka hidup secara berkelompok dan masih nomaden.Hingga saat ini, jumlah Suku Anak Dalam mencapai 1.775 jiwa. Mereka dipimpin 13 tumenggung atau pemimpin kelompok. Peristiwa kematian karena kelaparan itu terjadi dalam tiga kelompok dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong. Kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari hingga Februari 2014 dengan enam kasus, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa (sumber). Ketiga temenggung itu bukanlah anak berusia dibawah 18 tahun, bukan perempuan dan tidak bisa hamil. Jadi apa korelasinya dengan pelanggaran PP 109/2012?

Kenapa harus memberi rokok, apa maknanya? Rokok adalah bahasa pergaulan dengan orang rimba. Memberi dan menerima rokok, dalam adat orang rimba melambangkan salam dan tanda persahabatan. Akan lebih mudah memulai pergaulan dengan mereka melalui perantara rokok. Mereka biasanya akan senang diajak ngobrol, apalagi bila rokok milik kita ditinggalkan untuk mereka. Bagi orang rimba, merokok sudah menjadi budaya dan salah satu bahan pokok yang dibutuhkan dalam keseharian. Biasanya bagi kalangan peneliti, mahasiswa pecinta alam atau aktivis LSM lingkungan yang bertemu dan bertamu dengan orang rimba khususnya pada temanggung selalu membawa rokok. Rokok tidak perlu mahal-mahal yang penting ada. Biasanya rokok yang dibawa adalah yang bermerk matra, harum manis atau rawit yang harganya sekitar 3 ribu rupiah perbungkus.Umumnya Orang Rimba merokok tembakau yang dipilin sendiri dengan kertas rokok. Tembakau dan kertas rokok mudah mereka dapatkan di desa sekitar. Namun begitu tampaknya mereka lebih menyukai rokok-rokok bungkusan yang dikeluarkan oleh pabrik rokok. Jadi sesungguhnya pemberian rokok dari Mensos Khofifah merupakan manifestasi tawaran persahabatan dari tamu yang ingin menjalin persahabatan dengan tuan rumah khususnya membuka kata dengan temenggung.

Rokok sebagai simbol bukan saja terjadi pada masyarakan orang rimba. Di beberapa daerah, ada adat kebiasaan yang menggunakan rokok sebagai medianya. Rokok sebagai perlambang nilai religiusitas, kebersamaan, pertemanan dan penghormatan. Diantaranya masyarakat Kraksaan Kabubaten probolinggo. Memanfaatkan rokok sebagai media undangan, mereka menyebutnya pecotan. Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat Batang Selatan, Jawa Tengah yang mengganti kartu undangan dengan rokok.

Orang minang di Sumatera Barat juga mempunyai tradisi sama. Orang minang mengenal tradisi ulem-ulem dengan rokok dengan istilah Manyiriah. Ada juga tradisi pernikahan Suku Talang Mamak yang tinggal di kawasan Sungai Tunu di tanah keramat Rimba Puaka Talang Durian Cacar, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Dimana mempelai laki-laki dan perempuan saling tukar rokok. Tradisi yang hampir sama juga ditemukan dalam upacara pernikahan suku biak di kabupaten Biak Numfor, Papua. Bedanya, calon mempelai tidak saling tukar rokok, tapi justru rokok itu dihisap. Dalam tradisi Suku Biak upacara dipimpin Mananwir atau kepala adat. Seorang menanwir akan menyalakan sebatang rokok dan kemudian memberikan kepada mempelai pria dan wanita untuk dihisap.

Dari rilis yang disampaikan YLKI perihal pembagian rokok oleh Mensos Khofiffah, nampak YLKI tidak memahami konteks pemberian dan lebih jauh tidak mengenal adat budaya bangsa sendiri. YLKI telah disandera dengan kepentingan sponsor asing lewat propaganda anti rokok.

Siapa sponsor asing itu? Bloomberg Initiative sang pemberi donor YLKI selama ini untuk kampanye anti rokok. Foundation yang didirikan Michael Bloomberg, mantan Walikota New York City. Tiga tahun lalu (2012), Tulis Abadi membenarkan bahwa YLKI menerima dana tak kurang dari Rp 5,5 miliar rupiah dari Bloomberg Initiative, untuk menyelenggarakan program-program anti tembakau di Indonesia (sumber).

Bukan kebetulan pula, bila siaran pers yang dikeluarkan YLKI yang menyudutkan Khofiffah. bertepatan dengan pengumuman dari Bloomberg Philantropies dan Bill and Melinda Gates Foundation yang dikeluarkan di Dubai pada hari yang sama tentang dana baru anti-rokok yang dipersiapkan hingga Rp 4 triliun. Lembaga dana baru yang diluncurkan di Abu Dhabi pada konferensi internasional tentang pengendalian tembakau (sumber). Apakah rilis yang disampaikan YLKI pada hari yang sama itu bertujuan “mencari muka” untuk mendapat tambahan dana baru dari Bloomberg Philantropies dan Bill and Melinda Gates Foundation, hanya YLKI yang bisa menjawabnya.

