Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pilkada Lewat DPRD, Inkonstitusional

6 September 2014   18:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:27 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disingkat Pilkada), sampai saat ini masih berlanjut. Terdapat dua opsi pemilihan: langsung oleh rakyat atau lewat DPRD. Saya menangkap kesan, usulan fraksi-fraksi yang bergabung dalam koalisi merah putih agar Pilkada lewat DPRD mengganti mekanisme pemilihan langsug oleh rakyat, lebih kental nuansa politik ketimbang hukum. Lebih mengedepankan aspek formal ketimbang substansial. Hal ini tercermin dari perubahan sikap yang mendadak (tanggal 3 September 2014), dalam rapat konsinyering antara Panja Komisi II DPR dengan Pemerintah. Dimana sebelumnya, mayoritas fraksi bersikukuh Pilkada harus langsung oleh rakyat. Dan alasan-alasan yang dikemukakan, lebih dominan perkara teknis penyelenggaraan. Segampang itukah wakil-wakil rakyat terhormat itu, memutuskan hal yang fundamental dan prinsip ini. Seolah negara dibuat semacam mainan.

Bahwa benar DPR memiliki kewenangan pembentuk UU. Dalam konteks ini, mengganti UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan UU baru. Tapi, sekuat apapun kepentingan ekonomi-politik yang berupaya diselundupkan dalam perubahan UU, tetap saja landasan dan legalitasnya harus berdasarkan UUD NRI 1945 (konstitusi). Pertanyaanya: apa dasar hukum (konstitusi) para pembentuk UU itu, untuk mengubah Pilkada lewat DPRD?. Jika tidak diketemukan dasar hukum (konstitusi), maka UU baru tersebut dapat dikatakan inkonstitusional. Mari kita kupas bersama:

Sebelum masuk pada pembahasan Pilkada lewat DPRD, kita lihat terlebih dahulu siapakah yang dimaksud dengan mahluk yang namanya DPRD?. Konstitusi menyebut (nomenklatur) DPRD hanya satu kali pada Pasal 18 ayat (3), “ Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.Pasal ini masuk dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah. Artinya kedudukan DPRD tidak lain dan tidak bukan sebagai bagian Pemerintah Daerah. Dalam posisi setara dengan Kepala Daerah yang disebut dalam Pasal 18 ayat (4) “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Perubahan Bab Pemerintah Daerah khususnya Pasal 18, terjadi pada amandemen kedua sidang tahunan MPR pada bulan Agustus 2000.

Kedudukan DPRD dan DPR tidak dapat dimaknai sama, meskipun memiliki nama kelembagaan yang sama: Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Konstitusi secara jelas mendudukan DPR sebagai lembaga tinggi negara dalam pengaturan Bab tersendiri (Bab VII, pasal 19 sampai pasal 22B). Dan secara tersurat kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif. Sedangkan DPRD, bagian dari Pemerintah Daerah. Bahkan kedudukannya sebagai lembaga legislatif masih kabur.

Pertanyaannya: dapatkah DPRD memilih Kepala Daerah, sedangkan posisi dan kedudukan DPRD dan Kepala Daerah setara dalam cakupan Bab VI sebagai bagian dari Pemerintah Daerah? Mungkin saja bisa, jika kita membenarkan slogan “jeruk makan jeruk”. Memilih dirinya sendiri.

Selanjutnya. Koalisi merah putih memberi tafsir pada frasa “dipilih secara demokratis” sebagaimana Pasal 18 ayat (4) dengan pengertian bisa saja pemilihan dilakukan oleh DPRD asalkan demokratis. Pertanyaannya: adakah konstitusi memberi kewenangan pada DPRD untuk memilih Kepala Daerah. Jika ada, tertera dalam pasal berapa di konstitusi?

Pilkada langsung oleh rakyat atau pemilihan lewat DPRD, bukan opsi yang setara. Bahkan dieliminir pengertiannya hanya sebatas perkara mekanisme formal belaka. Menurut saya, hal ini menyangkut pelimpahan hak fundamental rakyat kepada lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukannya. Jadi bukan pilihan ini atau itu, kiri atau kanan. Langsung atau tidak langsung.

Perhatikan dengan jelas pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal ini hasil amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang semula berbunyi Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Apa konsekwensi dari amandemen pasal ini. Diantaranya, MPR tidak lagi memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diakukan secara langsung oleh rakyat sebagai perwujudan dari kedaulatan berada di tangan rakyat. Inilah yang saya katakan hak fundamental rakyat pemegang kedaulatan tertinggi.

Sepanjang konstitusi tidak mengatur pelimpahan kewenangan asas “kedaulatan rakyat” kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah, maka kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan tidak bisa dilimpahkan begitu saja. Sebagiamana UUD 1945 sebelum amandemen yang memberikan pelimpahan kewenangan kepada MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris tanpa keikutsertaan rakyat di dalamnya.

Logika yang dipergunakan oleh koalisi merah putih, anggota DPRD adalah wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka tidak salah jika DPRD memilih Kepala Daerah yang artinya juga itu pilihan wakil-wakil rakyat. Penggunaan logika ini sesat pikir. Alasannya: pertama, memberi kedudukan yang sama antara DPR dan DPRD sebagai wakil rakyat (lembaga legislatif). Padahal DPRD tidak lain bagian dari Pemerintah Daerah. Kedua, tidak disertai dengan dalil konstitusi sebagai landasannya. Hanya berlandaskan logika semata. Jika begitu logikanya, mengapa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR pada masa lalu, harus berlandaskan pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada MPR. Toh, MPR yang notebenenya terdiri dari DPR juga terpilih melalui Pemilu.

Hak fundamental rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bisa dilimpahkan kepada lembaga negara lain, asalkan diatur oleh UUD 1945. Sebagaimana frasa dalam Pasal 2 ayat (1) “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Jika terjadi pelimpahan kewenangan hak fundamental rakyat dalam memilih Kepala Daerah dialihkan kepada DPRD hanya berdasarkan undang-undang (bukanUUD). Dapatkah dikatakan pelimpahan hak fundamental itu konstitusional?

Kepala Daerah yang akan dipilih oleh DPRD, bukan sekedar opsi mekanisme dan prosedur demokratis belaka. Tapi, telah terjadi pelimpahan kewenangan hak fundamental rakyat. Hak rakyat ini suatu yang prinsip dalam NKRI. Oleh karenanya diletakan hak ini dalam pasal pertama UUD 1945. Hak yang memberi ruang partisipasi politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan.

Seburuk apapun pilihan rakyat atas pemimpinnya (Gubernur, Walikota, Bupati) tetap mendapat pengakuan konstitusi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sebaliknya, sebaik apapun pilihan anggota DPRD dan menghasilkan kepala daerah yang drajatnya setingkat malaikat, tidak ada landasan konstitusinya.

DPRD bukan pemegang kedaulatan tertinggi. DPRD tidak diberi kewenangan pelimpahan hak fundamental rakyat yang diatur dalam konstitusi. DPRD berkedudukan setara dengan Kepala Daerah sebagai bagian dari Pemerintah daerah.

Salam Kompasiana.

Catatan:

Tafsir pasal 18 ayat (4) frasa “dipilih secara demokratis” telah saya tulis dalam artikel sebelumnya di:

http://politik.kompasiana.com/2014/09/05/bangkitnya-pilkada-versi-orde-baru-672813.html

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun