Pramudya Ananta Toer menggugah kesadaran kita. Lewat roman sejarah, Arus Balik, Pram mencoba meromantisir kejayaan Nusantara. Kejayaan sebagai bangsa maritim yang tangguh dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Namun sekaligus Pram melancarkan kritik peradaban Nusantara yang tergerus oleh bangsa utara, terhimpit masuk hingga pedalaman. Menjadi bangsa yang kalah, berpikiran konservatif dan tak memiliki etos perlawanan. Sejak bangsa-bangsa utara meringsek masuk ke Nusantara, saat itulah dimulai babak kemunduran peradaban Nusantara. Arus telah berbalik arah.
Pada titik ini terjadi kesamaan pandang antara Pramudya dengan Soekarno. Maritim tidak sekedar hamparan kepulauan yang dikelilingi laut. Membangun bangsa maritim bukan sekedar bicara pemanfaatan sumberdaya laut atau membangun pertahanan laut. Membangun maritim berarti membangun atau membangkitkan kembali peradaban. Membangun karakter nasional sebagai bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain. Berorientasi keluar untuk menantang bangsa-bangsa lain. Bangsa yang pantang menyerah sebagaimana karakter pelaut yang ditempa oleh ganasnya ombak laut.
Tak mengherankan jika Soekarno, Pramudya atau M. Yamin, merujuk pada kejayaan Majapahit atau Sriwijaya sebagai simbol kejayaan Nusantara. Batas wilayah negara, bendera sangsaka merah putih, penggunaan bahasa sangsekerta seperti Pancasila salah satu rumusan yang diambil dari kejayaan Majapahit. Semasa jaya Gajah Mada di Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari Selatan ke Utara, segalanya : kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya, cita-cita dan citranya, semua bergerak dari Nusantara di Selatan ke “Atas Angin” di Utara.
Prihal kejayaan Majapahit, Pramudya mengangkat epos kepahlawanan Wiranggaleng. Seorang pemuda desa sederhana dari Tuban yang menantang kekuatan Portugis di Malaka. Sebagaimana Adipati Unus dari Jepara, putera Sultan Demak Raden Patah. Dimana sebelumnya pada 1511, Malaka sebagai bandar besar di Asia jatuh ke tangan Portugis dibawah kendali Alfonso d’ Albuqurque. Malaka adalah wilayah strategis di Semenanjung yang pernah dikuasai dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, tapi menandai perubahan arus perdagangan dunia di Asia. Kapal-kapal niaga dari Arab, Eropa, dan India tak berani singgah di bandar itu lagi, menghindari Portugis. Ini berarti ancaman juga buat Tuban. Kapal-kapal dagang asing tak berlabuh lagi di pelabuhan Tuban. Lalu-lintas dagang mereka telah diputus Portugis di Malaka. Adipati Unus yang mencoba mempersatukan Nusantara menyerang Malaka dengan gabungan pasukan Tuban-Banten, dua puluh ribu tentara laut Aceh-Jambi-Riau-Demak-Jepara. Walaupun pada akhirnya Adipati Unus telah dihajar meriam Portugis di perairan Semenanjung itu.
Sejak saat ituarmada Portugis bergerak ke Maluku dan Nusa Tenggara Barat. Membinasakan armada dagang Tuban dan Blambangan yang selama ini memonopoli Maluku. Portugis ingin menguasai sumber rempah-rempah. Sementara itu, kapal Portugis juga mulai masuk ke perairan Jawa, mendirikan benteng di Pamanukan dan mengintai Tuban. Arus sudah berbalik. Masa kejayaan kerajaan Nusantara telah lewat, ekspansi-ekspansi melewati samudra telah berhenti. Sebagai gantinya, armada laut asing muncul dari ujung selatan dan memasuki wilayah Nusantara, merebut kota-kota pelabuhan dan niaga. Inilah babak awal kapitalisme perdagangan di Nusantara.Sejak dijajah oleh kompeni, sejarah besar bangsa maritim Indonesia hancur lebur. Anthony reid, pengkaji sejarah marirtim Indonesia dari Australian National University, mengutip pernyataan Daghregister Batavia pada 1677 bahwa orang-orang mataram bagian timur jawa saat itu sudah tidak tahu-menahu lagi soal laut dan tidak lagi memiliki kapal besar sendiri sebagai pemenuh kebutuhan rakyat saat itu.
Roman Arus Balik adalah suatu epos pasca kejayaan Majapahit pada saat arus zaman yang membalik.Pada saat segalanya berubah – kekuasaan di laut menjadi kekuatan darat yang mengkerut di pedalaman, kemuliaan menukik ke dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendikia menjadi kedunguan dalam penalaran, kesatuan dan persatuan berubah menjadi perpecahan yang mematikan segala kegiatan. Menengelamkan kejayaan Majapahit (1293-1478) yang mampu memiliki pengaruh sampai ke negara Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China. Kejayaan Sriwijaya yang mengerahkan seratus ribu tentara laut melawan Funan.
Bung Karno, dalam acara National Maritime Convention (NMC) 1963mengatakan, "Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang kuat kalau rakyatnya tidak kawin dengan laut. Apabila bangsa Indonesia mempunyai jiwa samudra, jiwa pelaut, maka Indonesia menjadi bangsa yang besar.Membentuk Indonesia sebagai negara besar, kuat, makmur, dan damai yang adalah sebagai national building bangsa Indonesia. Sehingga negara bisa jadi kuat bila mampu mendominasi lautan. Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”.
Membangun bangsa maritim tidak sekedar memandang laut dan kelautan sebagai bentuk fisiknya atau physical property. Istilah maritim sesungguhnya lebih komprehensif, yaitu tidak hanya melihat laut secara fisik, wadah dan isi, tetapi juga melihat laut dalam konteks geopolitik. Jika kita memahami pengertian maritim hanya dalam pengertian terbatas yaitu laut sebagai fisik dan segala isinya, tentu sebagai konsekuensinya kita hanya memanfaatkan laut dari sisi sumberdayanya. Bahkan maritim direduksi sekedar pemanfaatan laut dan isinya dalam neraca ekonomi.
Membangun bangsa maritim berarti membangun peradaban. Membangkitkan peradaban Nusantara yang pernah jaya. Membangun karakter bangsa pelaut. Memiliki harga diri, demokratis, toleran, inklusif dan menjaga martabat. Sebagaimana karakter masyarakat pesisir yang pantang menyerah, pemberani, ekspansif, tak mengenal kasta, terbuka dengan perubahan. Membangkitkan bangsa maritim suatu kenisyaan sebagai tuntutan takdir georafis Indonesia yang 73% wilayahnya adalah laut. Kita mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan bukan sekedar menjaga hak milik negara, tapi menyangkut harga diri bangsa yang diperolok oleh bangsa lain.
Inggris dibawah WinstonChurchill (mantan First Lord of Admiralty) mendegungkan Inggris Raya. Meletakan kejayaan Inggris pada armada kapal perang. Demi Inggris Raya. Lalu mengapa kita sebagai bangsa yang secara jelas mengumandangkan Indonesia Raya tak mampu menjadikan Indonesia se”Raya” Inggris. Ke-Raya-an Inggris atau kejayaan Amerika dibawah Franklin Roosevelt (mantan Assistant Secretary of the Navy) diletakan pada kejayaan Maritim. Kemaritiman dapat memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara.
Indonesia sebagai gugusan pulau yang mencirikan sifat kemaritiman telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 25a, “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan ada titik cerah harapan setelah mendengar pidato kenegaraan Presiden Jokowi usai dilantik, “ Kita telah lama memunggungi laut, samudera, selat dan teluk. Sekarang saatnya kita mengembalikan semua, sehingga tercapai Jalesveva Jayamahe kembali membahana di laut kita jaya," . Namun demikian, sekali lagi saya tegaskan bahwa ke Maritim-an bukan sekedar program parsial untuk pemanfaatan sumberdaya laut atau memperkuat armada pertahanan laut. Membangun bangsa maritim adalah membangun peradaban yang menyangkut segala aspek kehidupan. Terutama membangun karakter bangsa yang bercirikan maritim.
Saat pemerintah sudah mulai bergeser orientasi pembangunan ke depan dari land based ke ocean based, ingatlah petuah Alfred Thayer Mahan (1660-1783) yang mengatakan ”Barang siapa yang menguasai laut akan menguasai dunia”. Tidak terbatas slogan dan nyanyian nenek moyangku seorang pelaut.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H