Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Eksekusi Razman Sah Secara Hukum

19 Maret 2015   16:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini tentang Razman Nasution yang dieksekusi jaksa kemarin (19/3/2015). Pihak Razman tidak terima atas eksekusi itu. Eggi Sudjana selaku kuasa hukum Razman melaporkan tindakan jaksa yang mengeksekusi itu ke Bareskrim Polri. Menurut Eggi, dalam putusan di tingkat kasasi terkait kasus penganiayaan yang dilakukan Razman pada 2010 lalu, tidak ada perintah dari hakim untuk memasukkan Razman ke penjara. Hal tersebut, kata Eggi tidak memenuhi unsur sebagai landasan bagi jaksa untuk melakukan eksekusi.Masih menurut Eggi, MK pada 2012 telah menyatakan bahwa Pasal 197 KUHAP yang mengatur mengenai aturan putusan pemidanaan, harus mencakup seluruh unsur termasuk perintah untuk memasukkan ke penjara. "Dan perintah itu tidak ada," kata Eggi (sumber). Razman sendiri berkilah bahwa dalam amar putusan MA tidak tertulis perintah tentang pidana penjara 3 (tiga) bulan (sumber). Sebelumnya dieksekusi Razman pernah mengatakan "Saya tidak akan bersedia ditahan karena saya sudah membuat pernyataan tertulis bahwa, sesuai Pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, saya tidak bisa dieksekusi dan itu sesuai keputusan MK pada 22 November 2012," ujar Razman, Jumat (13/3) pekan lalu. (sumber).

Agar lebih jelas, saya urai secara singkat kasus posisi yang menimpa sang pengacara kondang itu. Razman adalah adalah terpidana kasus penganiayaan terhadap keponakannya, Nurkholis Siregar, pada 2004. Pengadilan Negeri Padang Sidempuan pada 23 Maret 2006memutuskan Razman terbukti bersalah melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, tetapi dia hanya dikenai hukuman percobaan.Selanjutnya Jaksa mengajukan banding. Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Sumatera Utara pada 11 Oktober 2009 menjatuhkan pidana pada terdakwa Razman selama 3 (tiga) bulan penjara dan denda Rp500 ribu (sumber).Atas putusan di tingkat banding itu, Razman mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 7 April 2009. Putusan kasasi MA nomor 1260 K/Pid/2009 menolak kasasi Razman. Putusan kasasi yang diketuai hakim agung Muhammad Taufik dan hakim anggota Dirwoto serta Abdul Ghani Abdullah pada 19 Januari 2010 (sumber). Putusan kasasi inilah yang menjadi landasan Razman tidak bersedia dieksekusi.

Saya akan kupas argumen Razman Nasutiondan Eggy Sudjana berdasarkan pernyataan mereka di paragraf pertama tulisan ini.

PENAHANAN DAN EKSEKUSI PUTUSAN

Baik Razman maupun Eggi menggunakan dalil Pasal 197 KUHAP dan Putusan MK tanggal 22 November 2012. Berkait dengan penyebutan dua dasar hukum ini, lebih jelasnya tentang syarat sahnya surat putusan pemidanaan Pasal 197 ayat (1) huruf k yang berbunyi “Surat putusan pemidanaan memuat :perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Dan ditegaskan dalam Pasal 197 ayat (2) yang menyatakan jika tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, kdan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Inilah yang dimaksud oleh Razman maupun Eggi bahwa putusan kasasi, harus mencakup seluruh unsur termasuk perintah untuk memasukkan ke penjara. "Dan perintah itu tidak ada," kata Eggi. Karena surat putusan kasasi tidak memuat “perintah supaya terdakwa ditahan” , mereka menyatakan jaksa tidak berhak mengeksekusi Razman.

Saya kira baik Razman maupun Eggi, harus belajar hukum acara pidana lagi. Antara penahanan dan eksekusi putusan (yang dilakukan oleh Jaksa) dua hal yang berbeda. Pasal 197 KUHAP bicara tentang perintah penahanan bukan eksekusi putusan. Dan Pasal 197 KUHAP hanya mengatur mengenai surat putusannya semata bukan putusan itu sendiri.

