Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ahok Tidak Dapat Diberhentikan karena Alasan Melanggar Etika

26 Maret 2015   08:49 Diperbarui: 16 Agustus 2015   17:18 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427345722393576778

[caption id="attachment_405433" align="aligncenter" width="624" caption="Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama (Kompas.com)"][/caption]Judul tulisan ini berangkat dari anggapan anggota DPRD DKI Jakarta bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dapat diberhentikan karena alasan melanggar etika. Anggapan tersebut muncul setelah mendengar penjelasan pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin saat rapat panitia angket dalam rangka mendengarkan keterangan ahli di Gedung DPRD DKI. Ada dua penjelasan yang disampaikan oleh Irman menjawab pertanyaan dari anggota panitia angket. Pertama, Ahok dapat diberhentikan jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan. Keterangan ini saya setuju dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Atas alasan melanggar peraturan perundang-undangan tidak akan saya ulas dalam tulisan ini. Keterangan kedua, Irman mengatakan, keharusan seorang pemimpin menaati etika dan norma sudah diatur dalam TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurut Irman, begitu pentingnya aspek etika bagi seorang pemimpin membuat seorang pemimpin yang melanggar etika dimungkinkan untuk dimakzulkan. Ia pun mencontohkan kasus yang dialami oleh Aceng Fikri yang dimakzulkan dari jabatannya sebagai Bupati Garut pada 2012 hanya karena nikah siri yang dilakukannya (sumber). Keterangan Irman yang kedua ini dan mendapat sambutan hangat dari anggota panitia angket DPRD DKI, saya membatahnya.

Pertama, Irman mengutip TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Irman lupa, sejak Sidang Umum MPR tahun 2001, TAP MPR tidak lagi bersifat mengatur (regeling), kecuali yang diperuntukan kedalam organ MPR sendiri. Memang benar sebelum tahun 2001, TAP MPR dikatagorikan sebagai aturan dasar negara (staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Hal ini berkait dengan kedudukan MPR saat itu masih sebagai lembaga tertinggi negara. Namun sejak tahun 2001, TAP MPR terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking. Meskipun TAP MPR menjadi salah satu sumber tertib hukum, namun karena bersifat beschikking, TAP MPR tidak dapat disebut peraturan yang bersifat mengatur (regeling). Ringkasnya TAP MPR termasuk TAP MPR 6/ 2001 bukanlah termasuk peraturan perundang-undangan.

Konsekwensi logisnya perundang-undangan yang bersifat beschikking, maka norma yang termuat didalamnya tidak berupa imperatif (keharusan, kewajiban). Dalam konteks TAP MPR 6/ 2001 yang ditetapkan tanggal 9 November 2001 kembali ditegaskan norma yang dikandung didalamnya tidak berupa imperatif tetapi saran/ rekomendasi. Sebagaimana bunyi dalam Pasal 3 dengan kutipan “Merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan Ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa”.

Oleh karena itu pelanggaran atau tidak melaksanakan ketentuan dalam TAP MPR 6/2011 tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum atau pelanggaran peraturan perundang-undangan. Saya beri contoh dengan mencuplik ketentuan tentang etika politik dan pemerintahan yang berbunyi “ kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan…”. Seorang pejabat negara yang telah menyandang status tersangka dan tidak mengundurkan diri dari jabatannya tidak dapat dianggap melanggar hukum atau melanggar peraturan perundang-undangan.

Jadi pernyataan Irman “keharusan seorang pemimpin menaati etika dan norma sudah diatur dalam TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001” sama sekali tidak beralasan hukum. Karena TAP MPR yang bersifat beschikking, tidak berupa imperatif (keharusan, kewajiban).

Kedua, Irman juga mengutip Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Apabila benar apa yang dikutip media itu persis sama yang dikemukakan oleh Irman, saya anggap Irman telah ceroboh mengutip peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. UU 32/2004 sudah tidak berlaku lagi. UU ini telah digasak dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Selanjutnya diubah lagi –lantaran ada Perppu No. 2/2014 – menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015. Dan diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.

Dalam UU 23/2014, memang benar ada sifat imperatif berupa kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah” (vide Pasal 67 huruf d). Namun melalaikan kewajiban tersebut tidak menjadi salah satu alasan untuk memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Satu-satunya alasan pemberhentian yang merujuk pada Pasal 67 (kewajiban) hanya pada huruf b “menaati seluruh ketentuan peraturan perundangundangan”. Seperti yang diterangkan oleh Irman di atas, bahwa Ahok dapat diberhentikan jika terbukti melanggar peraturan perundang-undangan, saya sepakat dengan pernyataan ini.

Ketiga, untuk memberi pembenaran atas argumen bahwa Ahok dapat diberhentikan karena alasan melanggar etika, Irman mencontohkan kasus yang dialami oleh Aceng Fikri. Contoh itu menurut saya tidak relevan jika membaca putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 P/Khs/2013 tanggal 22 Januari 2013.

Dalam pertimbangan MA disebut H. Aceng H. M. Fikri, S.Ag. selaku Bupati Garut terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena tidak mencatatkan perkawinannya dengan Fany Octora; karena perkawinananya dengan Fany Octora tidak ada persetujuan dari istri; karena Aceng Fikri menceraikan Fany Octora dilakukan tidak di depan sidang pengadilan yang berwenang. Selain UU 1/1974, Aceng juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Dalam pertimbangan MA jelas disebutkan bahwa Aceng Fikri terbukti tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan begitu, menurut UU 32 Tahun 2004, Aceng mengabaikan kewajibannya untuk mantaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan pertimbangan tersebut, MA berpendapat bahwa Aceng Fikri telah melanggar sumpah / janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) UU 32/2004, yaitu tidak memenuhi kewajiban sebagai kepala daerah untuk menjalankan UU 1/1974 beserta peraturan pelaksanaannya dengan selurus-lurusnya.

Putusan MA tersebut setelah mendengar permohonan DPRD Kabupaten Garut yang menghadirkan 122 bukti tertulis ke persidangan. Beberapa bukti itu diantaranya lampiran berita acara tentang pertemuan Pansus dengan Fany Octora beserta keluarga; Fotokopi kronologis peristiwa yang dibuat oleh Fany Octora; Fotokopi surat keterangan nikah; dan Lampiran berita acara tentang konsultasi pansus ke Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Selain daripada itu Aceng Fikri dalam jawabannya tidak membantah telah melakukan pelanggaran terhadap UU 1/1974 dan peraturan pelaksanaannya. Namun yang bersangkutan merasa tidak bersalah dengan dalih yang melakukan itu seorang Aceng Fikri (naturlijke persoon), jenis kelamin laki-laki, beragama Islam dan bukan sebagai Bupati Garut (rechtspersoon). Dalil Aceng lain yang tidak bisa diterima bahwa pernikahan tersebut tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat karena pernikahannya dilakukan menurut tata cara Agama Islam yang bersumber dari Wahyu IIlahi SWT.

Dari gambaran sekilas putusan MA di atas bahwa Aceng Fikri dinyatakan bersalah dan terbukti melanggar peraturan perundang-undangan. Bukan melanggar etika. Meskipun Putusan DPRD Kabupaten Garut berjudul “ Pendapat DPRD Kabupaten Garut Terhadap Dugaan Pelanggaran Etika Dan Peraturan Perundang-undangan…” namun dalam hal pembuktian, dalil pemohon yang dikemukakan maupun pertimbangan dan pendapat MA tidak memuat ketentuan norma hukum tentang etika yang dilanggar oleh Aceng Fikri.

Keempat, Merujuk Pasal 78 ayat (2) UU 23/2014, terdapat 9 (sembilan) alasan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan. Salah satunya dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah”. Isi dari sumpah/janji itu termuat dalam Pasal 61 ayat (2) dengan kutipan “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya”. Kembali ditegaskan dalam Larangan dalam Pasal 76 ayat (1) huruf g “ menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya”. Alasan lain yang relevan dalam Pasal 78 ayat (2) huruf d tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah ... berupa menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari rangkaian sistematis ini dan dikaitkan dengan point ketiga di atas, bahwa alasan pemberhentian karena alasan melanggar norma tidak beralasan hukum. Selain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terakhir yang ingin saya kemukakan bahwa andaipun hasil penyelidikan panitia angket disetujui oleh rapat paripurna DPRD DKI bukanlah tahap akhir suatu pemakzulan Ahok. Hali ini perlu saya tegaskan karena seolah-olah dengan hak angket –yang jika disetujui rapat paripurna – sudah dapat dimohonkan ke MA. Suatu pandangan keliru. Kewenangan MA dalam konteks pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah sebatas menguji pendapat DPRD bukan menguji angket DPRD. Pendapat DPRD dihasilkan dari hak menyatakan pendapat. Suatu tahap lanjutan dari hasil angket yang sudah disetujui. Tetapi, apapun hasil panitia angket atau hasil pansus (hak menyatakan pendapat), saya tidak memberi komentar. Karena proses yang sedang dan akan berlangsung di gedung dewan, murni manuver politik. Sebagai manuver politik tidak bisa ditebak hasilnya. Berbeda halnya dengan tindakan hukum yang diputus oleh MA. Ada ketentuan yang jelas dan pasti untuk dapat menakarnya.

Demikian pendapat saya. Salam Kompasiana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun