Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Kota Sebatik

18 Desember 2014   01:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:05 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun wilayah-wilayah perbatasan harus dengan orientasi kota. Wilayah perbatasan yang berpenghuni tidak cukup hanya menggunakan pendekatan politik dan pertahanan. Sebagaimana pendekatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Jakarta (sebutan untuk Pemerintahan Republik Indonesia). Lebih mempersoalkan tapal batas dan wilayah kedaulatan negara. Melakukan penyelesian diplomasi, penambahan pos-pos perbatasan dan terkadang menurunkan armada tempur. Mempertanyakan anak-anak sekolah dasar yang tidak hapal lagu Indonesia Raya. Hanya demi mempertahankan kedaulatan dan identitas negara Indonesia. Tetapi abai kepada manusia sebagai mahluk hidup yang bermukim di wilayah itu. Oleh karenanya, perlu melakukan kaji ulang atas pengertian perbatasan. Perbatasan dalam pengertian geografis-spasial tidak dapat dipaksakan kepada para penduduk (warga negara Indonesia) yang dapat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari negara dimana dia berada.

Penduduk di Sebatik contohnya. Hampir-hampir tidak mengenal batas negara. Bila tetangga belakang rumah di desa Aji Kuningyang masuk wilayah negara bagian Sabah adalah keponakan dan sanak saudara. Masih satu rumpun Bugis-Makasar. Masih agak lumayan jika hubungan kekerabatan itu dipisah oleh tembok Berlin. Dimana juga terdapat hubungan kekerabatan warga Jerman Barat dan Jerman Timur dimasa lampau. Di sebatik, kunjungan ke keluarga dan tetangga agak janggal bila harus menggunakan Pas Lintas Batas. Bahasa, kebiasaan, tradisi hingga bentuk rumah hampir tak berbeda baik di Pulau Sebatik utara atau selatan.

Bagaimana mungkin penduduk Sebatik mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari Indonesia bila dalam keseharian lebih banyak ke Tawau ke timbang ke Nunukan. Selain masalah jarak tempuh -- 15 menit ke Tawau dan 1,5 jam ke Nunukan--, juga menyangkut ketersediaan fasilitas dan mahalnya ongkos. Bagaimana kita bertanya tentang Nasionalisme, jika penduduk lebih senang menggunakan mata uang Ringgit ketimbang Rupiah. Bila penduduk lebih bangga dengan Tawau ketimbang Nunukan. Menurut data statistik kegiatan Pos Imigrasi di tahun 2011, kunjungan WNI menuju Tawau mencapai 29 ribu orang. Sedangkan WN Malaysia menuju Sebatik hanya 108 orang.

Selama paradigma pemerintah Jakarta hanya terpaku pada pendekatan pertahanan dan politik, niscaya masalah Sebatik tak akan terselesaikan. Andaipun terjadi pertikaian yang berujung pada Mahkamah Internasional, sudah bisa dipastikan penduduk Sebatik lebih memilih bermigrasi ke Sabah.

Penyelesaiannya hanya satu: jadikan wilayah perbatasan yang berpenghuni sebagai Kota. Sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Thailand dan Myanmar. Hampir semua wilayah di perbatasan dibangun dengan orientasi Kota. Pengertian Kota tidak dapat disamartikan dengan wilayah administrasi sebagaimana pengertian Depdagri. Untuk menjadikan Sebatik yang saat ini masih berstatus Kecamatan dinaikan menjadi Kota atau Kabupaten harus merujuk kepada UU Pemerintah Daerah. Dengan ukuran seperti jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah kecamatan, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang memadai. Seakan mempersamakan masalah perbatasan dengan masalah daerah-daerah pemekaran pada umumnya.

Menjadikan Sebatik sebagai Kota tidak saja demi kepentingan administratif pemerintahan tetapi juga menyangkut mempertahankan identitas warga negara yang bermukim di wilayah itu. Agar penduduk tidak lagi memasarkan kakao, kelapa sawit, buah cengkeh ke pasar di Tawau. Agar jika ada penduduk yang sakit tidak perlu lagi pergi ke rumah sakit di Tawau. Agar nelayan punya bandar sendiri dan punya pabrik es balok sendiri. Agar penduduk juga bangga punya kota yang punya penerangan (listrik) yang memadai, tidak hanya memandang dengan miris begitu eloknya kota Tawau. Agar omset yang diperoleh Malaysia dari jual beli dari warga Sebatik ini mencapai Rp500 juta per hari, bisa dialihkan pada kota Sebatik sendiri.

Secara administratif, sudah cukup memberi dasar jika Pos Imigrasi Sebatik di Sungai Pancang berubah menjadi Kantor Imigrasi. Agar Polsek yang jumlahnya hanya 19 orang polisi itu bisa ditingkatkan menjadi Polres. Agar Koramil dengan satu kompi pasukan dapat ditingkatkan menjadi Kodim.

Membangun Sebatik sebagi Kota berarti membangun infrastruktur dan fasilitas yang lengkap. Dari jalan raya sampai ketersediaan air bersih. Membangun pasar, Bank, rumah sakit, pusat perbelanjaan hingga perguruan tinggi. Apa gunanya menambah personil dan pos perbatasan, jika produk makanan dan minuman trade mark Malaysia tersaji di setiap rumah penduduk di Sebatik. Apa gunanya memperketat jalur keluar masuk perbatasan, jika anak-anak sekolah lebih hapal lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku”. Bahwa menjaga dan mempertahankan wilayah kedaulatan Indonesia (geografis) itu penting. Tetapi lebih penting, memakmurkan warga negara Indonesia di Sebatik sebagai tanggung jawab utama pemerintah.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun