Akhir-akhir ini banyak pihak membuat pernyataan dan pemberitaan media dengan menyebut istilah kriminalisasi. Istilah yang dikonotasikan negatif. Dalam pengertian umum istilah kriminalisasi diartikan mencari-cari kesalahan. Sementara pihak lain yang dituduh melakukan kriminalisasi, menolak tudingan itu. Istilah ini telah berubah makna, intonasi, konotasi dan menjadi bahasa media dan publik. Menjadi semacam stigma (pelabelan) negatif. Dalam konteks neologisme, kata kriminalisasi menjadi kosa kata baru yang memiliki makna yang berbeda dari pengertian awalnya. Tulisan ini merupakan pendapat atau tafsir saya atas kata atau istilah kriminalisasi.
Definisi kriminalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan “proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat”. Digolongkan sebagai kata benda (nomina) dalam ilmu hukum. Definisi ini tidak seluruhnya tepat baik dalam penterjemahan maupun penggolongan linguistika.
Pada mulanya istilah kriminalisasi bersumber pada kriminologi. Dalam ilmu hukum, kriminilogi termasuk dalam cabang ilmu sosiologi hukum. Cabang ilmu yang mempelajari perilaku individu dan masyarakat yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan. Kriminalisasi menjadi salah satu objek studi para kriminolog. Jadi krimininalisasi bukanlah stigma atau pelabelan melainkan objek studi khususnya objek studi hukum pidana materiil. Kriminalisasi sebagai objek studi tidak pernah selesai ditandai dengan kata “proses”. Kata “proses” sesungguhnya memberi pengartian bahwa kriminalisasi adalah kata kerja (verba) bukan kata benda (nomina). Namun kemudian kata kerja ini bertindak sebagai kepala dari suatu frasa nomina.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, ujung dari “proses” berupa keputusan (decisions). Keputusan yang dihasilkan dari penilaian dan pertimbangan normatif terhadap prilaku individu atau masyarakat. Menilai dan menelaah suatu perbuatan yang sebelumnya tidak dikualifikasi sebagai perbuatan pidana dijustifikasi sebagai perbuatan pidana. Proses diakhiri dengan suatu keputusan oleh pemerintah atau pembentuk undang-undang dengan melahirkan ketentuan hukum baru baik berupa revisi maupun pembentukan undang-undang. Undang-undang yang menetapkan suatu perbuatan yang “semula” tidak dikualifikasi sebagai perbuatan pidana dikenakan sanksi pidana.
Kriminalisasi tidaklah selalu pembentukan norma baru berupa undang-undang namun juga bisa berupa penambahan atau peningkatan atau pemberatan sanksi pidana yang sudah ada sebelumnya.
Agar mudahnya, saya cantumkan beberapa contoh hasil studi hukum pidana yang menjadikan kriminalisasi sebagai obyek. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang lahir pada tahun 2008 adalah salah satu contohnya. Sebelum UU ini lahir atau sebelum tahun 2008 perbuatan seperti menerobos sistem pengamanan elektronik orang lain atau melakukan perjudian lewat SMS bukan dianggap sebagai perbuatan pidana. Itulah pengertian dari definisi krimininalisasi atas frasa “yang semula tidak dianggap”.
Contoh lainnya berupa lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebelum tahun 1999, perbuatan gratifikasi diancam pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dengan menggunakan Pasal 419 KUHP. Setelah UU Tipikor lahir, perbuatan gratifikasi diancam pidana penjara paling lama seumur hidup.
Kekeliruan definisi krimininaliasi dalam KBBI mengartikan serupa antara peristiwa pidana dengan perbuatan pidana. Padahal dua istilah teknis ini punya pengertian yang berbeda. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang diancam dengan pidana. Perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah belanda, yaitu; strafbaarfeit. Menurut Simon strafbaarfeit adalah kelakuan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab, berhubungan denga kesalahan yang bersifat melawan hukum dan diancam pidana. Sedangkan peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai pidana (hukuman). Dalam pengertian lain, peristiwa pidana diartikan dengan delik (delict). Dalam peristiwa pidana mengandung unsur perbuatan pidana atau yang disebut unsur subyektif peristiwa pidana. Suatu peristiwa pidana harus memuat unsur perbuatan yang melawan hukum (element van wederrechtelijk) dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid can het feit) serta unsur kesalahan pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut (element van schuld). Sementara krimininalisasi khusus menelaah perbuatan pidana atau unsur subyektif dari peristiwa pidana.
Dalam studi kriminologi, pembalikan dari krimininalisasi dikenal dengan istilah Dekriminalisasi. Dekriminalisasi yaitu penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai perbuatan pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perbuatan biasa. Dalam melakukan kajian kriminalisasi dan dekriminalisasi, para kriminolog menggunakan dua asas penting dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan asassubsidiaritas. Bila menyangkut kriminalisasi dikaitkan dengan asas legalitas atau dikenal dalam hukum pidana sebagai “nullum delictum sine praevia lege poenali” artinya tiada hukum tanpa undang-undang. Sedangkan menyangkut dekriminalisasi dikaitkan dengan asassubsidiaritasatau lebih dikenal dengan asas premium remidium. Terjemahan bebasnya hukum pidana digunakan sebagai langkah akhir.
Dekriminalisasi mengandung arti suatu proses penghapusan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana dan juga penghapusan sanksinya berupa pidana. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana saja yang dihapuskan, tetapi juga sifat melawan hukum atau melanggar hukumnya, lebih dari itu penghapusan sanksi negatif tidak diganti dengan reaksi sosial lain baik perdata maupun administrasi.
Sebagai contoh dekriminalisasi adalah perbuatan memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan dimuka umum. Sanksi pidana kurungan paling lama dua bulan (vide Pasal 534 KUHP). Namun pada masa lalu, pemerintah Indonesia sedang menggalakan program keluarga berencana (KB) dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh BKKBN, dengan kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memiliki daya paksa.
Namun demikian dekriminalisasi, penghapusan pidana, dan asas subsidiaritas tidaklah selalu sama dalam penerapannya. Masing-masing istilah itu dapat diterapkan berbeda. Misalnya penerapan asas subsidiaritas dalam perbuatan pencemaran lingkungan hidup. Dipilih menggunakan penyelesaian hukum administrasi, hukum perdata, mediasi, dan terakhir hukum pidana. Atau perbuatan berbohong yang dianggap perbuatan pidana dialihkan menggunakan delik wanprestasi (ingkar janji) dalam penyelesaian perdata. Tetapi kedua contoh ini bukanlah dekriminalisasi atau penghapusan pidana.
Sedangkan penghapusan pidana atau strafuitsluitingsgronden bersandar pada alasan pembenar (contoh Pasal 50 KUHP) dan alasan pemaaf (contoh Pasal 44 KUHP). Dalam penerapan hukumnya, vonis atau putusan hakim berupa putusan lepas atau onslag van recht vervolging. Dimana perbuatan yang dilakukan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.Putusan lepas atau onslag van recht vervolging berbeda pengertiannya dengan putusan bebas (vrijspraak).
Contoh lain penghapusan pidana, misalnya seseorang melakukan penginaan atau pencemaran nama baik. Penghapusan pidana bila dia melakukan perbuatan itu demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri (vide Pasal 310 ayat (3) KUHP). Ilustrasinya, bisa saja Ahok terbukti secara sah dan menyakinkan melontarkan penghinaan pada anggota DPRD berupa kata-kata “rampok”. Namun jika hinaan itu memenuhi unsur demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri maka hakim dapat menghapus pidana lewat putusan lepas bukan putusan bebas.
Seperti yang dinyataan di atas bahwa istilah kriminalisasi mengalami neologisme, melahirkan makna dan arti baru. Pengertian kriminalisasi bukan lagi merujuk pada pengertian asal dalam kajian kriminologi namun sudah menjadi kosa kata politik dan sosial. Kriminalisasi dalam mengertian politik/ sosial berarti tindakan aparat penegak hukum menetapkan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum atau sebagai pelaku kejahatan atas pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum membuat tafsir sepihak dan subyektif atas perbuatan seseorang dinyatakan sebagai kejahatan.
Saya kira perkembangan neologisme, bukan saja terjadi pada penggunaan istilah kriminalisasi tetapi juga pada istilah-istilah lain sebelumnya. Misalnya istilah “PKI” yang berubah bentuk dari kata benda (nomina) menjadi kata sifat (adjektiva). Berubah menjadi semacam stigma negatif yang ditujukan pada seseorang atau sekelompok orang.Istilah “PKI” sudah menjadi kosa kata sosial-politik yang jika ditelusuri dari kamus-kamus baku punya makna dan arti yang berbeda. Demikian juga dengan istilah “kriminalisasi”.
Bagaimana mensikapi dan merespon penggunaan istilah-istilah itu? Menurut saya, di-kontekstualitas-kan saja pada saat istilah itu dilontarkan (siapa, tempat dan waktu). Menjadi sia-sia jika memaknai kriminalisasi sebagai stigma sosial negatif dibantah dengan merujuk pada kamus baku dan ontologinya. Sama sia-sianya membalas lontaran stigma “PKI” dengan sanggahan “saya bukan anggota PKI”. Tidak ada relevansinya dengan konteks.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H