Keterkaitan antara putusan pemidanaan dan penahanan tertuang dalam Pasal 193 dan Pasal 21 KUHAP. Pasal 21 ayat (4) KUHAP memberi batasan-batasan bagi tersangka/ terdakwa yang dapat ditahan atau tidak. Maksudnya tidak semua tindak pidana yang dikenakan pada tersangka/terdakwa dapat ditahan. Sebagaimana Penjelasan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP. Dari ketentuan tersebut bahwa perintah penahanan dalam amar putusan pada dasarnya tidak bersifat absolut. Misalnya, jika tindak pidana yang terbukti menurut pengadilan adalah tindak pidana yang ancamannya dibawah 5 tahun atau tindak pidana-tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b maka pengadilan dalam putusannya tidak berwenang memerintahkan agar terdakwa segera ditahan. Contohnya tindak pidana pencurian ringan (pasal 364 KUHP) terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan. Jika pengadilan memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan justru pengadilan melanggar hukum. Apalagi jika hukuman yang dijatuhkan hanya denda.

Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012, membuat putusan konstiutusional bersyarat atas Pasal 197 ayat (2) KUHAP dengan membatalkan syarat Pasal 197 ayat (1) huruf k “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, tidak berkekuatan hukum tetap. Maksudnya meskipun surat putusan pemidanaan tidak mumuat perintah penahanan pada terdakwa, surat putusan itu tetap dinyatakan sah. Tetapi sebaliknya yang dinyatakan oleh Razman dan Eggi bahwa dalam amar putusan kasasi yang tidak memuat perintah penahanan dianggap batal demi hukum. Pernyataan terbalik-balik dari bunyi putusan MK yang mereka sebut sendiri. Harusnya – kalau cerdas – Razman dan Eggi tetap berpegang pada KUHAP bukan pada putusan MK yang dibacakan pada tahun 2012. Putusan yang tidak berlaku surut atas putusan kasasi MA pada tahun 2010.

Dari pernyataan Razman dan Eggi nampak mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan penahanan dengan putusan pemidanaan. Secara umum putusan (akhir) dalam peradilan pidana berupa putusan yang menjatuhkan hukuman (putusan menghukum)dan putusan lepas (onslag van alle recthsvervolging) dan putusan bebas. Atas ketiga jenis putusan tersebut (menghukum, lepas dan bebas) tersebut mengenai bagaimana surat putusannya diatur –hal-hal apa saja yang harus ada dalam surat putusan-, KUHAP membaginya dalam dua kelompok, yaitu surat putusan yang menjatuhkan pemidanaan (hukuman) dengan yang tidak menjatuhkan hukuman. Yang termasuk surat putusan yang tidak menjatuhkan hukuman yaitu putusan bebas dan lepas. Pengaturan mengenai surat putusan yang menjatuhkan hukuman diatur dalam Pasal 197 KUHAP sementara putusan yang tidak menjatuhkan hukuman diatur dalam Pasal 199 KUHAP.

Pernyataannya, apakah jika dalam putusannya pengadilan tidak memerintahkan agar terdakwa segera ditahan maka artinya pengadilan tidak memerintahkan agar terdakwa dieksekusi? Penahanan dan eksekusi (penjalanan hukuman) adalah dua hal yang berbeda.

Penahanan pada dasarnya adalah pembatasan kemerdekaan seseorang untuk sementara waktu yang dapat dilakukan penyidik, penuntut umum atau hakim selama proses pemeriksaan berlangsung. Penahanan ini bukan lah tujuan dari proses peradilan pidana itu sendiri, ia hanyalah instrumen untuk mencegah tersangka (atau terdakwa –jika orang tersebut sudah dalam proses persidangan termasuk selama upaya hukum berlangsung) melarikan diri, mengulangi perbuatannya atau menghilangkan/merusak barang-barang bukti. Penahanan sendiri dapat dilakukan dalam tiga jenis, penahanan dalam rumah tahanan negara (rutan), penahanan rumah, atau penahanan kota.

Sementara itu hukuman adalah penderaan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diatur oleh undang-undang sebagai konsekuensi atas perbuatan yang menurut proses peradilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa. Hukuman ini (dalam konteks pidana) terdiri dari dua jenis, yaitu pidana pokok, dan pidana tambahan.

Kapan penahanan dapat dijalankan? Segera setelah perintah penahanan tersebut ditetapkan. Sementara itu, kapan hukuman dapat dijalankan? Jika putusan yang menjatuhkan hukuman tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

Dari sini jelas bahwa perintah penahanan sebagaimana pasal 197 (1) huruf k bukanlah perintah eksekusi. Terlebih untuk eksekusi hukuman sendiri sudah diatur secara khusus dalam KUHAP yaitu dalam pasal 270-276.

Ringkasnya, jaksa menangkap Razman bukan dalam pengertian ditahan tapi jaksa melakukan eksekusi atas putusan penghukuman (penjara 3 bulan) yang telah dijatuhkan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

MEMPERSOALKAN PUTUSAN KASASI

Baik Razman maupun Eggy berdalih, Razman tidak bisa dieksekusi karena amar putusan kasasi tidak memuat perintah penahanan. Untuk hal ini sudah saya jelaskan di atas, beda antara penahanan dan penghukuman. Pertanyaan lainnya, bagaimana jika putusan kasasi juga tidak mencantumkan hukuman?

Pada konteks Razman, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Razman. Pada dasarnya semua putusan menolak kasasi tidak pernah dan tidak akan mencantumkan amar putusan lagi, kecuali menurut MA terdapat amar yang perlu diperbaiki. Semua upaya hukum (banding, kasasi, kasasi demi kepentingan hukum, dan peninjauan kembali) pada dasarnya upaya untuk menguji putusan sebelumnya. Dalam upaya hukum tersebut pemohonon akan mendalilkan bahwa putusan yang diuji (putusan PN jika permohonannya ditahap banding, atau putusan Banding jika permohonannya ditahap Kasasi dst) mengandung kesalahan sehingga harus dibatalkan. Atas permohonan tersebut pengadilan yang memeriksa permohonan upaya hukum tersebut (Pengadilan Tinggi jika banding, Mahkamah Agung jika Kasasi, Kasasi Demi Kepentingan Hukum atau Peninjauan Kembali) bisa mengabulkan permohonan –yang artinya putusan yang diuji tersebut dibatalkan- bisa juga menolak permohonan –yang artinya putusan yang diuji tidak salah atau sudah tepat.

Dalam kasus Razman Nasution sudah sepatutnya amar putusan kasasi yang menyatakan menolak permohonan kasasi pemohon tanpa menjatuhkan hukumannya lagi. Putusan pada tingkat kasasi sudah bersifat final. Sehingga bisa dieksekusi. Putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung yang sudah inkracht harus dibaca sebagai putusan judek jurist yang menterjemahkan para terdakwa harus menjalani pemidanaan. Bukan tahanan. Dengan ditolaknya kasasi maka demi hukum putusan yang berlaku adalah putusan semula yang dilawan dengan kasasi. Dalam kasus Razman, putusan semula yang dimaksud adalah putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang menjatuhkan hukuman pada Razman selama 3 (tiga) bulan penjara dan denda Rp500 ribu.

Apa yang terjadi pada kasus Razman Nasution ini bukanlah cerita baru. Pada April 2013 lalu, kisah yang sama terjadi saat mantan Kabareskrim Susno Duadji dijemput paksa oleh pihak kejaksaan. Saat itu Yusril Ihza Mahaendra juga mempersoalkan hal yang sama bahwa putusan kasasi MA tidak memuat perintah penahanan pada Susno. Sehingga jaksa tidak berhak melakukan eksekusi.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun