Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Florence

1 September 2014   19:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:54 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Florence saat mengisi BBM di SPBU Lempuyangan, Rabu (27/8/2014) (Tribun Jogja/Hendra Krisdianto) "][/caption] Panggil aku Flo. Ya, Flo saja. Tak perlu kau tambah marga Sihombing. Cukup Flo saja. Mungkin saja bisa meredam situasi. Namaku memang Florence. Saat ini aku lebih senang dipanggil Flo. Ya, Flo saja. Nama Florence, sudah menjadi iklan kampanye. Nama seorang pesohor. Meskipun ibuku, tak berpikir anaknya kelak menjadi pesohor. Menghiasi pemberitaan di sana-sini. Jadi bahan obrolon politisi sampai ibu-ibu rumah tangga. Tak terkecuali admin Kompasiana. Florence menjadi bahan masakan utama. Disuguhkan dan seakan dilombakan. Menjadi Topik Pilihan. Terserah siapa saja dapat meraciknya dengan sajian yang berbeda-beda. Dengan style masakan masing-masing. Seakan sebanding dengan bahan masakan lain: Pembatasan subsidi BBM dan Paspamres Jokowi. Tidak kurang 34 sajian terhidang dengan aneka style: Sosbud, Regional, Edukasi, Hukum, Politik, Catatan Harian dan Puisi. Puisi? Lihatlah yang disajikan Gunawan Wibisono. Sungguh menarik. Mengapa nama Florence begitu inspiratif. Mendorong teman-teman Kompasianer tergugah menulisnya. Nama Florence berubah menjadi teropong multidimensi. Dapat menengok banyak sisi, banyak sudut pandang. Hanya dengan satu kata "Florence", hidangan masakan dapat tersaji beraneka cita rasa. Tropong bernama Florence dapat melihat bagaimana penerapan UU ITE sebagai ancaman. Bahkan Ary Lesmana menyarankan Florence dapat mengajukan uji norma ke Mahkamah Konstitusi. Jika berhasil, kata Ary Lesmana, pasti orang akan berubah dan berdecak kagum: Asu tenan cah iki! Tapi untuk menghindar ancaman itu Asep Rizal, mengatakan alangkah baiknya jika Florence menjadi kompasioner saja. Dengan landasan UU No. 40 tahun 1999, kebebasan ekspresi lebih terlindungi. Tropong bernama Florence dapat melihat bagaimana aparat kepolisian yang dipandang tidak profesional dan imbang menangani perkara penghinaan. Bahkan kata Daniel H.t., seakan Florence diperlakukan sama bahkan melebihi pelaku kejahatan serius seperti pelaku kejahatan narkoba, koruptor. Pihak kepolisian melakukan tebang pilih bila diperbandingkan dengan kasus Obor Rakyat. Jonny Hutahaean. Demikian juga Valerian Libert Wangge, menyatakan pihak penegak hukum seakan melupakan kasus jemaat Gereja El Shadai, Panggukan Sleman Yogyakarta. Hal senada terungkap oleh Mike Reyssent yang mempertanyakan tindakan pihak kepolisian yang menahan Florence. Tapi kata Titin Rahmawati, keadilan bukan dari ditahan atau tidak ditahannya Florence, namun dari durasi hukuman yang akan diterimanya. Ucapan Florence ujar Titin Rahmawati mengandung makar yang ditandai dengan ajakan kepada teman-teman daerah lain untuk tidak tinggal di Yogya. Perlakuan tidak imbang dengan perbandingan kasus Obor Rakyat juga dikemukakan oleh Peter Dabu. Dengan penggunaan pasal yang sama Pasal 310 KUHP, perlakuan terhadap Florence tidak sebanding. Dan Sahroha Lumbanraja, juga mengatakan serupa. Agar masalah ini tidak berlarut-larut, sebaiknya kita mementingkan persaudaraan kata S. Suharto. Saudara yang meminta maaf sebaiknya juga dimaafkan sehingga ketegangan yang ada segera redam dan tidak meluas menjadi isu sara yang kontra produktif. Mengedepankan budaya saling menghargai dan menghormati kata Kosmas Lawa Bagho. Dibangun dengan tulus tanpa memandang apa pun latar belakangnya. Bukankah sifat memaafkan mempunyai manfaat mengurangi stress, membuat jantung lebih sehat, dan membuat hidup lebih bahagia, demikian ujar Dr. Nugroho, Msi Sbm. Sebaiknya warga Yogya menggunakan falsafah "aku rapopo", yang sudah diteladani oleh Jokowi. Sebagaimana Rudy Rdian tuliskan dalam artikelnya. Jokowi tidak pernah melaporkan meskipun dirinya dibilang antek asing, mental kacung atau Presiden boneka. Mengingat Yogya sebagai entitas budaya yang khas. Dan diamini oleh Den Bhaghoese. Persoalan ini sebaiknya disentuh dengan wisdom, kata Tatang Sugana. Dan menyarankan Sultan Yogyakarta angkat bicara untuk memberikan wisdom-nya. Mengapa warga Yogya yang terkenal dengan sifat pemaaf, telah kehilangan kendali. Atau kata Hendra Wardhana Ataukah memang ada karakter-karakter "wong Jogja" yang mulai luntur. Tropong bernama Florence memperlihatkan wajah sesungguhnya kuatnya rasa kepemilikian atas nama daerah dan kesukuan. Reaksi yang dianggap berlebihan dengan membandingkan Jakarta dan Bali (C.c. Agung Bujana). Padahal sejatinya Yogya adalah kota besar sejak awal, kata Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto. Memiliki budaya tinggi. Ketika dimaki ia hanya tersenyum, karena Yogya bukanlah kota yang butuh pengakuan. Tak perlu ada pertentangan antara pendatang dan suku asli. Seperti kata Dendy Priambodo, Jogja bukan "hanya" milik orang Jogja, tapi milik warga pendatang juga, milik bangsa Indonesia. Meskipun demikian, para pendatang sudah sepantasnya bisa beradaptasi. Dan soal adaptasi ini, Yeano Andhika, mencontohkan Cinta Laura yang memilih untuk kuliah di Columbia daripada Harvard University. Florence juga telah menggugah seberapa besar derajat pengendalian emosi dan kejiwaan. Kemampuan pengendalian dibutuhkan saat menghadapi tekanan. Tetapi ujar Irawan Bhakti, sebagai umat beragama kita diminta untuk tetap bersabar. Dan dalam kasus Florence, budaya mengantri harus menjadi perhatian bersama, sebagaimana Jonny Hutahaean kemukakan. Mau mengantre adalah resultan dari sifat-sifat baik yang ada di dalam diri seperti sifat mengutamakan kepentingan umum, sifat tidak mau mengambil hak orang, sifat menghormati orang lain, dan lain-lain sifat baik. Rangkaian Florence, saya tutup mengutip syair (?) dari rekan kompasianer Tatang Sugana: " Tapi kini aku kehilangan dirimu. Ketika luka kecilmu menganga oleh si perempuan pecundang tak berarti dibanding keagunganmu itu" Catatan: Mohon maaf kepada teman-teman Kompasianer yang saya kutip pendapatnya di tulisan ini. Saya tidak meminta izin terlebih dahulu. Dan kepada teman-teman lain yang menulis tema Florence dan tidak saya kutip, saya juga minta maaf. Karena keterbatasan saya. Rupanya menulis kronik itu susah juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun