Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menkumham Salah Tafsir

18 Maret 2015   13:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inti dari polemik pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi yang tengah dibincangkan pekan ini terfokus pada Pasal 34A ayat (1) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Hanya kemudian polemik melebar pada hal-hal yang bukan menjadi inti permasalahan. Seperti isyu terpidana koruptor punya hak menerima remisi sama seperti narapidana lain. Baik pihak yang pro maupun kontra, pada dasarnya sepakat bahwa narapidana kasus korupsi berhak menerima remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat. Tetapi berbeda pandangan tentang penerapan Pasal 34A PP 99/2012. Perbedaan padang ini diawali dengan tafsir sepihak MenkumHAM (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) Yasonna Hamonangan Laoly. Dalam posisi ini, saya berpikir positif saja. Bahwa MenkumHAM Laoly hanya salah membuat tafsir. Sebab bila berpikiran negatif, bisa saja diartikan MenkumHAM Laoly sengaja mengutak atik pasal tersebut sebagai alasan pembenar untuk mencabut atau merevisi PP 99/2012.

Ulasan secara umum perihal PP 99/2012 telah saya tulis di artikel MenkumHAM Membela Koruptor. Tulisan kali ini khusus mengulas tentang justice collaborator sebagai salah satu syarat pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi. Syarat yang tertuang dalam Pasal 34A ayat (1) huruf a, dengan potongan kutipan “pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi harus memenuhi persyaratan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya”. Dan Pasal 34A ayat (3) yang berbunyi “Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” dalam Batasan pengertian instansi penegak hukum Penjelasan Pasal 34 ayat (3) adalah instansi yang menangani kasus terkait, antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.

BUKAN WHISTLEBLOWER

Kesalahan MenkumHAM Laoly mengartikan narapidana yang bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum sebagai whistleblower. Sebagaimana pernyataan Laoly yang dikutip di media massa. "Harus dibedakan remisi itu hak siapapun dia narapidana dan ini kan whistleblower (pengungkap dugaan pelanggaran)," ujar Yasonna. "Kalau tidak menjadi whistleblower ya tidak usah diberi remisi dan pembebasan bersyarat," tegasnya (sumber). Atau pernyataan di media massa lain “Misalkan saja terdakwa korupsi, Badu namanya. Bukan whistleblower, lalu hakim menghukum berat. Dia kan manusia juga. UU mengatur tentang hak terpidana itu,”terangnya (sumber). Media Kompas juga mengutip hal serupa "Kalau tidak wistleblower tidak dikasih remisi‎. Jangan membuat orang tidak punya harapan hidup," kata Yasonna (sumber).Nampak bahwa MenkumHAM Laoly tidak dapat membedakan istilah whistleblower dengan justice collaborator.

Secara sederhana istilah whistleblower dan justice collaborator merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011. Whistleblower diartikan pelapor tindak pidana sedangkan Justice Collaboratoradalah saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam SEMA 4/20122 disebutkan, whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini”. Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”

Kedua istilah ini kemudian diakomodir dalam Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.Pasal itu menyebutkan, whistleblower atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan. Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya.

Ringkasnya yang dimaksud dengan narapidana yang bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dalam Pasal 34A ayat (1) huruf (a) PP 99/2012 adalah justice collaboratorbukan whistleblowerseperti yang dinyatakan MenkumHAM Laoly.

PENETAPAN JUSTICE COLLABORATOR

MenkumHAM Laoly tidak sependapat dengan ketentuan Pasal 34A ayat (3) PP 99/2012. Dimana status sebagai justice collaborator ditetapkan oleh instansi penegak hukum yang menangani kasus terkait, KPK diantaranya.

Laoly menyatakan "Jangan menggantungkan pada lembaga lain. Ini sistem peradilan pidana. Polisi menyidik jaksa menuntut, KPK menyidik dan menuntut. Pengadilan memutuskan. Baru Kemenkum HAM membina mereka membuat program terintegrasi," jelasnya."Saya setuju kriteria pemberian remisi pada kejahatan luar biasa diperketat tapi jangan gantungkanmelawan sistem peradilan pidana menggantungkan remisi ke lembaga lain bahkan melompat. Pengadilan aja dilewati langsung ke mahkamah, nggak begitu. Tugas KPK selesai pada penuntutan," imbuh Yasonna (sumber).

Dari pernyataan itu, saya menangkap alur logis yang dikemukakan Laoly bahwa penetapan sebagai justice collaborator dilakukan setelah pelaku dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan menjadi terpidana. Setelah menjadi narapidana, pelaku dapat memperoleh remisi setelah ditetapkan oleh KPK (diantaranya). Ini yang dinyatakan dengan Laoly dengan pernyataan “menggantung” dan “melompat”. Ringkasnya penetapan sebagai justice collaborator dilakukan setelah menjadi narapidana. Ini yang keliru.

Bila saja MenkumHAM Laoly membaca SEMA No 4/2011, saya kira masalahnya menjadi jelas dan tidak melakukan tafsir serampangan. Angka 9 (a) dan (b) SEMA tersebut telah memberi pedoman untuk menentukan kriteria justice collaborator. Pertama, yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Kedua, jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif,mengungkap pelakupelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

Artinya penetapan status sebagai justice collaborator oleh aparat penegak hukum dinyatakan oleh jaksa KPK atau jaksa penuntut umum dalam tuntutannya di muka persidangan. Sederhananya, status sebagai justice collaborator ditetapkan oleh Jaksa saat pelaku masih dalam status terdakwa bukan setelah menjadi terpidana. Pedoman SEMA No 4/2011 secara tersirat menyatakan bahwa status justice collaborator tidak dapat diberikan kepada seseorang yang sudah menyandang status sebagai terpidana atau narapidana.

Bila dikaitkan dengan UU 13/ 2006, seseorang yang telah ditetapkan sebagai justice collaboratorakan memperoleh empat hak dan perlindungan. Pertama, perlindungan fisik dan psikis; Kedua, perlindungan hukum; Ketiga penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan.Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang bisa diperoleh justice collaborator tersebut. Yakni, dipisahnya tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan.

Lebih daripada itu ketentuan Pedoman SEMA No 4/2011 menyatakan atas bantuan yang telah diberikan oleh terdakwa yang ditetapkan sebagai justice collaborator, hakim dapat menentukan pidana yang akan dijatuhkan berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya. Atau dalam konteks Pasal 197 angka (1) huruf (f) KUHAP disebut keadaan yang meringankan terdakwa.

Bila menggunakan logika Laoly bahwa penetapan sebagai justice collaborator dilakukan setelah pelaku dinyatakan bersalah (terpidana) justru akan menimbulkan malapetaka. Salah satu bentuk malapetaka seperti yang dikemukakan sendiri oleh Laoly. KPK sebagai pihak yang berwenang menetapkan status seseorang sebagai justice collaborator akan merusak tatanan sistem peradilan pidana.

Paling tidak ada dua malapetaka lainnya: pertama, penetapan status sebagai justice collaborator akan berpotensi menjadi transaksi dan alat negosiasi yang dilakukan oleh terpidana (dan kuasa hukumnya) dengan aparat penegak hukum (diantaranya KPK) untuk mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat. Untuk tujuan mendapatkan remisi, terpidana akan terpaksa dan dipaksa menjadi justice collaborator.

Kedua, batasan justice collaboratorhanya ditujukan pada seseorang yang bukan pelaku utama dalam kejahatan yang dimaksud. Sementara bukti-bukti di pengadilan sebelumnya menunjukan bahwa dia adalah pelaku utama. Bagaimana dia dan kuasa hukumnya dapat membuktikan (di luar pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap) bahwa dia bukan pelaku utama.

Ketiga, berkait dengan point kedua di atas, jika kemudian terpidana tersebut menyangkal semua keterangan yang diberikan pada saat di muka pengadilan. Misalnya, mengakui bahwa dia adalah pelaku utama, padahal senyatanya tidak, ada konsekwensi hukum lanjutannya. Dia bisa dikenakan delik memberi keterangan palsu di muka pengadilan.

Untuk memahami justice collaborator dapat disimak pada kasus tindak pidana korupsi yang pernah terjadi sebelumnya. Antara lain terdakwa Agus CondroPrayitno, mantan anggota DPR dari Fraksi PDIPyang divonis 1 tahun 3 bulan lebih ringan dari terdakwa lainnya yang turut serta dalam kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.Agus juga bisa keluar penjara lebih awal karena menjadi seorang justice collaborator, ia berhak memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani 2/3 masa hukumannya.Selain itu, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator. Rosa sendiri telah divonis bersalah karena menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Selanjutnya, Rosa mendapatremisi dan pembebasan bersyarat.

Kesimpulannya: seorang narapidana kasus korupsi berhak menerima remisi. Salah satu syaratnya narapidana tersebut telah ditetapkan sebagai justice collaborator. Penetapan justice collaboratordisematkan kepada terdakwa oleh jaksa dalam tuntutannya di muka persidangan.

Dugaan saya, wacana yang berkaitan pemberian remisi kepada narapidana koruptor saat ini, terganjal dengan syarat justice collaborator. Inilah syarat yang paling berat diantara syarat-syarat lain seperti: berkelakukan baik, telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti. Karena hampir sebagian besar narapidana kasus korupsi tidak memperoleh predikat sebagai justice collaboratorlewat sidang persidangan sebelumnya. Syarat inilah yang nampaknya ingin dihapus oleh MenkumHAM Laoly. Atau merevisi ketentuan syarat ini, agar syarat justice collaborator cukup ditetapkan oleh MenkumHAM saja dan tidak melibatkan aparat penegak hukum lainnya. Bila hal ini terjadi, justru MenkumHAM yang merusak sendiri sistem peradilan pidana seperti yang dinyatakan sendiri oleh Laoly.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun