Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sakit Hati dengan Jokowi

30 Januari 2015   00:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya tertarik membaca tulisan rekan Syaripudin Zuhri dengan artikelnya yang berjudul Siapa Suka Ada Konflik KPK vs Polri?. Awalnya saya ingin memberi komentar di artikel tersebut. Tapi saya sadar, apa yang ingin saya sampaikan terlampau panjang untuk dimuat dalam kolom komentar itu. Maka, saya tulis saja dalam artikel ini. Pada pokoknya saya sependapat dengan rekan Syaripudin Zuhri. Saya hanya ingin mengelaborasi argumen yang disampaikan dalam artikel tersebut.

Syaripudin Zuhri menyebut kelompok keempat yang disebutnya sebagai pihak-pihak “barisan sakit hati”. Orang-orang yang sedang menunggu jatuhnya pemerintahan Jokowi. Namun identitas siapakah orang-orang itu? Syaripudin Zuhri hanya menyebut [Bisa saja mereka yang sakit hati karena tak terpilih oleh Jokowi menjadi menteri atau tidak masuk ke dalam unsur pemerintahan, padahal mereka sudah ikut dalam barisan yang mengusung Jokowi menjadi presiden]. Meskipun agak ragu menyebutkan dengan mengawali kalimat dengan kata “bisa saja”, tetapi nampaknya rekan Syaripudin Zuhri lebih menitiktekankan pada determinasi politik dan hanya terbatas orang-orang yang sebelumnya mendukung pencalonan Jokowi sebagai calon Presiden. Disini letak perbedaan dengan pendapat saya.

Saya lebih condong pada determinasi ekonomi ketimbang politik. Memang ada beberapa orang yang mengharap kedudukan dan jabatan di pemerintahan untuk memperbesar pengaruh politik dan meningkatkan status sosial. Tetapi, saya percaya bahwa kekuasan politik yang ingin dicapai hanya alat semata. Tujuannya untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Ringkasnya keserakahan akan uang dan harta yang mendorong orang untuk merebut kuasa (politik). Lazim disebut kekuasaan oligarki.

“Barisan sakit hati” ini bukan saja tidak mendapat kedudukan atau jabatan di pemerintahan secara individu maupun kelompok, tetapi kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang baru berumur 100 hari punya potensi untuk menghancurkan niat jahat dan keserakan itu. Jadi saya menilai ocehan Effendi Simbolon yang menyerang pemerintahan Jokowi (padahal ada dalam satu partai yang sama) bukan sekedar dia gagal menduduki jabatan sebagai Menteri BUMN atau ESDM yang memang diincar sejak lama. Tetapi usaha kartel yang dia miliki terancam diberangus oleh kebijakan pemerintahan Jokowi.

Sosok Effendi Simbolon hanya satu bagian kecil dari sekelompok “barisan sakit hati” yang muncul dipermukaan. Banyak sekali pengusaha, mafia dan para pemburu rente yang turut “sakit hati”. Coba kita lihat apa saja kebijakan Jokowi dibidang yang banyak diincar para pemburu rente.

Setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden dan Kabinet terbentuk, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan berencana memanfaatkan potensi dana orang Indonesia yang parkir diluar negeri khususnya Singapur. Menkeu mendapatkan data dari PPATK yang melacak lalu lintas uang haram yang ada di luar negeri (offshore). Seorang yang bekerja sebagai Fund Manager di Singapur mengatakan bahwa beberapa nasabah kakapnya mulai panik dengan sikap pemerintah Jokowi yang akan melakukan upaya hukum G to G. Menarik dana parkir yang diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah itu pulang kampung. Sebagian dana yang parkir di Singapur itu adalah dana para konglomerat hitam yang menjarah dana BLBI, disamping juga dana hasil dari rente business di Indonesia yang terkait dengan mafia migas, mafia pupuk, mafia mining dan mafia fishing.

Selama pemerintahan terdahulu, Indonesia adalah surga bagi penjarah hasil tambang, hasil laut, illegal loging dan korupsi dana APBN yang melahirkan mega scandal. Dana hasil kejahatan ini bersama dengan dana BLBI terbang keluar negeri dengan jumlah mencapai ribuan triliun rupiah. Data yang dipublikasikan oleh Ford Foundation melalui laporan Global Financial Integrity sampai dengan 2010 jumlah dana asal Indonesia yang parkir diwilayah offshore mencapai USD 108,89 milliar atau setara dengan Rp. 1500 triliun. Dana ini terus bertambah yang konon kini mencapai lebih dari USD 200 miliar.

Awalnya para pengusaha hitam ini turut aktif mendukung pencalonan Jokowi dan Prabowo lewat partai-partai pengusung. Namun setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden, Jokowi tidak pernah merasa mendapat sokongan itu. Bisa jadi sokongan itu ditelan oleh para tim sukses atau pengurus partai politik pengusung. Jokowi merasa tidak berhutang apapun pada mereka. Selama pemerintahan SBY, mereka relatif aman dan terlindungi. Melawan mereka sama saja cari penyakit. Dengan kekuatan uang yang dimiliki, mereka bisa melakukan apa saja dan membeli siapa saja. Kebijakan Jokowi yang memburu dana BLBI dan uang haram yang diparkir diluar negeri inilah yang membuat mereka gerah.

Pada waktu bersamaan pemeritah Jokowi membuat aturan keras membatasi business rente. Subsidi pupuk dihapus, bisnis mafia pangan rontok. Subsidi BBM dihapus, bisnis mafia migas rontok. Akibat aturan keras izin penangkapan Ikan, mafia ikan rontok. Memperketat hutan lindung dari penjarah kayu, penjarah lari, hutan lestari. Ketentuan keharusan pengolahan hasil tambang didalam negeri tidak bisa ditawar lagi. Harus dilaksanakan atau izin dicabut. Ini membuat mafia Mining kecut. Aturan pajak diperketat dan jangkauan pajak diperluas, sehingga modus operasi transfer pricing semakin sulit dilaksanakan.

Terdengar kabar aturan dan kebijakan keras Jokowi ini yang membuat para konglomerat hitam dan pengusaha rente bersatu untuk melawan Jokowi. Termasuk orang-orang partai pengusung Jokowi sendiri yang keinginan untuk mengejar rente terhambat. Dengan memanfaatkan isyu pertikaian Polri-KPK, mereka turut bermain. Pada satu sisi menyokong kelompok-kelompok penekan untuk melemahkan pemerintahan Jokowi, sisi lain mengalihkan isyu sumber daya alam sebagai sumber jarahan menjadi isyu politik hukum semata.

Tidak mengherankan jika KMP dan KIH bersatu untuk menyerang pemerintahan Jokowi. Karena kepentingan orang-orang didalamnya sama-sama dirugikan dengan kebijakan Jokowi yang keras memberantas para mafia. Keterlibatan anggota DPR dalam skandal ini, dapat dilihat saat Menteri Susi langsung tunjuk hidung orang yang terlibat pada mafia perikanan saat dengar pendapat dengan DPR. Kekuatan para mafioso ini memang sulit untuk dilawan dan hampir tak tersentuh oleh hukum. Mereka punya uang, yang bisa melakukan apa saja dan membeli siapa saja.

Demikian dugaan dan pendapat saya. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun