[caption id="attachment_367140" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi pilkada. (Kompas.com/ERICSSEN)"][/caption]
Tidak ada pilihan lain, DPR harus menyetujui Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota meskipun dalam pasal 22 ayat (2) UUD 1945, DPR memiliki kewenangan untuk menyatakan setuju atau menolak Perppu yang ditetapkan oleh Presiden. Namun resiko atau akibat menolak Perppu tersebut teramat berat. Karena akan terjadi kekosongan hukum. Ketika terjadi kekosongan hukum, Pilkada (langsung atau tidak langsung) tidak dapat digelar. Tak ada payung hukum untuk melaksanakannya.
Untuk mengatasi kosongnya jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015, Presiden akan menggunakan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan mengangkat pejabat sementara atas usul Mendagri. Tentu pejabat sementara yang diangkat berasal dari lingkungan birokrasi/pejabat karier atau PNS. Menjadi kerugian bagi DPR yang notabenenya adalah wakil partai politik. Tidak dapat mendudukkan calon kepala daerah dari partai politik yang dipilih melalui Pilkada. Dalam kacamata politik, dengan ditolaknya Perppu akan berakibat Jokowi sebagai presiden yang mendapat manfaat. Sebaliknya, kekalahan bagi partai politik. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi DPR untuk menyatakan setuju atas Perppu tersebut.
Sebagian kalangan menyatakan jika Perppu ditolak, otomatis UU No. 22 tahun 2014 akan berlaku kembali. Dan tidak terjadi kekosongan hukum. Paling tidak pendapat dari Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan. "Kalau perppu itu nanti ditolak oleh DPR, otomatis nanti berlaku UU Nomor 22/2014. Berlakunya langsung pada hari ditolaknya perppu itu," kata Djohermansyah (sumber). Di lingkungan Kemendagri sendiri, pendapat Djohermansyah dibantah oleh Mendari Gawaman Fauzi (sumber). Diperkuat dengan pendapat staff Ahli Mendagri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga, Zudan Arif Fakrulloh. “Jadi kalau Perppu ditolak oleh DPR, tidak bisa kembali ke UU Pilkada. Karena sudah dicabut dengan Perppu. Nggak bisa juga kembali menggunakan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemda, karena sudah dicabut dengan UU Pilkada dan UU Pemda yang baru,” kata Zudan (sumber). Senada dengan pernyataan terakhir bahwa ketika DPR menolak Perppu akan terjadi kekosongan hukum disampaikan oleh pakar hukum tata negara : Saldi Isra , Mahfud MD, Refli Harun dan Yusril Ihza Mahendra.
Apa yang menjadi argumennya? Dapat dilihat pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tanggal 1 Desember 2004 tentang Uji Materil terhadap UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Putusan tersebut membatalkan secara keseluruhan isi dari UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi. Dalam pertimbangan mahkamah halaman 350, MK menyatakan: "guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat." Dengan dicabutnya UU No. 20 tahun 2002 secara keseluruhan maka terjadi kekosongan hukum. Karena pasal 70 UU No. 20 tahun 2002 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 15 tahun 1985. Namun untuk menghindari kekosongan hukum, MK menghidupkan kembali atau menyatakan UU No. 15 tahun 1985 berlaku. Artinya MK yang telah menghidupkan kembali UU yang lama guna menghindari kekosongan hukum.
Perbandingan lainnya dapat dilihat pada putusan MK yang membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2014. UU Nomor 4 Tahun 2014 berasal dari Perppu Penyelamatan MK. Perppu Penyelamatan MK mencabut beberapa ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Perppu tersebut lalu disetujui DPR. Setelah disetujui DPR, Perppu tersebut malah dibatalkan MK ketika sekelompok pengacara mengajukan pengujian ke MK. Dalam putusannya, selain membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2014, MK juga menghidupkan kembali ketentuan yang telah dicabut Perppu Penyelamatan MK.
Dalam konteks putusan MK, tidak terjadi kekosongan hukum karena putusan MK secara eksplisit 'menghidupkan' kembali ketentuan yang telah dicabut sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena ada putusan pengadilan (MK) yang bersifat otonom, tidak digantungkan pada kesediaan atau kemauan lembaga lain. Namun, dalam konteks Perppu Pilkada, DPR tidak bisa serta merta menghidupkan kembali undang-undang yang dicabut karena hal tersebut harus memerlukan persetujuan Presiden terlebih dulu selain persetujuan internal DPR sendiri. Ringkasnya, untuk menghindari kekosongan hukum maka ketentuan hukum yang lama harus dihidupkan kembali. Jadi tidak otomatis berlaku sebagaimana pendapat Djohermansyah. Upaya untuk menghidupkan kembali hanya melalui judicial review oleh MK, bukan melalui mekanisme legislative review oleh DPR. DPR hanya memiliki kewenangan menyatakan setuju atau tidak setuju atas Perppu, tidak memiliki kewenangan untuk menghidupkan kembali UU No. 22 tahun 2014.
Argumen hukum lainnya merujuk pada Pasal 52 ayat (5), (6), dan (7) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasal (5) menyatakan, “Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”. Ayat (6) menyatakan, ”Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud ayat (5), DPR atau presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Sedangkan ayat (7) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang tentang pencabutan Peraturan Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu”. Dengan menggunakan dasar hukum ini, tidak ada logikanya setelah mencabut Perppu, kemudian otomatis UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada berlaku.
Pengalaman yang dapat dijadikan rujukan adalah peristiwa saat DPR menolak Perppu JPSK pada bulan Desember 2008. Setelah DPR menolak Perppu tersebut, selanjutnya DPR meminta kepada pemerintah untuk mengajukan RUU JPSK. Dalam ketentuan penutup di RUU JPSK itu sekaligus mencantumkan klausula pencabutan Perppu JPSK. Atau peristiwa tahun 2000. Saat itu DPR menolak Perppu tentang Pengadilan HAM. Sebagai gantinya DPR meminta kepada pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Pengadilan HAM. Singkatnya ketika Perppu ditolak, agar tidak timbul kekosongan hukum maka perlu ada pembahasan dan pengesahan RUU baru. Tidak dapat lagi menggunakan UU yang telah dicabut. Sebab Perppu No.1 tahun 2014 saat mencabut UU No. 22 tahun 2014 dinyatakan sah dengan segala akibat-akibat hukumnya. Atau istilah hakim MK, UU No. 22 tahun 2014 telah digasak oleh Perppu No. 1 tahun 2014. Bila ada kalangan yang ingin menghidupkan kembali UU No. 22 tahun 2014 maka jalan yang harus ditempuh melalui judicial reviewPerppu No. 1 tahun 2014 ke MK. Selain undang-undang, MK juga berwenang mengadili dan memeriksa perppu sebagai obyek sengketa. Dengan judicial reciew, petitum yang diinginkan agar MK membatalkan Perppu No. 1 tahun 2014 dan menghidupkan kembali UU No. 22 tahun 2014.
Atau jalan lainnya, setelah Perppu ditolak oleh DPR, materi dalam UU No. 22 tahun 2014 dapat menjadi RUU baru. Tetapi statusnya RUU bukan lagi UU yang berlaku. Saat pembahasan RUU bisa saja terjadi perubahan, penambahan atau pengurangan pasal-pasal di dalamnya. Setelah dibahas membutuhkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah untuk selanjutnya disahkan di rapat paripurna DPR. Di sini letak masalahnya. Apakah Pemerintah atau Presiden Jokowi akan setuju pada RUU Pilkada yang baru? Padahal pandangan politik Jokowi tidak setuju dengan mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD, sebagaimana isi dari UU No. 22 tahun 2014. Persetujuan pemerintah adalah syarat konstitusional (ada di dalam UUD 1945). Jika salah satu pihak saja tidak setuju, RUU itu tidak bisa disahkan atau diundangkan. Lebih jauh lagi aturan teknis dari UU berupa Peraturan Pemerintah (PP) tidak akan bisa diterbitkan.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H