Ini kisah tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Kisah yang bersumber dari hasil riset kecil saya. Riset ini lahir dari rasa penasaran. Berawal saat muncul polemik hukum setelah Presiden SBY menerbitkan Perpu Pilkada di penghujung masa jabatannya. Memperdebatkan alasan konstitusional terbitnya Perpu itu. Setelah saya telisik secara singkat, sejak Presiden Habibie, setiap penerbitkan Perpu selalu menimbulkan kehebohan. Dengan polemik alasan konstitusional serupa. Bertambah penasaran, ketika Daniel Yusmic, dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta bilang sejak zaman Presiden Soekarno sampai Presiden SBY, sudah terbit 207 Perpu. Saya coba hitung ulang, rupanya jumlahnya berbeda. Hitungan saya 169 bukan 207 Perpu. Sialnya, lembaga-lembaga yang kompeten seperti Sekretariatan Negara, Badan Arsip Nasional, Kementrian Dalam Negeri, DPR RI, Komisi Hukum Nasional sampai lembaga kajian hukum di Universitas memiliki jumlah inventarisasi yang berbeda-beda. Bahkan tidak semua Perpu berhasil diinventarisir. Salah satu masalahnya, penomoran Perpu yang diterbitkan era Presiden Soekarno tidak urut. Disatukan dengan penomoran dalam katagori Peraturan Pemerintah (PP). Dari rasa penasaran itulah, saya melakukan riset kecil. Maksudnya kecil, riset ini tidak dibiayai oleh lembaga manapun dan bukan juga untuk bahan penulisan karya tulis ilmiah. Hanya sekedar memenuhi hasrat keingintauan saja.
Ketentuan tentang Perpu ini menjadi semakin unik, ketika MPR pasca reformasi tidak mengubah Pasal 22 UUD 1945. Pasal ini tetap berbunyi sebagaimana teks asli dan tidak diutak-atik. Artinya 169 Perpu yang diterbitkan oleh semua Presiden Indonesia menggunakan rujukan norma konstitusi yang sama. Dari Perpu 1/1946 sampai Perpu 2/2014. Dan menggunakan alasan yang sama “kegentingan yang memaksa”. Demikian juga lembaga legislatif dari BP KNIP, DPR GR sampai DPR untuk menyatakan sikap: setuju atau menolak menggunakan Pasal 22 ayat (2). Norma konstitusinya tidak lapuk oleh zaman. Hanya tafsir masing-masing zaman yang berbeda-beda. Sampai sekarang, besok dan hari-hari kedepan, tafsir itupun akan terus menjadi polemik. Tafsir akan alasan konstitusional yang berbunyi “hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Banyak pendapat dan rujukan yang digunakan untuk menafsirkan frasa itu. Soepomo menafsirkan pasal tersebut yang ditulis dalam Penjelasan UUD 1945. Kata Soepomo “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agarsupaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat”. Akan tetapi beberapa ahli hukum menyatakan Penjelasan UUD 1945 yang dibuat oleh Soepomo itu bukanlah tafsir otentik. Sebab Rapat BPUPKI yang mensahkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 pukul 15.45 WIB tidak ada menyertakan Pejelasan UUD 1945. Meskipun tidak bisa dipungkiri, rumusan Pasal 22 itu memang berasal dari Soepomoyang saat itu menjadi ketua Panitia Kecil Perancang UUD dan Panitia Penghalus Bahasa.
Apakah sama arti “kegentingan yang memaksa” (Pasal 22) dan “keadaan bahaya” (Pasal 12)? Secara normatif berbeda. Kegentingan yang memaksa sebagaimana Penjelasan Soepomo adalah noodverordeningsrech atau staatsnoodrecht obyektif. Sedangkan keadaan bahaya adalah staatsnoodrecht subyektif.Keadaan bahaya lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) sedangkan dalam kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal).Bahwa apa yang dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya. Tetapi cukup apabila menurut keyakinan presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat sama dengan undang-undang.
Saya berkesimpulan bahwa alasan terbitnya Perpu lebih kepada pertimbangan subyektif Presiden dalam memaknai “kegentingan yang memaksa”. Dan kemudian menjadi obyektif, tatkala Perpu itu disetujui oleh DPR. Sesederhana itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Sebab jika mengacu kepada pendapat dan tafsir dari Soepomo, para ahli hukum tata negara sampai pendapat Mahkamah Konstitusi tidak akan ada ujungnya. Pada prakteknya dua pertimbangan itulah yang menjadi dasarnya. Artinya setiap Presiden punya pertimbangan subyektif masing-masing, demikian juga BP KNIP, DPR GR dan DPR saat menyetujui atau menolaknya.
Bisa kita lihat perbandingannya. Perpu pertama yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno saat Indonesia dalam tekanan agresi militer NICA. Perpu diterbitkan di Yogyakarta (ibukota dipidahkan) dan ditandatangani juga oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Alasan “kegentingan yang memaksa” mendapat pembenaran saat DPR belum terbentuk sementara 28 orang anggota BP KNIP terpencar-pencar. Kantor tidak punya, rapat berpindah-pindah kota. Mengharap BP KNIP berkumpul dan bersidang, Yogyakarta keburu dibabat habis oleh Belanda karena tidak memiliki Dewan Pertahanan Daerah.
Lalu dibandingkan dengan Perpu pertama yang diterbitkan Presiden Soeharto. Perpu tentang tanda kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci pada tanggal 1 Oktober 1968. Pertanyaannya kegentingan yang memaksa seperti apa yang terjadi sehingga Presiden harus selekasnya pengeluarkan Perpu perihal bintang kehormatan?. Bisa jadi hal ini terkait dengan hari ulang tahun ABRI ke-23 pada 5 Oktober 1968 yang digelar di parkir Timur Gelora Senayan, Jakarta. Saat itu Presiden Suharto memberikan tanda kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci kepada 12 perwira tinggi angkatan darat. Mengapa Angkatan Darat? Padahal jika mau dibilang genting, saat itu prajurit KKO (sekarang Marinir AL) yang bernama Usman dan Harun Said sedang menunggu dieksekusi gantung di penjara Changi Singapura.Menjadi aneh masih dalam tahun yang sama (1968) DPR GR menerbitkan dua undang undang tentang tanda kehormatan: UU Nomor 14 tahun 1968 tentang Tanda Kehormatan Bintang Jalasena. Dan UU Nomor 24 Tahun 1968 tentang Tanda Kehormatan Bintang Swa Bhuwana Paksa. Sekali lagi, pertimbangan subyektif Presiden yang menjadi penentunya.
Perpu yang diterbitkan Presiden habibie terbilang unik. Perpu tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Perpu ini lahir ditengah situasi maraknya gelombang demonstrasi gerakan reformasi dimana-mana. Perpu ini belum sempat dibahas oleh DPR, karena pemerintah menarik kembali Perpu tersebut. Perpu selanjutnya tentang Peradilan HAM, adalah Perpu pertama sepanjang sejarah Indonesia yang ditolak oleh DPR.
Dari empat Perpu yang diterbitkan oleh Presiden Megawati, Perpu tentang kehutanan yang sulit dicari pembenaran alasan “kegentingan yang memaksa”. Dalihnya saat itu, untuk menghindari gugatan dari perusahaan-perusahaan pertambangan ke arbitrase internasional.Perpu yang memberi izin pertambangan di kawasan hutan. Tetapi mau dibilang apa, sedangkan DPR menyetujui Perpu ini.
Serupa dengan Presiden Gus Dur yang menerbitkan Perpu tentang perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Dari isi Perpu tidak ada situasi yang mendesak sehingga Presiden perlu mengeluarkan Perpu. Tetapi jika ditautkan dengan habisnya waktu jeda kemanusiaan dan operasi militer di Aceh, Perpu ini bisa ditafsirkan sebagai intensif kepada rakyat Aceh. Mengakomodir harapan rakyat Aceh agar gerakan separatisme GAM bisa diredam. Perpu menjadi alat keamanan dan pertahanan negara, menjadi taktik Gus Dur. Walau isinya tentang ekonomi tetapi arahnya pada keamanan dan stabilitas di Aceh.
Sikap DPR tidaklah selalu lurus dan tegas untuk menyatakan setuju atau menolak Perpu. Sikap DPR saat menyatakan Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diterbitkan Presiden SBY tahun 2008. Menurut DPR, Perpu ini telah ditolak. Menurut pemerintah penolakan tersebut tidak jelas dan tegas. Sampai hari ini belum ada RUU atau Perpu yang secara resmi mencabut PERPU 4/2008.
Lepas dari itu semua, studi dan riset tentang Perpu sungguh menarik untuk melihat Indonesia dalam situasi abnormal. Ada situasi yang mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perpu. Membaca Perpu sama seperti menyusuri sejarah Indonesia ditengah pergolakan. Paling tidak menurut tafsir Presiden sendiri. Bagaimana sikap dan karakter seorang Presiden saat menghadapi tekanan, situasi genting dan menghadapi bahaya yang mengancam. Entah situasi genting itu berasal dari luar diri Presiden atau berasal dari pikiran dan ciptaan Presiden sendiri.
169 Perpu tersebut memiliki corak dan karakter masing-masing yang unik. Dari bidang begitu rupa ragam warnanya. Meliputi urusan pertahanan, keamanan, politik, ekonomi, hukum, agama dan sosial. Dari urusan perang sampai urusan lalu lintas. Dari urusan pajak dan perbankan hingga urusan haji. Dari urusan prajurit dan militer sampai urusan tenaga kerja. Pun terkait dengangerakan perlawanan DII/TII, Permesta, PKI, GAM dan Teroris.
Salam Kompasiana.
Sumber:
Hendra Budiman. Indonesia Dalam Hikayat Perpu. Naskah tidak diterbitkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H