Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bantahan atas tulisan Edi Abdullah: Niat Korupsi Dapat Dipidana

6 Maret 2015   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya saya berterima kasih kepada rekan Edi Abdullahyang telah membuat opini bantahan atas artikel saya. Artikel saya berjudul Niat Korupsi Dapat Dipidana dibantah dengan tulisan berjudul Niat Korupsi Dalam RAPBD Tidak dapat di Pidana dengan UU Tindak Pidana Korupsi Maupun KUHP. Dengan kesimpulan bahwa niat untuk melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dipidana. Tulisan ini akan kembali membantah artikel yang dibuat oleh rekan Edi Abdullah.

Saya memulainya dari judul artikel yang mewakili keseluruhan pokok pikiran dalam suatu tulisan. Rekan Edi Abdullahmembuat judul artikel “Niat Korupsi Dalam RAPBD Tidak dapat di Pidana dengan UU Tindak Pidana Korupsi Maupun KUHP”. Dari keseluruhan artikel yang ditulis, rekan Edi Abdullah hanya mengutip Pasal 53 KUHP dan tidak menyinggung sama sekali tentang ketentuan hukum dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal tulisan saya menguraikan makud dari Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 15 UU Tipikor. Artinya kesimpulan yang ditarik oleh rekan Edi Abdullah tidak beralasan karena tidak memberi bantahan atas Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 15 UU Tipikor. Tanpa menggunakan UU Tipikor sebagai lex specialist, argumen yang disampaikan yang mengulas tindak pidana korupsi, maka argumen tersebut gugur dengan sendirinya.Argumen rekan Edi Abdullah yang hanya berlandaskan pada KUHP dan meniadakan UU Tipikor, argumen tersebut gugur berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali.

Selanjutnya, ada penarikan kesimpulan yang keliru. Rekan Edi Abdullah menggunakan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, sebagai premis mayor. Tanpa adanya premis minor, rekan Edi Abdullah langsung menarikan kesimpulan berdasarkan pasal 1 KUHP tersebut maka niat untuk melakukan korupsi tidak bisa dipidana”. Andaipun pernyataan berupa kesimpulan tersebut berupa terjemahan bebas, maka terjemahan itupun keliru. Pasal 1 ayat (1) KUHP bicara tentang asas legalitas dan asas non retroaktif, tidak menyinggung sama sekali tentang niat (voornemen) atau percobaan (poging).

Pada pargaraf yang sama rekan Edi Abdullah menyatakan “tidak ada dalam satu pasal pun yg menyatakan niat dapat dipidana apalagi tindak pidana korupsi”. Pernyataan rekan Edi dibantah sendiri lewat tulisannya dengan mengutip Pasal 53 ayat (1) KUHP. Pasal ini menyatakan bahwa niat merupakan salah satu unsur dari tindak pidana percobaan (poging). Dengan kutipan sebagian “ jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan”. Secara terang benderang kata “niat” tertulis jelas dalam pasal tersebut. Apakah niat itu harus dibuktikan dengan perbuatan permulaan itu soal lain. Yang pasti pernyataan “tidak ada satu pasalpun” terbantahkan lewat tulisan rekan Edi Abdullah sendiri. Lebih daripada itu pernyataan “apalagi tindak pidana korupsi” tidak ada argumen pendukungnya karena tidak menyinggung sama sekali UU Tipikor. Seharusnya rekan Edi Abdullah membatah kutipan di tulisan saya pada pasal 3 dan Pasal 15 UU Tipikor. Bahwa pasal-pasal tersebut tidak bicara tentang “niat”. Seharusnya demikian. Karena saya dapat menunjukan pasal-pasal yang dimaksud dan lantas dibantah “tidak ada satu pasalpun”.

Dari keseluruhan pokok pikiran, nampaknya rekan Edi Abdullah mencampuradukan antara pengertan perbuatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan permulaan. Saya kutipkan “ semua perbuatan harus dalam bentuk perwujudan matril artinya perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan matrill seperti wujud nyata perbuatan merugikan keuangan negara atau memperkaya diri sendiri, Dll “.Per derfinisi rekan Edi Abdullah mencampuradukan antara pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dengan pengertian perbuatan secara umum yang dalam bahasa hukum dikenal dengan istilah zaakwarneming danonverschultigde betaling.Lebih jauh lagi rekan Edi Abdullah menyamakan pengertian perbuatan melawan hukum (contohnya seperti ditulis merugikan keuangan negara) yang berarti onrechtmatige daad dengan pengertianperbuatan permulaan (begin van uitvoering).

Berkait dengan niat, yang menjadi pokok bahasan adalah begin van uitvoering bukan onrechtmatige daad. Karena pada dasarnya niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan sesuatu.Niat dapat terlihat dari tindakan yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat. Maka dalam percobaan, niat dihubungkan  dengan permulaan perbuatan (begin van uitvoering).

Inipun tidak tunggal. Beberapa begin van uitvoering yang seolah-olah mirip dengan percobaan adalah ondeugdelijke poging (percobaan tidak mampu ), mangel am tatbestand (kekurangan isi delik ), putatief delict (delik putatif), delik manque (percobaan selesai), geseharste poging (percobaan tertunda ) dan gequalificeerde poging(percobaan yang dikualifisir).

Sekarang kita masuk pada peristiwa konkrit. Meskipun sebenarnya tulisan saya tidak mengulas peristiwa konkrit tetapi norma. Karena rekan Edi Abdullah membantah dengan menggunakan peristiwa konkrit, saya ikuti saja.

Kembali rekan Edi Abdullah salah sasaran/ salah fokus. Tulisan saya menyatakan “niat melakukan korupsi dapat dipidana”. Lalu dibantah dengan dengan pernyataan “DPRD DKI dan AHOK tidak dapat dipidana”. Tulisan saya tidak menyebut subyek hukum (AHOK atau DPRD). Dalam konteks APBD 2015, niat itu bisa datang dari siapa saja. Jadi darimana kesimpulan ditarik dengan menyebut subyek hukum (AHOK dan DPRD).

Selanjutnya,saya menulis “dugaan adanya dana siluman pada RAPBD 2015”. Lalu dibantah oleh rekan Edi Abdullah dengan melakukan generalisasi dengan menyebut beberapa kali RAPBD tanpa menyinggung sama sekali tentang dugaan adanya dana siluman dalam RAPBD 2015. Fokus saya pada “dana siluman” secara khusus bukan pada RAPBD 2015 secara umum.

Selanjutnya, tulisan saya menanggapi pernyataan M. Taufik yang mengatakan Kasus ini enggak mungkin sama, soalnya anggaran belum digunakan, baru disahkan. Jadi, belum kejadian (digunakan),” kata Taufik (Kompas.com). Huruf tebal pada kutipan itu menandaskan fokus tulisan saya yakni “ belum digunakan” dan “belum kejadian”. Sementara rekan Edi Abdullah mensasar pada beda fokus dengan menyatakan “RAPBD itu hanya berupa rancangan dan belum disahkan”. Harusnya rekan Edi Abdullah ikut dalam fokus “belum digunakan” atau “belum kejadian”, bukan mensasar pada “belum disahkan” (menurut Edi Abdullah) atau “baru disahkan” (menurut M.Taufik).

Sekarang pada pernyataan normatif yang disampaikan oleh rekan Edi Abdullah. Saya kutipkan “ bahwa niat tanpa adanya wujud perbuatan permulaan tidak bisa dipidana, RAPBD itu hanya berupa rancangan dan belum disahkan “. Benar pernyataan pertama “bahwa niat tanpa adanya wujud perbuatan permulaan tidak bisa dipidana” dan ini tidak terbantahkan. Sebagaimana yang tertulis di artikel saya sebelumnya.

Namun, apakah merancang RAPBD dan mensahkan RAPDB bukan suatu perbuatan? Baik perbuatan yang dilakukan oleh “setiap orang” atau “badan hukum”. Menurut saya RAPBD berupa benda (barang bukti) merupakan hasil dari perbuatan. Rekan Edi Abdullah menyatakan bahwa “RAPBD berupa hitam diatas putih”. Seolah-olah yang menjadi fokus adalah obyek (RAPBD) padahal tulisan saya bicara pada perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum. Dimanapun di dunia ini, obyek berupa benda tertulis tidak bisa dihukum. Yang dihukum adalah subyek yang melakukan perbuatan melawan hukum. Pokok bahasan pada subyek bukan pada obyek.

Pertanyaan lanjutannya, adalah apakah perbuatan memasukan “dana siluman” dalam RAPBD 2015 yang bertujuan menguntungkan diri sendiri dan merugikan keuangan negara bukan dianggap sebagai permulaan perbuatan (begin van uitvoering)? Itu jika menggunakan norma dalam Pasal 53 KUHP. Lebih tragis lagi jika menggunakan Pasal 3 UU Tipikor. Unsur-unsur yang harus terpenuhi tidak menyebutkan adanya permulaan perbuatan (begin van uitvoering) sebagaimana Pasal 53 KUHP. Unsurnya sebatas “dengan tujuan”, dan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” dan seterusnya. Tidak disebut adanya unsur permulaan perbuatan.

Apa yang dikemukan oleh rekan Edi Abdullah, sebenarnya sudah saya bahas dalam tulisan saya. Dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut sudah selesai, sudah terjadi atau sudah dilakukan. Sebagaimana kutipannya “…Dengan tidak adanya wujud perbuatan untuk menggunakan anggaran…” dan kutipan “…bahkan tindakan anggota DPRD DKI maupun AHok untuk menggunakan anggaran itu sama sekali tidak ada…”.Huruf tebal pada pernyataan rekan Edi Abdullah saya artikan bahwa perbuatan tersebut sudah selesai, sudah terjadi atau sudah dilakukan. Ketentuan perbuatan sudah selesai sebagaimana saya tulis dalam artikel sebelumnya telah saya ulas menggunakan Pasal 2 UU Tipikor. Tentu ketentuan ini tidak bicara tentang niat tetapi mensyaratkan bahwa perbuatan tersebut telah selesai. Namun, sekali lagi rekan Edi Abdullah salah sasaran, saya menggunakan Pasal 3 dan Pasal 15 UU Tipikor untuk dijadikan argumen dasar bahwa niat korupsi dapat dipidana. Bukan menggunakan Pasal 2 UU Tipikor.

Seharusnya rekan Edi Abdullah mengkritisi apakah perbuatan memasukan “dana siluman” dalam RAPBD 2015 dianggap sebagai permulaan perbuatan (begin van uitvoering)? Karena tidak semua perbuatan dapat dikualifikasi sebagai permulaan perbuatan. Misalnya delik putatif. Delik putatif bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu tindak pidana, padahal sebenarnya bukan. Atau apakah perbuatan yang dimaksud masuk dalam katagori kekurangan isi delik atau mangel am tatbestand. Perbuatan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana. Atau apakah perbuatan yang dimaksud masuk dalam katagori percobaan yang dikualifisir atau gequalificeerde poging adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Dengan menganalisis lebih tajam atas perbuatan memasukan “dana siluman” dalam RAPBD 2015 baru dapat ditemukan apakah perbuatan tersebut dianggap sebagai permulaan perbuatan (begin van uitvoering).

Sebagai ilustrasi, saya menjawab komentar rekan Elde dalam tulisan saya. Rekan Elde bertanya tentang “ Laki-laki beristri berduaan dengan wanita yg bukan istrinya di kamar saja walau belum melakukan pergumulan juga bisa dipidanakan ya bro..karena ada niat selingkuhnya…” Saya menjawabnya: Tidak. Karena permulaan perbuatan atas perzinahan (Pasal 284 KUHP) belum terpenuhi. Atau masuk dalam katagorimangel am tatbestand. Ilustrasi ini hanya untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan belum tentu dianggap sebagai permulaan perbuatan (begin van uitvoering).

Semoga bantahan saya ini, dapat memperkaya khasanah bagi rekan-rekan pembaca dan kompasioner. Dan saya sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada rekan Edi Abdullah.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun