Sekali lagi ini dugaaan atau asumsi tanpa ada bukti yang bisa menunjukannya. Jika hal tersebut dapat memunculkan pelanggaran. Pelanggaran apa yang dimaksud ?.Mencoblos dua kali atau mencoblos menggunakan hak orang lain, itu bentuk pelanggaran. Tapi saksi Pemohon, tidak dapat menunjukan bukti, adanya orang yang masuk DPKTb mencoblos dua kali. Atau membuktikan bahwa pemilih DPKTb hanya bermodalkan KTP tanpa A5. Saat hakim bertanya berapa orang dan di TPS mana, ada pemilih yang menggunakan KTP saja tanpa menyertakan A5 (surat keterangan pindah domisili).Saksi tidak dapat menjawab.Dengan berdalih, itu tugas KPU untuk membuktikannya? Lho ?
KPU KEBERATAN MEMBERIKAN DOKUMEN PEMILIH YANG RINCI
Tentu saja KPU menolak memberikannya. Bukti yang diminta berupa C7 (daftar Hadir Pemilih di TPS) dan formulir AT Khusus berada di kotak surat yang terkunci segel. Mengambil dokumen tersebut tanpa ada perintah dari Bawaslu. KPU Nasional, dan MK, KPU Kabupaten/ Provinsi tidak dapat membuka kotak suara itu.
Opini saya: sebenarnya keberatan pihak Pemohon, saat KPU membuka kotak suara untuk beban pembuktian di MK, bukan masalah melanggar hukum atau tidak. Nampaknya pihak pemohon agak gusar, kalau KPU dapat menyodorkan bukti-bukti sah berkaitan dengan DPKTb yang ditudukan. Hanya berkas dokumen A5, formulir AT Khusus dan C7 Yang dapat menunjukan apakah DPKTb (termasuk DPT, DPK dan DPTb) bermasalah atau tidak. Diantaranya apakah ada di TPS tertentu ada pemilih yang hanya menggunakan KTP saja tanpa disertai A5.
DPKTB PALING MENCOLOK DI JAWA TIMUR DAN DKI JAKARTA
Apa yang dimaksud dengan mencolok ? Apakah jumlahnya yang dianggap begitu besar? Jika obyektif, jumlah DPKTb terbesar terjadi di provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat. Tapi mengapa jumlah DPKTb di Jawa Barat dan Sumatera Barat tidak jadi dalil utama. Justru provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta yang diajukan. Sedangkan jumlah DPKTb di Jawa Timur dan DKI Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa Barat atau Sumatera Barat. Apakah karena pihak pemohon, menang di provinsi tersebut, meski ada lonjakan DPKTb yang besar dianggap bukan masalah?
DENGAN DPKTB, KPU TELAH BERBUAT CURANG
Pengertian curang, jika salah satu pihak merasa diuntungkan dan pihak lain dirugikan. Lalu apa korelasinya antara adanya lonjakan DPKTb dengan hasil perolehan suara masing-masing pihak? Apakah dengan lonjakan DPKTb tersebut, pihak pemohon perolehan suaranya telah dicurangi oleh KPU? Siapa yang bisa mengetahui bahwa pemilih dalam katagori DPKTb akan memilih Jokowi atau memilih Prabowo ? Artinya adanya DPKTb atau tidak, kedua pasangan calon punya peluang yang sama.
KARENA DPKTB, KAMI MENUNTUT PEMUNGUTAN SUARA ULANG (PSU)
Yang harus dijawab terlebih dahulu, apakah jumlah DPKTb yang dianggap “tidak wajar” itu merupakan pelanggaran (pidana atau adminsitasi)?. Taruhlah di satu TPS, terbukti ada satu dua orang pemilih yang memilih hanya menggunakan KTP dan tidak menyertakan A5. Jelas pelanggaran administrasi. Tapi apakah dengan pelanggaran administrasi tersebut, mengorbankan ratusan orang yang tidak berdosa dengan dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU).Kata “mengorbankan” disini, terbukti dalam persidangan, saat KPU menjalankan rekomdasi Bawaslu melakukan PSU, partisipasi pemilih menurun drastis. Diantaranya PSU di beberapa TPS di Jakarta. Dengan merujuk pada hasil PSU, para pemilih yang sudah memberikan haknya pada Pemungutan Suara sebelumnya (karena alasan teknis tidak bisa hadir dalam PSU), harus kehilangan hak suaranya. Hanya karena kesalahan adminsitrasi yang dilakukan oleh satu dua orang, ratusan pemilih kehilangan haknya atau tidak diakui hak konstitusinya.
MEMASUKAN DPKTB TELAH MELANGGAR KONSTITUSI