[caption id="attachment_383795" align="aligncenter" width="624" caption="Hidayat Nur Wahid. (Roderick Adrian Mozes/KOMPAS.com)"][/caption]
Ada suatu gejala aneh dalam konteks ketatanegaraan. Saat Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menjadikan informasi maya sebagai bahan pernyataan politik. Informasi maya yang dimaksud adalah kicauan Dwi Estiningsih lewat akun Twitter-nya @estiningsihdwi. Pernyataan politik yang disampaikan, diantaranya meminta Presiden Joko Widodo menegur Menteri BUMN Rini Suwandi. Dan menyatakan tindakan Menteri Rini bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan warga negara dalam beragama. Tulisan ini tidak akan mengupas apa isi dari kicauan Dwi Estiningsih. Sebab sudah ditulis oleh rekan Kompasioner Gatot Swandito lewat artikel Konyolnya Dokumen Hoax Kementerian BUMN Ini. Tulisan ini akan mengulas dalam konteks ketatanegaraan.
Pertama saya menelisik, apa kapasitas Hidayat Nur Wahid mengeluarkan pernyataan tersebut. Dari pelbagai media online, tertulis jelas kapasitas sebagai Wakil Ketua MPR RI. Bisa jadi, jika Hidayat Nur Wahid mengeluarkan pernyataan tersebut sebagai pengurus PKS dan dinyatakan di gedung DPP PKS, tulisan ini tidak akan pernah ada. Karena pengurus suatu partai politik tidak terikat dengan hukum tata negara sebagai pejabat negara. Namun jika pernyataan itu, mengatasnamakan sebagai Pimpinan MPR dan dinyatakan di gedung MPR, maka hukum tata negara berlaku. Hidayat Nur Wahid disebut Pimpinan MPR karena menurut Pasal 15 UU 17/2014 dan Pasal 19 Tatib MPR, Wakil Ketua MPR merupakan bagian dari Pimpinan MPR atau disebut Pimpinan MPR.
Pertanyaannya, apakah pernyataan politik yang disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid merupakan implementasi dari tugas dan kewenangan Pimpinan MPR atau tugas dan kewenangan MPR? Apa yang dilakukan oleh Hidayat Nur Wahid sebagai bentuk dari implementasi fungsi pengawasan kepada cabang kekuasaan eksekutif. Padahal Wewenang MPR (Pasal 4 UU 17/2014 jo Pasal 5 Tatib MPR) dan tugas MPR (Pasal 5 UU 17/2014 jo Pasal 6 Tatib MPR) tidak mencantumkan adanya fungsi tersebut. Demikian juga dengan tugas dan wewenang pimpinan MPR (Pasal 15 dan Pasal 16 UU 17/2014 jo Pasal 28 dan Pasal 29 Tatib MPR) demikian pula halnya. Lalu, tugas dan wewenang apa yang dijalankan oleh Hidayat Nur Wahid sebagai pejabat negara? Seolah-olah Hidayat Nur Wahid tidak dapat memisahkan mana tugas dan wewenang MPR dan tugas dan wewenang DPR. DPR jelas memiliki hak pengawasan. Sedangkan MPR atau pimpinan MPR tidak memilikinya.
Andaipun ada tugas pimpinan MPR sebagai juru bicara MPR (Pasal 16 ayat 1 huruf c UU 17/2014), itupun harus berkesesuian dengan tugas dan wewenang MPR. Lebih daripada itu dalam Tatib MPR ditegaskan bahwa kewenangan pimpinan Majelis mengeluarkan pernyataan politik merupakan pendelegasian tugas dari rapat pimpinan MPR.
Hal ini tidak menjadi rancu, andai Hidayat Nur Wahid menjabat sebagai pimpinan DPR atau ketua Komisi VI. Sementara ketua Komisi VI, Achmad Hafidz Tohir tidak pernah mengeluarkan pernyataan politik atas informasi maya di atas. Apakah Hidayat Nur Wahid hendak menurunkan drajatnya dengan mengambil alih tugas dan wewenang Komisi VI DPR ?
Kesalahan kedua, sebagai pejabat negara Hidayat Nur Wahid menggunakan informasi yang berasal dari dunia maya, sebagai bahan membuat pernyataan politik. Hal ini bukan masalah validitas informasi yang disampaikan. Apakah informasi tersebut benar atau salah. Namun sebagai pejabat negara, suatu pernyataan politik harus berdasarkan informasi yang resmi, legal dan normatif. Apalagi ini menyangkut kebijakan lembaga negara setingkat kementrian (BUMN). Tidak ada hambatan apapun pejabat negara setingkat pimpinan MPR untuk memperoleh dokumen resmi dari kementrian. Bila hal ini terlanjur menjadi tradisi, Hidayat Nur Wahid bisa-bisa menjadi “pimpinan twitter” (dalam tanda petik). Saban hari bertugas membaca informasi kicauan dan menjadikannya sebagai bahan membuat pernyataan politik. Terlepas validitas (benar atau salah) informasi itu.
Saya memahami pernyataan politik yang disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid, untuk menunjukan sikap empati dari PKS sebagai partai Islam. Tetapi PKS bukan terdiri dari satu orang. Banyak orang, banyak pengurus. Alangkah baiknya, jika pernyataan itu disampaikan oleh Ketua PKS, Anis Matta. Seperti yang disinggung diatas, tak terikat oleh hukum tata negara sebagai pejabat negara. Tetapi, bukan kapasitas saya mengajari Hidayat Nur Wahid untuk belajar berorganisasi.
Seringkali kita temukan pelbagai peristiwa dimana para pejabat negara tidak bisa menempatkan dirinya dalam kapasitas sebagai apa.Harus diakui sebagai mahluk sosial, setiap orang tidak menyandang satu status saja. Sebagai anak, sebagai ayah, sebagai warga masyarakat, sebagai karyawan, sebagai anggota ormas. Ada hukum (tertulis dan tidak tertulis) yang mengikat seseorang saat menempatkan diri dalam status tertentu. Seorang SBY yang mengeluarkan pernyataan politik dalam kapasitas sebagai Ketua Umum partai Demokrat, dinyatakan di Istana Negara dianggap melanggar hukum. Sebab Istana negara (fasilitas) bukan milik partai Demokrat. Seorang anggota Komisi VIII DPR membuat pernyataan politik atas kebijakan Menteri BUMN, dianggap tidak paham hukum. Karena merampas kewenangan dari Komisi VI. Dan lebih fatal, Hidayat Nur Wahid yang berkedudukan sebagai pimpinan MPR yang terhormat, tidak mampu membedakan mana tugas dan kewenangan DPR (khususnya Komisi VI) dengan tugas dan kewenangan Pimpinan MPR.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H