Michael R. Bloomberg, adalah seorang pengusaha kaya raya, walikota New York City tiga periode. Tokoh di balik Bloomberg Initiative dan Bloomberg Philantropies. Apa kepentingan Bloomberg tidak sulit dibaca, Walikota New York City ini dikabarkan membela mati-matian para eksekutif farmasi yang dikambing-hitamkan dalam perdebatan layanan kesehatan. Bloomberg punya saham terbesar dari beberapa perusahaan farmasi di Amerika Serikat.

Propaganda anti rokok yang berkorelasi pada kepentingan perusahaan farmasi AS pernah dibongkar oleh Wanda Hamilton, seorang peneliti independen dan pengajar di tiga universitas terkemuka di AS, lewat bukunya Nicotine War. Menurut Hamilton, propaganda anti rokok merupakan bagian dari marketing industri farmasi. Ia menyebut: “Koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi”. Targetnya agar orang berhenti merokok, dan untuk berhenti merokok itu harus ada penanganan atas ketagihan nikotin. Dari situlah terbuka jalan bagi terapi atau obat-obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT). Tidak heran jika industri farmasi meraup keuntungan besar. Hamilton mengungkap fakta-fakta ini : “Sepuluh perusahaan obat terbesar dilaporkan menghasilkan laba rata-rata 30 persen dari pendapatan margin yang mencengangkan. Selama beberapa tahun belakangan, industri farmasi secara keseluruhan sejauh ini merupakan industri yang paling beruntung di Amerika Serikat“. (Angell M, “The Pharmaceutical Industry : To Whom Is It Accountable ?”, New England Journal of Medicine, June 22, 2000). David Earnshaw, mantan direktur urusan pemerintah Eropa untuk Smith Kline Beecham mengatakan “Jika ditotal, kapitalisasi pasar dari empat perusahaan (farmasi) terbesar itu jumlahnya melebihi perekonomian India…”, (Dikutip dalam Roger Dobson, “Drug Company lobbyist joins Oxfam’s cheap drugs campaign,” BMJ, 332, April 28, 2001, p. 1011).

Bukan hanya Hamilton yang bersikap kritis terhadap propaganda anti rokok. Gabriel Mahal dalam Epilog Nicotine War menulis nama-nama yang lain. Ada Robert A Levy dan Rosalind B Marimont, yang dalam artikel berjudul Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths (1998) mengatakan bahwa : Perang terhadap tembakau telah berkembang menjadi “monster kebohongan dan kerakusan”. Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran.

Lucunya, YLKI yang gencar melakukan propaganda anti rokok dengan sponsor Bloomberg tidak menghiraukan beberapa fakta lain. Ketika kampanye anti rokok makin intensif, impor tembakau ke Indonesia justru meningkat. Pada tahun 2007 saja mencapai 69.742 ton. Tidak hanya tembakau, ternyata impor rokok ke Indonesia juga sangat besar, mencapai 520.000 ton per tahun.

Dan ketika kampanye anti rokok makin intensif, dua industri besar kretek nasional justru diambil alih asing. Tahun 2005, 98% saham Sampoerna diakuisisi Philip Morris. Menyusul tahun 2009, 85% saham Bentoel diakuisisi British American Tobacco (BAT). Di sisi lain, ratusan industri kecil kretek gulung tikar karena kenaikan cukai. Penting dicatat, Philip Morris dan BAT - dua produsen rokok putih sempat melakukan kampanye besar melawan peredaran kretek dengan membawa isu kesehatan (tingginya kadar tar dan nikotin pada kretek).

Kalau dulu Philip Morris dan BATmemerangi kretek dengan isu kesehatan, sekarang mereka memproduksinya. Kampanye anti rokok, selain merupakan perang akbar industri farmasi dengan industri rokok, adalah juga strategi merebut pasar rokok Indonesia, dan bahkan strategi merebut rokok Indonesia (kretek).Kretek dan industrinya, satu dari sedikit produk unggulan dan industri nasional yang kuat, sedang terus dirongrong.

Pertanyaan penutup, jika demikian, YLKI dengan propaganda anti rokok – khususnya mengecam tindakan Khofiffah – sebenarnya berpihak pada kepentingan siapa? Jika selama ini YLKI selalu mengecam dan melakukan propaganda anti rokok, beranikah YLKI mengatakan bahwa pesan itu sesungguhnya adalah titipan Michael Bloomberg?

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun