Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pimpinan KPK “Manusia Setengah Dewa”

27 Januari 2015   19:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Desakan dari beberapa kalangan agar Presiden Jokowi segera mengeluarkan perppu hak imunitas untuk pimpinan KPK semakin gencar. Anehnya, beberapa pihak yang menyuarakan hal tersebut, jauh sebelumnya pernah menolak disematkan hak imunitas baik untuk pejabat notaris, kepala daerah dan anggota DPR. Penolakan yang ditunjukan dengan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan dengan alasan konstitusional yang mengutip asas persamaan di depan hukum. Pada kali ini, sebaliknya menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan hak imunitas kepada pimpinan KPK. Ada standar ganda yang digunakan. Tidak salah jika saya beranggapan, bahwa pembelaannya lebih condong pada orang (pimpinan KPK saat ini), bukan pada KPK secara kelembagaan.

Dalam konteks peristiwa yang saat ini terjadi di KPK, perppu atau undang-undang sebagai norma hukum tidak ditujukan kepada orang tetapi pada jabatan yang namanya pimpinan KPK. Ketentuan itu tidak hanya berlaku untuk pimpinan KPK saat ini saja, tetapi berlaku selamanya sebelum ketentuan itu dicabut. Lebih dari itu, argumen asas dan norma kontitusi-lah yang harus menjadi rujukan utamanya.

Argumen yang sering dikemukakan agar pimpinan KPK tidak tersandera dengan kesalahan masa lalu. Dengan anggapan semua orang punya catatan masa lalu yang dianggap jelek dan dapat diungkap dikemudian hari. Mengapa hal ini dikhawatirkan? Pertanyaan dasarnya, mengapa berani mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK, kalau kuatir punya catatan masa lalu yang jelek?

Saya beranggapan semua pimpinan KPK adalah “manusia setengah dewa” yang hampir tidak memiliki catatan masa lalu yang jelek. Mengapa? Semua calon pimpinan KPK melalui tahap pengujian oleh panitia seleksi dan DPR. Syarat untuk menjadi pimpinan KPK salah satunya “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” (vide Pasal 29 angka 6 UU KPK). Norma yang hampir mirip dengan salah satu alasan untuk pemakzulan Presiden/Wakil Presiden (vide Pasal 7A UUD 1945). Frasa “perbuatan tercela” memiliki makna yang lebih luas ketimbang hukum positif. Norma-norma sosial yang hidup dimasyarakat dapat dijadikan suatu ukuran perbuatan dianggap “tercela” atau tidak. Pendek kata, perbuatan tercela belum tentu melanggar hukum pidana. Sebaliknya, seseorang yang melanggar hukum pidana sudah dipastikan dia melakukan perbuatan tercela.

Syarat pimpinan KPK itu mewajibkan panitia seleksi untuk meminta masukan dan tanggapan dari masyarakat selama satu bulan. Bila seorang calon pimpinan KPK pernah tersandung masalah hukum, dengan mudah panitia seleksi meminta catatan baik dari kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Namun, karena “perbuatan tercela” memiliki makna yang lebih luas, tanggapan dari masyarakat itu juga menjadi bahan pertimbangan panitia seleksi. Satu contoh, mabuk-mabukan bukan tindak pidana tetapi dianggap tercela oleh masyarakat. Melakukan “penelitian” ke tempat prostitusi bukan tindak pidana, tetapi dianggap perbuatan tercela. Dengan instrumen ini saja, panitia seleksi dapat menggugurkan pencalonan pimpinan KPK. Artinya, calon pimpinan KPK yang disodorkan oleh panitia seleksi ke DPR sudah tidak memiliki catatan masa lalu yang jelek. Letak uji kepatutan dan kepantasan bersandar (salah satunya) pada syarat “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” berada pada panitia seleksi. Dan saya masih percaya pada kredibilitas dan integritas para anggota panitia seleksi.

DPR sebatas melakukan pemilihan dari beberapa calon yang lolos dari uji kepatutan dan kepantasan yang dilakukan oleh panitia seleksi. Walaupun sering juga, Komisi III DPR melakukan uji kepatutan dan kepantasan secara sekilas. Tapi, saya tidak percaya pada anggota DPR membuat tahapan ini. Sebagai lembaga politik, pertimbangan anggota DPR lebih menjurus pada akomodasi kepentingan. Seperti misal, terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua KPK tak bisa dilepaskan pengaruh kuat partai Demokrat saat itu di Komisi III DPR. Tetapi, tidak berhubungan dengan syarat “perbuatan tercela” yang mungkin pernah dilakukan dimasa lalu.

Satu-satunya kesalahan yang dapat menimpa pimpinan KPK hanya perbuatan yang dilakukan saat menjabat sebagai pimpinan KPK. Bukan perbuatan masa lalu, yang sudah disaring oleh panitia seleksi. Apakah perbuatan tindak pidana atau pelanggaran etik. Misalnya, pimpinan KPK ingkar janji untuk membayar hutangnya di Bank. Perkara perdata macam ini dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran etika profesi pimpinan KPK. Pelanggaran etika itu begitu luasnya. Contoh lain, pimpinan KPK muslim, saat bulan Ramadhan tidak berpuasa dan asyik merokok di ruangannya. Dalam Kode Etik pimpinan KPK, perbuatan ini sudah dianggap melanggara etika.

Dengan ketatnya proses seleksi calon pimpinan KPK yang menelisik catatan masa lalu dan adanya rambu kode etika profesi, apakah masih diperlukan adanya hak imunitas? Yang dibutuhkan oleh KPK dan jajaran didalamnya adalah legalitas sosial. Dukungan masyarakat yang menaruh kepercayaan begitu besar pada lembaga ini. Karena sedari awal, syarat menjadi pimpinan KPK membutuhkan legitimasi norma sosial berupa “tidak pernah melakukan perbuatan tercela”. Berbeda dengan syarat, misalnya “tidak pernah dijatuhi hukuman”. Legalitas hukum positif yang jadi alasanya. Oleh karena itu, dukungan masyarakat yang diperlukan bukan dukungan hukum positif.

Tentang “kesalahan politik” karena pimpinan KPK dekat dengan lingkaran kekuasaan, saya kira ini terjadi pada semua pimpinan KPK. Tidak ada pimpinan KPK yang “bersih secara politik” . Suatu konsekwensi logis dari ketentuan undang-undang, dimana pimpinan KPK dipilih oleh DPR. Proses pemilihan itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan intervensi politik. Terutama untuk jabatan ketua KPK, negosiasi politik pasti terjadi. Bila hal ini dianggap mengganggu kinerja pimpinan KPK, satu jalannya, melakukan uji materi Pasal 30 ayat (10) UU KPK dengan mengubah frasa “wajib memilih” dengan “menyetujui”. Seperti halnya pimpinan Komisi Yudisial (KY), DPR tidak memilih tetapi menyetujui atau menolak usulan pemerintah. Pasal ini ada setelah MK melakukan konstitusional bersyarat dengan mengganti kata “dipilih” dengan “menyetujui”. Dengan begitu upaya intevensi politik pada pemilihan pimpinan KPK dapat diminimalisir. Sebatas diminimalisir dan tidak dapat dihilangkan secara penuh.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun