Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Etika Budi Gunawan

20 Januari 2015   19:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu pekan lewat, muncul wacana atau usul agar Komjen Budi Gunawan mengundurkan diri. Maksudnya, mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai Kapolri. Karena yang bersangkutan telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka. Ulasan pengunduran diri tersebut paling tidak termuat pada dua tulisan kompasioner. Rekan Gunawan dalam tulisan berjudul Pak BG Legowo Mengundurkan Diri, dan rekan Mike Reyssent dengan tajuk Lebih Baik Komjen Pol Budi Gunawan Mengundurkan Diri. Rekan Gunawan,memberi tanggapan atas pernyataan mantan Wakapolri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno yang menyarankan Komjen Budi Gunawan mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai Kapolri.Rekan Gunawan menyatakanusul itu tidak tepat, “Seharunya kata yang tepat adalah beliau harus menolak penunjukkan [sebagai calon Kapolri oleh Presiden] itu”. Sementara Rekan Mike Reyssent berpendapat jika Komjen Budi Gunawan mempunyai hati nurani, maka akan lebih elegan kalau Budi Gunawan mengundurkan diri dari bursa calon Kapolri. Baik pendapat atau usul Oegroseno maupun Mike Reyssent punya kesamaan: Komjen Budi Gunawan mundur dari pencalonan Kapolri ?

Tulisan ini merupakan tanggapan saya atas usul itu. Pertanyaannya: apa dasar hukum Komjen Budi Gunawan (harus) mengundurkan diri dari pencalonan Kapolri? Dasar hukum sering saya pergunakan untuk memberi landasan argumen. Sehingga jika ada usul atau saran menyangkut kedudukan pejabat negara tidak berdasarkan hukum, sulit bagi saya menerimanya. Atas alasan hukum ini, ada yang menyatakan (saya lupa namanya) di media massa, bahwa diatas hukum ada etika dan moral. Termasuk beberapa komentar kompasioner pun menyinggung perihal etika dan moral ini. Tetapi tetap saja, saya sulit menerimanya yang (mungkin) terlalu kaku memaknai hukum positif di Indonesia. Karena apa dan bagaimana ukuran etika dan moral itu? Bisa jadi yang dimaksud adalah hukum tidak tertulis. Inipun sesungguhnya hukum meskipun tidak terkodifikasi. Konvensi, tradisi dan bahkan yurispridensi merupakan bagian dari hukum tidak tertulis itu. Lalu, etika dan moral tadi adakah masuk dalam konvensi, tradisi dan yurisprudensi yang telah terjadi sebelumnya?Sehingga mudah untuk membuat ukuran.

Dalam hukum positif Indonesia, pada dasarnya etika telah terumuskan dalam wujud pedoman. Seperti di institusi kepolisian, ada Keputusan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian. Dalam cakupan lebih luas, ada Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dua aturan hukum inilah yang dapat menjadi alas hukum untuk memberhentikan atau meminta Komjen Budi Gunawan mengundurkan diri karena telah dianggap melakukan pelanggaran etik. Meskipun aturan hukum itu (khususnya Tap MPR) tidak lagi bersifat mengatur (regelling) hanya sebatas penetapan (beschikking). Namun, apapun itu ada alas hukum (positif) untuk meminta Komjen Budi Gunawan mengundurkan diri. Dengan alasan etika dan moral.

Hanya yang perlu digarisbawahi pengunduran diri yang dimaksud bukan pada pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Kedua aturan di atas yang berisi etika itu, tidak mencantumkannya. Pengunduran diri yang dimaksud adalah mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam hal ini meminta Komjen Budi Gunawan mundur dari Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Kalemdiklat) Polri. Dasarnya adalah Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Bab II Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa, Bagian 2. Etika Politik dan Pemerintahan, dengan kalimat “ Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara”. Ditambahkan dalam uraian selanjutnya “ Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatannya apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dalam uraian sebelumnya, dijelaskan yang dimaksud dengan etika politik dan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan.

Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 inilah yang dijadikan alas hukum, pengunduran diri Jero Wacik, Andi Malaranggeng dan Suryadarma Ali dari jabatannya sebagai menteri setelah KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka. Bila dibandingkan dengan dasar hukum yang bersifat mengatur (regelling)seperti UU MD3, UU Kepolisian dan UU Kementrian, seseorang dapat diberhentikan jika sudah dinyatakan bersalah berdasarkam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan dalih menggunakan asas praduga tidak bersalah. Namun, yang harus diingat kedudukan secara hirarki Tap MPR berada diatas undang-undang (vide pasal 7 ayat (1) UU 12/2011). Semakin ditegaskan dalam ayat 2, “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangansesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud padaayat (1)”. Artinya jika harus memilih, Tap MPR yang harus didahulukan ketimbang undang-undang. Seorang pejabat negara yang telah melanggar kaidah dan sistem nilai, harus siap mundur dari jabatannya. Bukan menunggu adanya putusan pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah terlebih dahulu. Bisa jadi, disinilah letaknya beberapa kalangan menyebut diatas hukum ada etika dan moral. Saya tidak menyebutkan demikian. Diatas undang-undang, ada Tap MPR yang berisi tentang etika politik dan pemerintahan. Batasan etika dan moral tertulis dan ada dalam uraian dalam Tap MPR tersebut. Komjen Budi Gunawan yang telah ditetapkan sebagai tersangka, jika sampai hari ini belum siap mundur, bisa diartikan sebagai pejabat penyelenggara negara, dia tidak punya etika. Sebagaimana yang dimaksud dalam Tap MPR di atas.

Apa konsekwensi jika Komjen Budi Gunawan mengundurkan diri? Tentu statusnya tidak lagi menyandang sebagai perwira tinggi kepolisian aktif. Bila begitu, syarat sebagai calon Kapolri gugur dengan sendirinya. Sebab menurut Pasal 11 ayat (6) UU 2/2002, salah satu syarat calon Kapolri adalah perwira tinggi kepolisian yang masih aktif. Karena Komjen Budi Gunawan, adalah calon tunggal, tinggal Presiden Joko Widodo mengganti dengan calon lainnya. Tinggal sekarang, apakah Komjen Budi Gunawan punya etika dengan siap mundur dari jabatannya? Ditunggu !.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun