Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jika Ada Akhirnya ke MK

22 Juli 2014   06:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:37 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum mengambil langkah menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK), ada baiknya memperhatikan hal-hal berikut:

1.Ada anggapan di kepala para hakim MK baik pihak pemohon maupun pihak terkait, sama-sama curang. Dalam sengketa PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum). Hal ini pernah diungkapkan oleh Mahfud MD (mantan Ketua MK). Jadi kosa kata “curang” dalam sidang MK, sudah menjadi atmosfer umum. Tinggal memilah katagori “curang” atau pelanggaran yang menjadi domain MK.

2.Money politic itu perbuatan curang, tapi sengketa ini bukan domain MK. Jadi menuduh pihak termohon atau pihak terkait melakukan money politic, dalam salah satu gugatan (petitum)yang disengketakan, menurut saya percuma. Kecuali tindakan money politic mempengaruhi selisih hasil suara, sehingga pihak pemohon bisa membuktikan perolehan suaranya lebih unggul.

3.Hal kedua diatas, juga agak sulit dibuktikan. Karena menurut hakim MK, setiap pemilih punya pilihan sendiri yang tidak bisa diklaim sepihak (azas bebas, rahasia). Anggaplah dia (pemilih) yang menerima money politic, tidak diberi uang, apakah bisa diklaim akan memilih pihak pemohon?.

4.Masalah penduduk, pemilih, daftar pemilih tambahan dan daftar pemilih tambahan khusus, seperti sudah ada “template” jawaban dari hakim MK. Bahwa masalah ini tidak bisa semata kesalahan KPU sebagai penyelenggara tapi juga ada peran pemerintah penyedia data awal kependudukan. Mempermaslahkan hal ini, akan mentah di sidang MK.

5.Dalam pertimbangan subyektif, para hakim MK lebih condong untuk membela kepentingan KPU, sebagai pihak termohon. Karena merasa sama-sama sebagai lembaga negara. Kredebilitas negara dipertaruhkan, jika benar-benar KPU melenceng jauh dari aturan hukum dan kode etik..

6.Diantaranya jika terbukti tindakan penyelenggara negara dilakukan secara terstruktur. Kata “terstruktur” memang dialamatkan kepada penyelenggara negara. Bisa KPU, Bawaslu dan Pemerintah Daerah, yang memiliki struktur berjenjang. Misalnya dalam Bintek, KPU “menghimbau” kepada seluruh PPS dan PPK untuk memenangkan calon tertentu, Atau Bupati memerintahkan semua kepala dinas, camat, kades untuk memenangkan calon tertentu. Pembuktian unsur terstruktur ini tidak mudah.

7.Yang merepotkan mengkuantifisir unsur masif. Ada yang mencoba dengan bilangan 40%dari wilayah yang digugat. Bila yang dimohonkan (posita) adanya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di DKI Jakarta saja, harus dibuktikan paling tidak 5,000 TPS terjadi pelanggaran. Data 5,000 TPS dari (12.408) bila terbukti, cukup menjadi dasar bagi MK, membuat putusan PSU di DKI Jakarta. Tapi masalahnya, bagaimana cara membuktikan adanya pelanggaran di 5000 TPS sehingga masuk dalam unsur massif.

8.Untuk membutikan hal tersebut, ada kendala teknis. Menghadirkan 500 orang saksi (10% dari 5000 TPS) ke sidang MK tidaklah mungkin. Dengan keterbatasan waktu, ruang, hakim MK paling banyak hanya bisa mentolerir hingga 100 orang saksi. Apalagi untuk membuktikan adanya pelanggaran massif di seluruh TPS Indonesia.

9.Bagi KPU, membatahnya tidak perlu mendatangkan saksi, cukup memperlihatkan formulir C2 dari 5000 TPS di DKI Jakarta. Bia tertulis “Nihil”, sudah cukup membuktikan tidak ada sanggahan, protes dari saksi yang hadir di TPS bersangkutan. Angaplah ada pelanggaran, pemilih yang tidak membawa A5, cukup dengan KTP diberikan hak memilih oleh KPPS. Jika tidak ada protes yang tertuang dalam C2, dan tidak ada catatan pelanggaran dari PPL. Gugatan ini terbantahkan.

10.Menurut Mahfud MD, jika selisih di atas 2% tidak perlu gugat ke MK. Memang ada benarnya angka 2% untuk Pilpres yang jangkauannnya seluruh Indonesia, sangat sulit untuk proses pembuktiannya. Apalagi misalnya selisih kedua capres mencapai 8 juta suara lebih.

11.Ada pertanyaan dari hakim MK, “apakah pelanggaran ini sudah pernah ditempuh mekanisme hukum sebelumnya, lewat Panwas?”. Jika tidak, sudah pasti pertimbangan hakim MK, akan mengabaikan permohonan. Karena meskipun MK menjunjung keadilan substansial, namun langkah keadilan prosedural sudah ditempuh sebelumnya. Kebanyakan pihak yang kalah, akan melakukan langkah hukum (lapor ke Panwas) setelah pemungutan suara usai.

12.  Terakhir, jika tim tidak dapat menyiapkan bukti secara lengkap, dan jelas maka pemohon akan bertemu dengan kosa kata umum di sidang MK yakni: obscuur libel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun