Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saran Perbaikan Pilkada Langsung

8 September 2014   19:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: rumahpemilu.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Ilustrasi (Sumber: rumahpemilu.com)"][/caption]

Tidak ada aturan hukum yang sempurna. Terlebih aturan hukum tertulis yang dikodifikasi dalam ketentuan tertulis. Tetap ada jarak antara hukum cita (ius constituendum) dengan hukum nyata (ius constitutum). Kodifikasi hukum lamban merespon situasi. Meskipun mekanisme revisi undang-undang dan uji norma telah disediakan sebagai cara agar hukum lebih responsif, namun tidak sertamerta aturan hukum dapat menjangkau semua harapan keadilan semua pihak.

Demikian pula halnya dengan UU Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak sempurna dan memenuhi harapan dan rasa keadilan. Oleh karena itu pemerintah melalui Kementrian Dalam Negeri mengajukan usulan perubahan undang-undang ke Komisi II DPR RI. Salah satu trobosan yang dilakukan oleh pemerintah, dengan memecah pelbagai aturan yang termuat dan membaginya ke dalam 5 (lima) Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU Pemerintah Daerah (Pemda), RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD); RUU Aparatur Sipil Negara (ASN); RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan RUU Desa. Lima RUU yang diusulkan pemerintah dua tahun yang lalu, baru UU Desa yang disahkan pada bulan Desember 2013. Saat ini, pemerintah bersama DPR sedang membahas RUU Pilkada.

Dari pembahasan RUU Pilkada, terkuak pelbagai masalah dan efek yang ditimbulkan dalam pelaksaaan Pilkada selama sembilan tahun terakhir. Masalah-masalah itu dapat dibaca dari pemberitaan media massa dan tulisan teman-teman kompasianer. Tentulah kita tidak bisa hidup hanya bergunjing dari masalah ke masalah, namun harus ada upaya untuk memperbaiki dan menemukan solusi untuk mengatasinya.

Saya ingin berperanserta memberikan saran dan masukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat.

1.PILKADA BIAYA MAHAL

a.Melakukan Pilkada secara serentak. Saya kira usul ini sudah jadi kebijakan pemerintah yang memang akan melakukan Pilkada secara serentak. Saya sebut kebijakan, karena usul ini tidak diatur secara tegas dalam RUU Pilkada. Pemerintah hanya merencanakan pilkada serentak dalam tiga tahapan: 2015, 2018 dan 2020. Pada tahun 2020, akan dilaksanakan pilkada serentak secara nasional. Pengalaman saya di Bengkulu, Pilkada serentak untuk pemilihan Gubernur dan enam Bupati pada tahun 2005 dan 2010, menghemat anggaran negara hingga 60 persen. Biaya ini masih bisa ditekan, jika pemerintah memberikan batas masa jabatan KPU dan Panwaslu. Karena sejak Pilkada berakhir hingga 4 tahun sesudahnya, KPU dan Panwaslu hampir tidak memiliki tugas dan fungsi lagi. Anggaran negara selama 4 tahun hanya tercurah pada pembiayaan rutin, antara lain pembayaran gaji para komisioner dan staff.

b.Memberi batasan jumlah dan frekwensi penggunaan alat peraga kampanye. Dengan adanya aturan tentang zona pemasangan yang diperluas dan pemasangan alat peraga yang minim. Hal ini juga membantu para calon kepala daerah yang bermodal tipis dapat mengimbangi kemampuan calon lain yang bermodal besar. Selain itu, memberi batasan juga pada iklan kampanye di media massa (cetak, televisi dan radio). Dengan penayangan yang minimum, akan memberikan juga rasa keadilan pada semua calon yang memiliki modal kampanye yang tidak setara. Kampanye dengan biaya besar seperti rapat akbar, dihilangkan saja. Karena pada dasarnya apapun bentuk kampanye, hanya bersifat persuasi. Dengan minimnya kampanye persuasi, para calon akan “terpaksa” untuk melakukan kampanye turun ke bawah. Kunjungan dari desa ke desa, dari rumah ke rumah. Dari sisi efektifitas kampanye, bentuk seperti ini justru akan lebih mendekatkan dan memperkenalkan calon kepada pemilih ketimbang promosi lewat media kampanye lain.

c.Mengintesifkan pengawasan oleh Panwaslu dan melibatkan KPK adanya transaksi jual beli antara calon kepala daerah dengan partai politik. Sudah jadi rahasia umum transaksi berupa “uang mahar”, “beli perahu”, atau “biaya kampanye” menjadikan Pilkada biaya mahal. Secara aturan, partai politik pengusung jika terbukti melakukan transaksi semacam ini harus dikenakan denda 10x lipat dari imbalan yang mereka peroleh. Dan kepada calon, meskipun telah terpilih dan menang,akan dibatalkan pencalonannya atau diskualifikasi.

d.Laporan harta kekayaan calon ke KPU dan LHKPN dan Laporan Dana Kampanye harus ditingkatkan bukan lagi sebatas syarat administrasi formal saja. Pelanggaran atas dua hal ini sebaiknya dikenakan sanksi pidana. Dan pemeriksaan harta kekayaan dan dana kampanye harus menyertakan masyarakat (uji publik) tidak sebatas dilakukan oleh KPU atau Auditor. Termasuk juga melibatkan BPK untuk menelisik transaksi keuangan yang mencurigakan. Bahwa praktik money politic dan uang mahar kepada partai politik pengusung, bersumber pada harta kekayaan dan transaksi keuangan yang tidak jelas. Oleh karena itu pencegahan harus juga dimulai dari hulu (sumber keuangan yang dimiliki calon).

e.Memperberat sanksi pidana dan denda atas praktik money politic. Dan kepada calon, sanksi harus berupa diskualifikasi. Subyek atau pelaku tidak sebatas calon yang melakukan langsung tetapi juga tim kampanye termasuk di dalamnya. Tindakan tim kampanye apakah diluar sepengetahuan calon atau tidak, jika terbukti melakukan money politic, maka sanksi juga dijatuhkan kepada calon. Proses penyidikan perkara ini tidak bisa lagi dibatasi oleh waktu 14 hari setelah peristiwa. Dimana banyak kejadian, Panwas dan kepolisian tidak dapat memprosesnya karena alasan kadaluwarsa/ lewat dari 14 hari. Sekalipun calon telah terpilih, dilantik dan menjadi kepala daerah, jika dikemudian hari oleh pengadilan negeri terbukti melakukan money politic, Presiden dapat dapat memecatnya.

f.KPU diberi kewenangan untuk juga menjatuhkan sanksi tegas kepada KPPS, PPS dan PPK, jika terbukti melakukan kerjasama dengan calon dalam melakukan money politic, tanpa harus menunggu putusan DKPP.

2.POLITIK DINASTI

a.Calon yang memiliki ikatan perkawinan dan garis keturunan dengan petahana, tidak memenuhi syarat sebagai calon. Saya mengusulkan dengan rentang dan jenjang 2x dari ikatan perkawinan dan garis keturunan, baik ke atas, ke bawah dan ke samping. Artinya sepupu 2x, cicit, nenek moyang tidak termasuk di dalamnya.

b.Aturan ini juga berlaku dalam cakupan satu provinsi, tidak hanya sebatas kabupaten/ kota. Dengan begitu, jika Bapaknya menjadi Gubernur, anaknya tidak memenuhi syarat pencalonan sebagai Bupati di kabupaten dalam provinsi yang sama.Pun demikian, jika saudara kandung menjadi Walikota, dirinya tidak dapat mencalonkan diri sebagai Bupati di kabupaten dalam provinsi yang sama.

3.WAKIL KEPALA DAERAH DITUNJUK

a.UUD 1945 hanya menyebut pemilihan Kepala Daerah. Wakil kepala daerah tidak disebutkan sama sekali. Berbeda halnya dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Maka Wakil kepala daerah ditunjuk oleh Kepala Daerah terpilih. Wakil kepala daerah harus berasal dari PNS, yang memang menguasai seluk beluk birokrasi. Untuk mengimbangi posisi Kepala Daerah sebagai jabatan politik yang disulkan oleh partai politik. Jumlah kepala daerah disesuaikan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk di satu daerah. Untuk Provinsi Jawa Timur, misalnya bisa ditunjuk 2 – 3 wakil Gubernur. Berbeda jumlahnya dengan Wakil Gubernur di Bangka Belitung. Dengan demikian, kepala daerah akan menunjuk orang yang bisa diajak bekerjasama. Usul tersebut diajukan kepada Presiden.

4.SYARAT PENCALONAN

a.Memberikan sanksi pidana bagi calon yang memanipulasi dokumen syarat-syarat pencalonan. Diantaranya manipulasi surat sah ijazah sekolah, penetapan pengadilan dan manipulasi data dukungan KTP yang dilakukan oleh calon perseorangan. Tidak sebatas dikenakan sanksi pidana tetapi juga akan dicabut statusnya sebagai calon atau diskualifikasi jika telah terpilih.

b.Para petahana wajib mengajukan pengunduran diri (berhenti tetap), sebagai syarat pencalonan. Dengan dilampirkan surat pemberhentian dari Presiden. Hal ini untuk menghindari masih kuatnya pengaruh petahana pada jajaran birokrasi yang bisa dimobilisasi untuk kepentingan pemenangan.

5.PENYELESAIAN SENGKETA

a.Sengketa yang berkaitan dengan administrasi seperti syarat pencalonan, diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara (PTTUN). Putusan PTTUN bersifat final dan mengikat. Untuk sinkronisasi, KPU harus membuat rentang waktu yang cukup dalam penyusunan tahapan dan jadwal. Karena jika PTTUN mengabulkan gugatan, KPU masih punya waktu untuk mengulang tahapan. Demikian juga, ada sanksi pidana jika KPU tidak menjalankan putusan PTTUN.

b.Sengketa hasil Pilkada untuk pemilihan Gubernur langsung ke Mahkamah Agung (MA). Dan ada peluang melakukan Peninjauan Kembali (PK) sebanyak 1 kali, jika dikemudian hari ditemukan novum. Untuk pemilihan Bupati/Walikota diajukan ke Pengadilan Tinggi (PT). Dengan melibatkan 1-2 hakim ad hoc, yang memang ditugaskan untuk penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Pihak bersengketa yang tidak puas atas putusan PT dapat melakukan kasasi satu kali ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA inilah yang merupakan peradilan akhir, dan tidak ada upaya hukum lain sesudahnya.

c.Sementara penyelesaian tindak pidana, dilakukan penyelidikan oleh polisi. Berkas kemudian diserahkan ke penuntut umum lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN), sidang pemeriksaan oleh majelis khusus (hakim ad hoc). Jika dirasa tidak puas, para pihak dapat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Dan putusan PT adalah peradilan terakhir mengikat dalam perkara tindak pidana. Dengan catatan sanksi-sanksi pidana harus banyak dieloborasi dalam RUU Pilkada yang baru.

6.SURVEY DAN HITUNG CEPAT

a.Lembaga yang akan melakukan survei (opini publik), polling, exit poll dan hitung cepat wajib mendaftarkan diri ke KPU untuk memperoleh akreditasi. Syarat pendaftaran selain bersifat formal administratif, juga menyertakan penggunaan metodologi dan sumber keuangan. Termasuk media massa yang kerap melakukan polling menjelang Pilkada. Ketentuan ini tidak berlaku, bagi lembaga survey yang tidak mempublikasikan hasil surveinya ke publik. Dan hanya untuk kebutuhan internal. Bila diperlukan, lembaga survey juga harus terdaftar sebagai anggota asosiasi yang ada, diantaranya Perhimpunan Survey Opini Publik Indonesia (Persepsi).

b.Publikasi survey opini publik sebaiknya dilarang 1 bulan setidaknya 2 minggu sebelum pelaksanaan pemungutan suara. Untuk menghindari adanya penggiringan opini dari hasil survey (bandwagon effect). Pelanggaran atas ketentuan ini dikatagorikan sebagai tindak pidana (kejahatan), dan dikenakan sangsi kurungan dan denda.

c.KPU sebaiknya membuat real count (parallel vote tabulation) sehingga masyarakat punya informasi pembanding.

7.TEKNIK PENYELENGGARAAN

a.KPU sudah bisa mempraktekan pemungutan suara dengan menggunakan e-voting. Selain untuk menekan pembiayaan juga untuk menekan terjadinya tindak kecurangan, diantaranya pengelembungan suara.

b.Bilapun belum bisa menggunakan e-voting, surat suara dan formulir-formulir harus menggunakan security printing.

c.KPPS dengan sengaja tidak memberikan salinan Berita Acara penghitungan suara (formulir C1) kepada saksi, dikatagorikan sebagai tindak pidana.

d.Proses rapat rekapitulasi penghitungan suara di PPS dan PPS berakhir jam 6 sore. Dan dapat dilanjutnya keesokan hari. Hal ini untuk menghindari rapat dilakukan pada malam hari, dengan keterbatasan penerangan dan hadir lebih banyak masyarakat yang menyaksikan.

e.Sosialisasi DPS dan DPHPS harus lebih masif, jangka waktu agak panjang, dan menggunakan banyak media agar masyarakat punya kesempatan yang lebih luas untuk memberi masukan sebelum ditetapkan menjadi DPT.

f.Mengikutsertakan perangkat pemerintahan Desa/ kelurahan untuk pemutakhiran data pemilih.

8.SARAN LAIN

a.Diluar pengaturan RUU Pilkada bersifat politis dan sosial. Sebaiknya nota kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh semua calon yang berisi “siap menang dan siap kalah”, juga ditandatangani oleh Muspida. Sehingga jika dikemudian hari ada calon yang “tidak siap kalah”, aparat Muspida seperti Kapolres dan Dandim, dapat mengingatkan kembali. Sehingga deklarasi bersama “siap menang dan siap kalah” tidak berhenti di omongan saja. Dan dapat menjamin stabilitas sosial politik paska Pilkada.

Demikian saran dan usul saya. Adakah saran lain dari teman-teman ?

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun