Mengikuti proses tuduhan yang ditujukan kepada ketua KPK Abraham Samad (AS), lambat laun menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan itu disebabkan bercampurnya opini politik dan hukum. Meskipun harus diakui kedua ranah ini tidak bisa dipisahkan dengan garis demarkasi yang tegas. Semakin tidak jelas, tuduhan-tuduhan baru terus saja dialamatkan pada AS. Bercampur dengan dramatisasi bak kisah dalam sinetron. Melalui tulisan ini, saya mencoba memisahkan perkara satu dengan perkara lain, memisahkan opini politik dengan hukum. Meskipun kenyataannya tidak semudah itu. Ditulis dalam bentuk tanya jawab:
Tanya: Apakah barang cetakan tulisan Rumah Kaca Abraham yang dibawa oleh KPK Watch ke Mabes Polri dapat dijadikan barang bukti?
Jawab: Tidak bisa.
Tanya: lho, kenapa tidak bisa? Bukankah di tulisan itu jelas peristiwa yang melibatkan AS?
Jawab: Barang bukti itu alat yang digunakan pelaku dalam melakukan tindak pidana. Memangnya AS menggunakan tulisan itu untuk melakukan tindak pidana? Kalau dibalik malah bisa.
Tanya: maksudnya?
Jawab: Misalnya AS melaporkan Sawito yang menulis di Kompasinana. Nah, tulisan itu bisa dijadikan alat bukti.
Tanya: Tadi saya tanya barang bukti, kho sekarang malah alat bukti.
Jawab: Memang iya. Dalam tindak pidana seperti pencemaran nama baik menggunakan perangkat elektonik, menurut UU ITE, cetakan elektronik itu bisa dijadikan alat bukti.
Tanya: Jadi dalam laporan KPK Watch tadi, tulisan itu tidak beguna sama sekali?
Jawab: Ya berguna. Sebatas bukti saja. Tapi bukan barang bukti atau alat bukti.
Tanya: Saya tambah bingung. Bukti, barang bukti dan alat bukti.
Jawab: Tambah bingung lagi kalau nanti saya jelaskan beda antara bukti permulaan dengan bukti yang cukup.
Tanya: Polisi menggunakan UU KPK yang bilang AS telah melakukan tindak pidana. Kenapa bisa begitu?
Jawab: Maksudnya AS dianggap telah melanggar Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 65 UU KPK. Kalau itu, ya bisa lah. Soal apakah AS benar melanggar atau tidak, biar pengadilan yang memutuskannya.
Tanya:Tapi apa salah seorang pimpinan lembaga negara bertemu dengan politisi?
Jawab: Tidak.
Tanya: Lalu kenapa AS dianggap salah?
Jawab: Seperti saya bilang tadi, salah atau benar, biar pengadilan yang memutuskan. Tapi pelapor atau penyidik sebatas membuat dugaan saja.
Tanya: Dugaannya apa?
Jawab: AS bertemu dengan pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang ditangani KPK. Itu pointnya.
Tanya:Maksudnya, AS menjanjikan sesuatu kepada politisi PDIP itu untuk meringankan hukuman Emir Moeis?
Jawab: Ya dan Tidak.
Tanya: Saya bingung, maksudnya?
Jawab: Ya, karena perkara Emir Moeis pada waktu pertemuan itu berlangsung, sedang ditangani KPK. Sedangkan Tidak, rumusan Pasal 36 ayat (1) tidak bicara soal menjanjikan sesuatu atau memberi imbalan apapun. Jadi melakukan hubungan saja sudah dilarang. Terlepas AS menjanjikan atau tidak menjajikan.
Tanya: Kata pengamat hukum, polisi harus membuktikan dulu apakah AS pernah menjanjikan atau tidak.
Jawab:Pengamat itu kebanyakan baca UU Tipikor. Lupa membaca Pasal 36 UU KPK.
Tanya:Apa yang harus dibantah dan dibuktikan AS?
Jawab:Gampang. Dia harus bisa membantah kalau tidak pernah melakukan pertemuan itu sebelum tanggal 10 Maret 2014.
Tanya: Kenapa 10 Maret 2014?
Jawab:Sampai 10 Maret 2014, KPK masih menangani perkara Emir Moeis. Misalnya, benarkan saja ada pertemuan itu entah apa saja yg diomongkan setelah tanggal itu. Bilang, benar saya melakukan pertemuan dengan petinggi PDIP membahas pencalonan diri saya sebagai Capres pada bulan April 2014, misalnya.
Tanya: Lho tadi bilang, tidak dibenarkan berhubungan dengan pihak lain?
Jawab:Rumusan Pasal 36 ayat (1) itu bilang pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang ditangani KPK. Kan sejak tanggal 10 Maret 2014, KPK tidak lagi menangani perkara Emir Moeis.
Tanya: Sebentar, seingat saya sejak bulan November 2013, perkara Emir Moeis sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Jawab:Benar.
Tanya:Berarti sejak November 2013 tidak lagi ditangani KPK dong.
Jawab: Salah.
Tanya:Dimana salahnya?
Jawab:Kamu berpikir tugas KPK itu sama seperti polisi. Hanya penyelidikan dan penyidikan. Ada satu tugas KPK lain yang luput diingat yaitu penuntutan. Benar sampai November 2013, tugas penyidikan KPK selesai dan dilimpahkan ke Jaksa KPK untuk melakukan penuntutan. Nah, tugas Jaksa KPK itu membuat dakwaan dan tuntutan. Tuntutan yang dibuat Jaksa KPK dibacakan pada 10 Maret 2014.
