Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dakwaan Terhadap Nenek Asyani Mengada-ada

13 Maret 2015   10:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:43 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan sumbangsih pemikiran saya kepada terdakwa Asyani– media menyebutnya nenek Asyanikarena berusia 63 tahun – yang perkaranya tengah disidang di Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur. Asyani didakwa telah melakukan pembalakan liar (lllegal logging) atau perusakan hutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Terdakwa Asyani dijerat dengan Pasal 12 huruf d juncto pasal 83 ayat 1 huruf A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumannya lima tahun penjara (sumber).

Kasus ini bermula saat Asyani dan Ruslan (menantunya) yang tinggal di Dusun Secangan, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng memindahkan kayu dari rumahnya untuk dibawa ke rumah Cipto (tukang kayu) guna dijadikan lencak (tempat duduk seperti tempat kasur). Namun, sesampainya di rumah Cipto, ketujuh kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil illegal logging dan diamankan oleh Perhutani. Oleh Perhutani, tujuh batang kayu itu dianggap hasil pembalakan liar (sumber).

Tujuh batang kayu jati merupakan hasil tebangan Asyani yang dilakukan 5 (lima) tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan ini dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyaniyang diperkuat dengan pernyataan Kepala Desa Jatibanteng (sumber). Hanya saja kini lahan kayu jati yang ditebang saat itu sudah menjadi milik orang lain (keponakannya). Adapun suami Asyani sudah meninggal 2 (dua) tahun lalu. Kayu dengan panjang sekitar 1,5 meter dan diameter 15 sentimeter tersebut merupakan miliknya yang diambil di lahan milik pribadinya.

Pihak Perhutani memerkarakan ini pada Agustus 2014 dan sampai saat ini Asyani sudah menjalani sidang kedua di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Asyani pun sudah menjalani pahitnya ditahan sejak 15 Desember 2015 lalu.

JPU mendakwa dengan menggunakan Pasal 12 huruf d UU 18 / 2013 yang berbunyi “Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin

Berikut penolakan saya atas pasal dakwaan yang digunakan oleh JPU.

Unsur “Setiap orang”. Pasal 1 angka 21 memberi batasanapa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yangmelakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia. Apa yang dimaksud dengan “perbuatan perusakan hutan” dan “terorganisasi”?

Pengertian atau batasan “terorganisasi” disebut dalam Pasal 1 angka 6 ialah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yangbertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.

Bila membaca posisi kasus, perbuatan Asyani tidak termasuk batasan terorganisasi. Unsur-unsur “tidak termasuk terorganisasi” terpenuhi yaitu (1) kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan; (2) melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri. Bertujuan untuk membuat lencak dan (3) tidak untuk tujuan komersial. Lencak digunakan sendiri dan bukan untuk diperjualbelikan. Selain daripada itu perbuatan Arsyani juga tidak memenuhi unsur terorganisasi (1) dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur. Karena penebangan dilakukan oleh suami Arsyani sendiri, dan lima tahun kemudian hasil tebangan itu digunakan oleh Arsyani; (2) tidak dilakukan secara bersama-sama pada waktu tertentu. Tinggal apakah memenuhi unsur “perusakan hutan” ?

Pasal 11 ayat (3) menyebut hal serupa perihal bukan termasuk perusakan hutan “ Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”.

Penekanan bahwa perbuatan perusakan hutan merupakan kejahatan terorganisasi ditegaskan dalam konsideran UU 18 / 2013 bagian menimbang huruf e “ bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum”. Dengan demikian landasan filosofis pemberlakukan atas UU 18/ 2013 ditujukan pada perbuatan kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara dengan modus operandi yang canggih. Pertanyaannya, apakah perbuatan Asyani berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara dengan modus operandi yang canggih?

Dengan penjelasan di atas bahwa Pasal 12 huruf d tidak terpenuhinya unsur “setiap orang”. Selanjutnya atas unsur “di kawasan hutan”. Batasan kawasan hutan terdapat pada Pasal 1 ayat (2) yaitu “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Pertanyaannya, apakah barang bukti berupa tujuh kayu jati tersebut berasal dari kawasan hutan?

Untuk diketahui, kawasan hutan produksi yang melingkupi desa Jati Banteng, kabupaten Sitobondo merupakan RPH Jatibanteng kawasan petak 43-F Blok Curahcottok. Pihak Perhutani bersama Polsek Jati Banteng dan Kepala Desa telah meninjau lokasi tersebut. Memang terdapat bekas potongan pohon jati berdiameter 105 sentimeter. Sedangkan di lokasi lain, sekitar jarak 100 meter juga terdapat bekas potongan pohon jati lainya bediameter 115 sentimeter(Sumber). Tambahan pula, bekas potongan pohon jati itu terlihat masih basah (sumber). Sementara barang bukti berupa tujuh katu jati yang diduga dicuri dari kawasan hutan itu, berdiameter 15 sentimeter. Berbeda dengan bekas potongan pohon jati di kawasan hutan yang berdiameter 105 sentimeter dan 115 sentimeter. Dilihat dari coraknya barang bukti tujuh katu jati itu telah kering karena ditebang lima tahun lalu, sedangkan di lokasi bekas potongan kayu terlihat basah yang umurnya diperkirakan hitungan minggu/bulan setelah ditebang.

Dalam kesaksian lain, Kepala Desa Jatibateng, Dwi Kurniadi mengatakan pernah mengajak pihak Perhutani ke lokasi penebangan kayu jati di lahan milik (warisan) Asyani. "Ini fotonya waktu saya menunjukkan bonggol bekas penebangan kayu jati yang ditebang suami Bu Asyani. Jadi saya sudah pernah mengajak petugas ke lokasi. Waktu itu, petugas tidak bicara apa-apa," tandas Kades Dwi Kurniadi (sumber).

Dari dua penjelasan diatas, dapat dibangun dua pemikiran: (1) bahwa pihak penyidik (kepolisian) dan penuntut umum (JPU) tidak bisa membuktikan korelasi kesamaan corak antara tujuh barang bukti dengan bekas potongan kayu yang diduga berasal dari tempat kejadian perkara. Bila demikian, JPU tidak cermat dan gegabah menuduh orang mencuri tidak pada tempatnya. (2) Ada dua bukti yang ditunjukan oleh Kades Jatibanteng, bahwa kayu berasal dari lahan milik Asyani bukan masuk kawasan hutan. Dan bukti foto dan lokasi yang ditunjukan ke pihak Perhutani di lahan Asyani yang dimaksud.

Dakwaan JPU yang menggunakan Pasal 12 huruf d UU 18 / 2013 jelas tidak terpenuhinya unsur “setiap orang” dan unsur “kawasan hutan”.

Nenek Asyani yang sudah mendekam ditahanan sejak Desember 2015 bukanlah kelompok elit di Jakarta. Meski disangka, ditahan dan didakwa dengan menggunakan delik kejahatan pembalakan liar yang dipaksakan, Asyani tidak lantas teriak lantang “ini kriminalisasi”.

Demikian sumbangsih pemikiran saya untuk membantu Asyani. Salam Kompasiana.

Catatan:

Tulisan ini juga saya dedikasikan kepada sahabat Zuhri Masykuri, anggota DPRD Kabupaten Situbondo, Semoga dapat membantu menyelesaikan perkara ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun