Wakil ketua DPR, Fahri Hamzah berang kepada KPU. Lantaran KPU memerintahkan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota untuk melanjutkan tahapan pilkada. Alasan KPU, Perppu sudah sah diterbitkan. Sebelumnya, KPU sempat pengeluarkan surat edaran kepada seluruh KPU di daerahuntuk me‎nghentikan persiapan pilkada tahun 2015, karena DPR mengesahkan UU Pilkada. Namun surat edaran itu dicabut menyusul terbitnya Perppu yang menegaskan pilkada langsung. Menurut Fahri Hamzah, seharusnya KPU menunggu proses penyelesaian Perppu. Perppu itu, kata dia, bisa disetujui atau ditolak oleh anggota dewan. (sumber).
Apa yang dilakukan oleh KPU pada dasarnya bukan maunya sendiri. Sebelumnya Mendagri, Gamawan Fauzi sudah menyatakan bahwa KPU sudah bisa menggunakan Perppu sebagai landasan menyusun aturan teknis Pilkada 2015. Mendagri mengatakan UU No.22 tahun 2014 sudah dicabut dan tidak berlaku seiring dengan penerbitan Perppu oleh Presiden SBY.(sumber). Bahkan Ditjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan sudah meminta kepada Pemda yang akan melaksanakan Pilkada 2015 untuk mengalokasikan di RAPBD 2015.(sumber).
Jadi pertanyaan: siapakah yang benar dalam bertindak dan menyatakan pendapat berdasarkan hukum. Apakah wakil ketua DPR atau KPU? Menurut saya keduanya benar. Karena ada dua pendapat hukum yang berbeda dan belum ada konsensus diantara keduanya. Pendapat pertama yang jadi landasan pikir wakil ketua DPR, kira-kira begini: Perppu sampai sekarang belum menjamin adanya kepastian hukum. Karena Perppu bisa ditolak, bisa juga diterima oleh DPR. Jika ditolak maka UU No.22 tahun 2014 akan hidup dan berlaku kembali.Logikanya sederhana, Perppu tersebut mencabut UU Pilkada, maka ketika pencabutnya dicabut, UU Pilkada itu hidup kembali. Dengan begitu, tahapan Pilkada dengan model pemilihan langsung yang saat ini sedang dipersiapkan KPU, akan sia-sia dan memulai dari awal kembali.
Pendapat kedua yang jadi landasan pikir KPU, Perppu sudah sah berlaku sejak ditandatangani oleh Presiden.Dengan keluarnya Perppu, UU No.22 tahun 2014 tidak berlaku lagi. Jika kemudian DPR menolak Perppu, tidak otomatis UU No.22 tahun 2014 akan berlaku atau hidup kembali. Akan terjadi kekosongan hukum. Untuk mengatasi itu maka posisi UU No.22 tahun 2014 secara material kembali menjadi RUU perlu ada pembahasan dan pengesahan ulang.
Saya lebih condong pada pendapat kedua ini. Dengan rumusan masalah: apakah UU Pilkada yang sudah dibatalkan pemberlakukannya oleh Perppu, saat Perppu ditolak oleh DPR, UU Pilkada tersebut akan hidup kembali?
Menurut saya, apa yang disebut dengan penolakan DPR atas Perppu bukan kepada keberadaan atau pemberlakukan Perppu sebagai norma hukum baru. Tapi menolak Perppu untuk menjadi undang-undang. Karena daya ikat Perppu sebagai norma hukum sama nilainya dengan undang-undang. Posisinya sama sederajat. Jika menolak atas dasar keberadaan atau pemberlakuan Perppu sama artinya dengan menolak Perppu memiliki daya ikat sederajat dengan undang-undang. Berbeda halnya jika menolak dalam pengertian Perppu akan diubah menjadi undang-undang. Kedua, kewenangan DPR sebatas menolak atau menerima Perppu. Tidak ada penambahan kewenangan untuk memberlakukan kembali UU yang sudah dibatalkan oleh Perppu. Dengan ditolaknya Perppu menjadi undang-undang akan terjadi kekosongan hukum. Tidak ada aturan tentang pemilihan kepala daerah. Kira-kira analoginya seperti ini: UU No.22 tahun 2014 ketika disahkan juga menyatakan UU No. 32 tahun 2004 tidak berlaku lagi alias mati. Tiba-tiba ada putusan MK membatalkan UU No.22 tahun 2014. Tidak otomatis UU No.32 tahun 2004 yang telah mati tadi hidup kembali atas berlaku.Inilah yang disebut dengan kekosongan hukum.
Dapat juga diperbandingkan dengan peristiwa tahun 2008. Pada bulan Desember 2008, DPR menolak Perppu JPSK. Selanjutnya DPR meminta kepada pemerintah untuk mengajukan RUU JPSK. Dalam ketentuan penutup di RUU JPSK itu sekaligus mencantumkan klausula pencabutan Perppu JPSK. Atau peristiwa tahun 2000. Saat itu DPR menolak Perppu tentang Pengadilan HAM. Sebagai gantinya DPR meminta kepada pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Pengadilan HAM. Singkatnya ketika Perppu ditolak, agar tidak timbul kekosongan hukum maka perlu ada pembahasan dan pengesahan RUU baru.
Bagaimana cara mengatasinya ketika Perppu Pilkada ditolak oleh DPR?. Dapat saja materi dalam UU No.22 tahun 2014 menjadi RUU baru. Tetapi statusnya RUU bukan lagi UU. Saat pembahasan bisa saja terjadi perubahan, penambahan atau pengurangan pasal-pasal di dalamnya.Setelah dibahas membutuhkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah untuk selanjutnya disahkan di rapat paripurna DPR. Disini letak masalahnya. Apakah Mendagri (wakil pemerintahan Jokowi yang akan datang) akan setuju pada RUU Pilkada yang baru? Padahal pandangan Jokowi tidak setuju dengan mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD, sebagaimana isi dari UU No.22 tahun 2014. Persetujuan pemerintah adalah syarat konstitusional (ada di dalam UUD 1945). Jika salah satu pihak saja tidak setuju, RUU itu tidak bisa disahkan atau diundangkan. Lebih jauh lagi aturan teknis dari UU berupa Peraturan Pemerintah (PP) tidak akan bisa diterbitkan.
Bagaimana jika hal ini benar-benar terjadi, dan tercipta kekosongan hukum. Pihak penyelenggara baik itu KPU atau DPRD tidak dapat mengelar Pilkada.Termasuk Pemda atau Departemen Keuangan tidak dapat menurunkan anggaran karena tidak ada Peraturan Pemerintah sebagai payung hukumnya. Sementara pada tahun 2015, banyak kepala daerah yang telah habis masa jabatannya. Bagi Presiden hal ini bukan menjadi masalah besar. Jabatan kepala daerah yang kosong dapat diisi oleh pelaksana tugas (Plt) yang berasal dari birokrat dan diangkat langsung oleh Presiden. Seperti halnya daerah otonomi baru (pemekaran) kepala daerah sementara dijabat oleh Pelaksana Tugas. Dan tidak mengganggu jalannya pemerintahan.
Sekarang tinggal kembali kepada kehendak DPR. Apakah menerima atau menolak Perppu? Jika menerima, Perppu akan menjadi undang-undang dan kerja tahapan KPU sudah ada kepastian hukumnya. Jika menolak, akan terjadi kekosongan hukum. Waktunya panjang untuk melakukan pembahasan RUU Pilkada yang baru. Sementara Presiden Jokowi bisa mengatasi dengan menunjuk Pelaksana Tugas sampai ada UU Pilkada yang baru untuk memilih kepala daerah definitif.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H