[caption id="attachment_385749" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi Kompasiana (kompas.com)"][/caption]
Berkembang wacana Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pilkada) akan diundur pelaksanaannya dari tahun 2015 menjadi tahun 2016.Wacana tersebut dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (sumber); Oleh Dirjen Otonomi Daerah KemendagriDjohermansyah Djohan (sumber); oleh Komisioner KPU Ida Budhiati (sumber); oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini (sumber). Disambut positif oleh Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor (sumber). Dan disambut baik juga oleh anggota Komisi II DPR RI Yandri Susanto (sumber).
Terlepas dari alasan-alasan persiapan penyelenggaraan seperti masalah regulasi, anggaran, persyaratan calon atau partai politik dan persiapan tahapan, pemerintah –dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara – tidak dapat menunda pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional dari tahun 2015 digeser ke tahun 2016. Sepanjang DPR tidak merevisi pasal 201 ayat (1) Perppu Nomor 1 tahun 2014 yang berbunyi “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2015”. Pilkada serentak secara nasional merupakan asas dan prinsip pelaksanaan Pilkada. Sebagaimana Pasal 3 Perppu 1/2014 yang berbunyi “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Terdapat 4 (empat) masalah atas wacana tersebut: (1) mengeser waktu pelaksanaan dari tahun 2015 menjadi tahun 2016; (2)dilaksanakan tidak serentak secara nasional; (3) penafsiran pelaksanaan Pilkada serentak; dan (4) impikasi penundaan pelaksanaan dari tahun 2015 menjadi tahun 2016.
Pelaksanaan pilkada dapat digeser dari tahun 2015 menjadi tahun 2016, jika DPR merevisi pasal 201 ayat (1) Perppu 1/2014. Dengan catatan jika Perppu 1/2014 disetujui oleh DPR dan menjadi undang-undang. Draft revisi undang-undang tersebut dapat dibahas secara bersamaan. Sepanjang DPR tidak merevisi pasal tersebut atau DPR belum memberi keputusan menyetujui atau tidak atas Perppu 1/2014, KPU tidak dapat mengeser pelaksanaan Pilkada dari tahun 2015 menjadi tahun 2016. Hal ini perlu dipertegas, sebab paradigma menunda pelaksanaan Pilkada sudah berlangsung sejak tahun 2005. Saat Pemda, DPRD dan KPUD merasa belum siap dan meminta penundaan pelaksanaan Pilkada. Hal itu dapat dibenarkan, karena UU 32/2004 sebagai payung hukum pelaksaan Pilkada sebelumnya tidak menyebutkan atau tidak memerintahkan pelaksanaan Pilkada pada waktu tertentu (tahun). Berbeda dengan Perppu 1/2014 secara eksplisit memerintahkan pelaksanaan Pilkada pada tahun 2015, 2018 dan tahun 2020.
Kedua, penafsiran frasa “serentak” pernah dimaknai berbeda oleh ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja. Dengan menyatakan Pilkada serentak dilakukan di hari yang berbeda dan per regional. "Jadi keserentakan itu sebaiknya dilakukan tidak di hari yang sama tapi per regional. Kalau diadakan nasional, saya rasa mobilisasi pengamanannya sangat sulit. Keserentakan itu bertingkat tidak dalam satu hari karena pertimbangan keamanan dan sengketa Pilkada," ucap Hakam(sumber). Tentu saja pendapat Abdul Hakam Naja tidak dapat dijadikan rujukan dikarenakan pasal 201 ayat (1) Perppu 1/2014 menyebutkan secara gamblang “dilaksanakan di hari dan bulan yang sama”. Dan Pasal 3 Perppu 1/2014 “serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Bila menilik dari proses pembahasan RUU Pilkada di DPR pada masa lalu, ketentuan tentang Pilkada serentak secara nasional sebagai jawaban atas masalah penggunaan anggaran yang besar. Atau jawaban atas poin kedua dari 10 poin yang diajukan oleh Fraksi Partai Demokrat untuk penghematan dan pemotongan anggaran. Dengan Pilkada serentak diasumsikan dapat memotong anggaran negara hingga 40%.
Ketiga, tafsir pelaksanaan Pilkada serentak dikemukakan oleh Dirjen Otda Djohermansyah Djohan. “Jadi yang dimaksud pilkada serentak itu tidak hanya pencoblosan atau pemungutan suaranya saja, tetapi juga serentak pelantikannya“ ujar Djohermansyah (sumber dan sumber). Tafsir ini jelas menyesatkan. Pasal 201 ayat (1) Perppu 1/ 2014 secara terang benderang tertulis “Pemungutan suara serentak”. Pasal tersebut tidak memerintahkan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional untuk tahap-tahap penyelenggaraan lain diluar tahap pemungutan suara.Dengan menyatakan bahwa yang dimaksud “serentak” juga berarti “serentak pelantikannya”. Padahal dalam pelaksanaan Pilkada selama ini, jadwal pelantikan masing-masing daerah berbeda. Perbedaan itu disebabkan paling tidak dua faktor: (1) ada tidaknya Pilkada putaran kedua; dan (2) ada tidaknya gugatan ke pengadilan yang berwenang menangani perselisihan hasil Pilkada (dahulu ditangani oleh Mahkamah Konstitusi).
Bisa jadi pendapat Djohermansyah merupakan usul atau pendapat agar arti “serentak” tidak saja pemungutan suara tetapi juga pelantikan harus juga serentak. Bila hal tersbut merupakan usul, sungguh masuk akal. Sebab jika Kepala Daerah terpilih dilantik pada tahun 2016, maka masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2021. Sedangkan Pasal 201 ayat (5) menyatakan “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di seluruh wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2020”. Artinya jika Pasal 201 ayat (1) diubah menjadi tahun 2016, maka konsekwensinya Pasal 201 ayat (5) pun harus diubah menjadi tahun 2021.
Keempat, jika DPR menyetujui Perppu 1/2014 menjadi undang-undang dan merevisi Pasal 201 ayat (1), maka yang perlu diperhatikan implikasi penundaan ke tahun 2016. Dalam catatan Kemendagri, hampir sebagian besar masa jabatan kepala daerah berakhir pada bulan Oktober 2015. Dalam masa kekosongan jabatan, pemerintah akan menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah. Masalahnya, Pelaksana Tugas (Plt) tidak memiliki wewenang untuk menetapkan APBD 2016. Padahal, APBD 2016 dibahas pada akhir 2015. Seperti yang dikemukakan oleh Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo (sumber). Mau tidak mau Pemda menggunakan APBD 2015.
Masalah APBD menjadi hal yang krusial dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2015 atau diundur menjadi tahun 2016. Dalam Pasal 200 ayat (1) Perppu 1/2014 disebutkan “ Pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dilaksanakan pada tahun 2015 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Sementara saat ini beberapa Pemda tidak memiliki kecukupan anggaran untuk melaksanakan Pilkada. Seperti yang terjadi di Bengkulu. Anggaran Pilgub Bengkulu 2015 yang diajukan oleh KPU sebesar Rp 120 Miliar, hanya disetujui oleh DPRD Provinsi sebesar Rp 30 Miliar. Hal ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya. Misalnya Pilkada tahun 2005 (Pilkada pertama kali). Pasal 234 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan “ Pendanaan kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakilkepala daerah yang diselenggarakan pada tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD”.
Jika kemudian Pemda tidak mampu menanggung beban pembiayaan pelaksanaan Pilkada, bagaimana cara memecahkan masalah ini? Sementara ketentuan hukum menyatakan anggaran tersebut dibebankan (sepenuhnya) pada APBD tanpa ada klausul APBN. Akibatnya, pelaksanaan Pilkada bisa ditunda kembali. Atau beberapa daerah tidak dapat melaksanakan Pilkada serentak secara nasional, pada hari dan bulan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Bila satu daerah (Propinsi/.Kabupaten/Kota) saja dari 204 daerah (8 Provinsi, 170 Kabupaten dan 26 Kota) yang tidak dapat melaksanakan Pilkada pada hari dan bulan yang telah ditetapkan (2015 atau 2016), maka pemerintah dapat dianggap melanggar hukum. Karena tidak mematuhi ketentuan atau tidak menjalankan perintah pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H