Ibaran lakon pementasan di atas panggung, lenggak lenggok para penari menyesuaikan dengan irama tabuhan gendang. Demikianlah pentas politik yang disuguhkan kehadapan publik. Sesungguhnya ‘tarian’ para elit politik sadar tak sadar mengikuti irama sang penabuh gendang. Semakin para elit politik kehilangan daya nalar, semakin girang penabuh gendang menghentak irama. Pentas politik tak ubahnya suatu pertunjukan. Ragam lakon dimainkan. Kadang getir, haru, penuh amarah atau sekedar komedi yang tak lucu. Semua diatur dalam pedoman script di tangan sutradara. Pada konteks ini, panggung politik tak lebih dari sekedar sandiwara. Riuh dan reaksi penonton dibutuhkan agar pertunjukan semakin cetar membahana.
Di balik layar panggung politik, penabuh gendang dan sang pengendali dipegang oleh Golkar. Pada panggung yang sama, PDIP hendak melawan kehendak sang penabuh. Sialnya, PDIP larut dalam irama penabuh gendang. Kapasitas dan kemampuan PDIP belum setara dengan Golkar yang mahir memainkan irama. Oleh karena itu, saya tak terlampau hirau dengan hiruk pikuk para penari di atas panggung. Masuk dalam pertikaian KMP dan KIH. Apa yang hendak dicermati dari sandiwara yang artifisial. Toh, semua tergantung pada hentakan irama sang penabuh gendang.
Golkar sangat menghayati apa itu politik kekuasaan. Bagi Golkar politik itu lentur, mudah untuk dibengkokan kapanpun dikehendaki. Golkar khatam akan bacaan NiccoloMachiavelli. Kapan waktunya menjadi srigala, singa atau domba. Tahu bagaimana cara merebut kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan. Memahami medan pertempuran dan menguasai semua ilmu siasat. Dimanapun dia berada, mampu menjadi pelopor dan memberi warna. Tak peduli berada di pihak sana atau pihak sini. Kawan dan lawan hanya lakon pertunjukan. Kemampuan Golkar sudah teruji dalam perjalanan sejarahnya.
Suharto boleh tumbang, tapi Golkar tak akan bisa tersentuh. Meskipun gelombang gerakan reformasi 1998 meneriakan untuk membubarkannya. Tak satu partai politik pun selain Golkar yang tangguh menghadapi gempuran massa rakyat. Dengan cerdik, Golkar melakukan adaptasi dengan tuntutan situasi. Golkar menjadi Partai Golkar yang dipimpin oleh Akbar Tanjung seolah membawa paradigma baru. Menjadi pengusung reformasi dengan menjual Harmoko yang ikut serta menasehati Presiden Suharto untuk lengser. Tak berhenti sampai disitu. Presiden Abdurahman Wahid yang melihat Golkar sebagai penyakit dan seteru utama harus dibubarkan. Dekrit Presiden pada tahun 2001, menyerukan Golkar dibubarkan. Alih alih bubar, sebaliknya Abdurahman Wahid jatuh dari kursi kekuasaannya.
PDIP yang mendapat manfaat terbesar dari gerakan reformasi tak mampu mengimbangi permainan Golkar. PDIP menang mutlak dalam Pemilu 1999. Mendapat dukungan suara 35.689.073 pemilih (33,74%) atau 153 kursi di parlemen. Namun kursi ketua DPR jatuh ke tangan Golkar (Akbar Tanjung). Yang hanya mendapat 120 kursi (22,44%). Bahkan jabatan ketua MPR (Amin Rais) dan Presiden (Abdurahman Wahid) pun gagal direbut oleh PDIP.Kursi ketua DPR tetap dipegang oleh Golkar, sebelum reformasi (Harmoko) dan sesudah reformasi (Akbar Tanjung). Kursi inipun tetap dipertahankan oleh Golkar pada tahun 2004 dengan menempatkan Agung Laksono. Sejak tahun 1977 – 2014, kursi ketua DPR hanya sempat ‘tercuri’ olehPartai Demokrat (Marzuki Ali) pada tahun 2009. Selebihnya posisi ketua DPR sudah memang ‘jatah’ Golkar. Ketika MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara setelah amandemen UUD 1945, Golkar tak terlampau peduli dengan jabatan ini. Golkar menyerahkan begitu saja kursi ketua MPR kepada PAN (Amin Rais dan Zulkifli Hasan), PKS (Hidayat Nur Wahid) dan PDIP (Taufik Kiemas). Kursi ketua MPR yang didapat oleh PDIP pada tahun 2009, justru saat suara PDIP dalam Pemilu 2009 berada pada posisi terendah 14,03%. Dan setelah Megawati-Prabowo kalah dalam pertarungan Pilpres dengan SBY-Boediono.
Pada Pilpres 2004, Golkar memainkan politik dua kaki. Secara formal Golkar memajukan Wiranto dan Salahudin Wahid. Namun Ketua Umum Golkar, Yusuf Kalla berpasangan dengan SBY dan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dan tetap saja Golkar berada di pusaran kekuasaan melalui Wakil Presiden Yusuf Kalla. Pada kabinet Indonesia bersatu, kader Golkar yang duduk sebagai Menteri tercatat Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris. Tak satupun kader PDIP yang duduk dalam jajaran kabinet. Tahun 2004 adalah tahun suram bagi PDIP. Dengan perolehan suara yang turun drastis dari 33,74% menjadi 19,82%. Tak satupun kursi ketua DPR, ketua MPR, Presiden/Wakil Presiden dan Menteri yang dijabat oleh kader PDIP. Sebaliknya Golkar meningkat dari 22,44% menjadi 23,45% dan menjadi partai pemenang Pemilu 2004.
Meskipun Golkar kalah dalam Pilpres tahun 2009 dengan ditandai perolehan suara Yusuf Kalla-Wiranto 12,41%.Masih lebih tinggi Megawati-Prabowo: 26,79%. Namun tetap saja Golkar mendapat jabatan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Agung Laksono menduduki jabatan Menko Kesra, MS Hidayat sebagai menteri perindustrian, Fadel Muhammad sebagai menteri Kelautan dan Perikanan, dan Mustafa Abubakar sebagai Menteri BUMN. Lagi-lagi PDIP tak memperoleh kursi di kabinet ini. Dengan perolehan hasil Pilpres 12,41%, Golkar dapat memperoleh empat jabatan Menteri. Sedangkan PDIP yang lebih tinggi mendapat 26,79%, tak mendapat satu kursipun. Bilapun membandingkan hasil Pemilu 2009, kedua partai ini tak terpaut jauh. Golkar mendapat 14,45% dan PDIP mendapat 14,03%.
Politik dua kaki Golkar sebenarnya (akan) dilakukan saat Pilpres 2014 yang lalu. Merapatnya Golkar dengan koalisi Prabowo Hatta atau KMP, terjadi di detik akhir menjelang deklarasi di rumah Polonia 19 Mei 2014. Sebelumnya Aburizal Bakrie yang ditolak mentah oleh Prabowo sebagai calon Wapres, berniat akan bergabung dengan koalisi Jokowi-JK.Kehadiran Golkar di rumah Polonia diwakili oleh Idrus Marham dan Tjijip Soetarjo. Namun, apa yang terjadi kemudian. Aburizal Bakrie dipilih menjadi Ketua Presidium KMP (28 September 2014) di kediaman Prabowo. Jabatan ini bukan diserahkan kepada PAN, PKS atau PPP yang telah menyatakan merapat lebih awal ketimbang Golkar. Bahkan tidak kepada Gerindra sekalipun.
Jika hal ini dikaitkan dengan kehadiran elit PPP dan PAN dalam Rakernas PDIP di Semarang agak terasa janggal. Kenapa jabatan ketua Presidium KMP tidak diserahkan kepada PKS?. Dalam soal soliditas kader, PAN, PKS dan Gerindra kuat bertahan di KMP. Terbukti beberapa kali voting terbuka dan tertutup di DPR, fraksi PAN, PKS dan Gerindra tetap satu suara. Berbeda sekali dengan Golkar.11 kader Golkar diantaranya Nusron Wahid, Poempida Hidayatulloh dan Nudirman Munir membelot dan mendukung opsi dari KIH. Bahkan pertemuan terakhir antara Aburizal Bakrie dengan Jokowi tidak ditenggarai sebagai gejala Golkar yang ingin main dua kaki.
Apakah Golkar dan PDIP seteru abadi? Tidak ada dalam kamus Golkar, lawan dan kawan abadi. Golkar dengan kemampuannya dapat melakukan manuver apapun untuk menyatakan setuju atau menolak. Jika kemudian (misal) Nusron Wahid ditarik oleh Yusuf Kalla dalam kabinet Jokowi, apakah dapat dikatakan ada perseteruan didalamnya? Yusuf Kalla jelas Golkar. Surya Paloh hanya karena kalah dalam perebutan kursi ketua umum partai Golkar di Pekanbaru, lantas mendirikan Nasdem. Surya Paloh jelas Golkar dengan jaket warna yang beda. Termasuk Wiranto kader Golkar dari jalur ABRI dan penyokong pemerintahan Suharto. Hanura hanya warna jaket yang berbeda seperti halnya Nasdem. Isinya tetap sama: Golkar.
Ingatkah kita pada tahun 2004, Golkar membangun blok koalisi kebangsaan melawan koalisi kerakyatan (Demokrat). Golkar dapat merangkul PDIP untuk sama-sama menyerang pemerintahan SBY dengan isyu Century. Dan didalam jajaran pemerintahan sendiri, Aburizal Bakrie dapat menaklukan SBY tentang pembayaran ganti rugi akibat luapan lumpur Lampido. Lebih jauh, Aburizal Bakrie yang kepentingannya diganggu oleh Sri Mulyani berakibat Sri Mulyani terlempar dari kursi kabinet. Dan SBY lebih memihak kepada Aburizal Bakrie.
Golkar sangat piawai memainkan skenario “polisi baik-polisi jahat”. Menunjukan kepada publik seolah-oleh terjadi persetruan di dalam tubuh Golkar. Satu pihak mengatakan mendukung, pihak lain mengatakan menolak. Dua siasat dijalankan dalam waktu yang bersamaan. Dan satu lagi kecerdikan Golkar memainkan politik isolasi. Mereduksi masalah yang mencuat akibat prilaku oknum, orang bukan mewakili kepentingan Partai. Sehingga publik terkecoh dengan politik isolasi ini. Ambil contoh beberapa kasus korupsi. Zulkarnaen Djabar terpidana kasus korupsi Alquran jelas kader Golkar. Akil Mochtar jelas kader Golkar. Ratu Atut jelas kader Golkar. Dengan kemampuan politik isolasi Golkar, publik terseret pada sasaran yang keliru. Pada kasus Zulkarnaen Djabar, tudingan diarahkan kepada Departemen Agama yang brengsek bukan kepada Golkar.Pada kasus Akil Mochtar, tudingan terarah pada lembaga MK yang tidak bersih bukan kepada Golkar. Pada kasus Ratu Atut diisolasi akan keserakahan dinasti Atut di Banten bukan kepada Golkar. Bandingkan dengan kasus korupsi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaq. PKS yang tak mampu melakukan isolasi terseret dan anjloknya perolehan PKS saat Pemilu 2014. Bandingkan dengan kasus korupsi Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng. Demokrat yang tak mampu melakukan politik isolasi, berakibat partai Demokrat ikut terperosok.
Bila tak percaya, ikuti saja perkembangan kedepan. Meskipun Prabowo dan Jokowi telah “berdamai”, selama kepentingan Golkar tak terpenuhi, maka selama itu pula Golkar akan menggunakan kuda tunggangan KMP untuk menyerang pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, jika kepentingan kekuasaan dicapai, maka tak segan-segan Golkar akan meninggalkan KMP dengan seribu alasan. Golkar memang tidak ada matinya !.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H