Tanya:Tapi apa bisa AS mengubah-ubah tuntutan Jaksa KPK pada perkara Emir Moeis?
Jawab: Ngga ada hubunggannya.
Tanya:Maksudnya ?
Jawab:Unsur dalam Pasal 36 itu tidak bilang, pimpinan KPK mempengaruhi atau mengubah tuntutan. Mau diubah atau tidak, ngga ada urusannya. Pointnya sebatas melakukan pertemuan dengan pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang ditangani KPK. Itu saja. Jadi dalam proses pembuktian, tidak ada relevansinya apakah AS mengubah tuntutan Jaksa KPK atau tidak.
Tanya: Kalau benar begitu, berarti petinggi PDIP yang ketemu AS harus dihukum juga.
Jawab:Dihukum dari Hongkong. Tidak ada sangkutpautnya.
Tanya: Lho biasanya kan dalam suatu tindak pidana persengkongkolan bukan hanya satu orang saja yang dihukum.
Jawab:Benar. Bisa kena delik penyertaan.
Tanya:Lho, tadi kamu bilang ngga ada hubunggannya.
Jawab:Soalnya kamu pakai KUHP. Sedangkan tuduhan pada AS menggunakan Pasal 36 UU KPK. Disitu hanya disebut “ Pimpinan KPK”. Kecuali disebut seperti KUHP, “setiap orang”.
Tanya:Misalnya yang ketemu adalah Hasto dan Tjahjo, mereka tidak bisa dihukum?
Jawab:Ya, ngga lah.
Tanya: Wah enak bener, ya
Jawab: Itulah ngga enaknya jadi pimpinan KPK. Misalnya Jaksa atau Polisi ketemu dengan pihak lain yang perkaranya sedang ditangani, apakah bisa dihukum? Tidak. Karena UU Kejaksaan dan UU Kepolisian tidak mengatur pelarangan itu. Sering kita dengar Polisi mendatangi keluarga atau kerabat tersangka. Tindakan ini menurut UU Kepolisian bukan pelanggaran atau tindak pidana.
Tanya: Katanya Hasto punya bukti?
Jawab: Apa buktinya ?
Tanya:Di koran-koran bilangnya ada rekaman suara AS dan rekaman CCTV, bisa bahaya AS kalau ada bukti itu.
Jawab: Bahaya darimana?
Tanya:Lho itu kan ada rekamannya.
Jawab: Alat rekam elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti. Mau satu truk juga, ngga ada pengaruhnya.
Tanya: Lho, KPK biasanya menggunakan alat bukti sadap di persidangan, bisa kan?
Jawab:Beda perkaranya, bro. Alat bukti elektronik hanya bisa digunakan dalam perkara ITE, terorisme, korupsi dan pencucian uang. Diluar itu tidak bisa.
Tanya: Artinya foto-foto yang ditunjukan sama Arteri Dahlan itu juga tidak ada pengaruh ya?
Jawab: Tidak ada pengaruhnya. Itu sekedar dramatisasi saja. Tidak punya pengaruh apapun pada proses hukum.
Tanya: Hasto bilang, kalau AS menganggap dirinya tidak bersalah tinggal dibuktikan saja nanti.
Jawab: Kho enak benar. Dia yang nuduh, orang lain yang suruh membuktikan.
Tanya: Biasanya kan KPK bilang begitu sama tersangka yang ditangani KPK selama ini.
Jawab: Beda perkaranya. Hanya perkara tindak pidana pencucian uang, beban pembuktian terbalik bisa dilakukan. Meskipun hakim belum sepenuhnya menggunakannya. Tapi, satu-satunya perkara yang bisa menggunakan asas pembuktian terbalik hanya pencucian uang.
Tanya: Kata Hasto, AS marah dengan BG karena ada tindakan balas dendam yang menjegal dia jadi Capres.
Jawab: Wah, itu urusan politik. Tidak menjadi pertimbangan hukum.
Tanya: Jadi apa yang menjadi pertimbangan hukumnya?
Jawab: Penyidik tinggal membuktikan saja, bahwa sebelum tanggal 10 Maret 2014, AS bertemu dengan orang-orang PDIP. Itu saja. Tidak lebih tidak kurang.
Tanya: Jadi tidak perlu membuktikan apa yang menjadi pembicaraan dalam pertemuan itu?
Jawab: Tidak perlu. Terserah mau ngomong apa disitu.
Tanya: Apa yang harus dilakukan AS?
Jawab: Kan tadi sudah saya bilang. Praktisnya begini, AS bisa saja membuat alibi. Menghadirkan saksi yang meringankan dan bilang, hari itu AS tidak melakukan pertemuan tapi ada ditempat lain.
Tanya: Setahu saya, sebelumnya AS sering ketemu kho dengan para petinggi parpol. Misalnya waktu deklarasi. Tapi tidak ada yang mempemasalahkan.
Jawab: Soalnya waktu itu tidak ada laporan ke Polisi
Tanya: Kenapa baru sekarang ada yang lapor?
Jawab: Itu urusan politik.
Tanya: Kho bisa-bisanya dalam UU KPK ada aturan seperti itu. Ketemu saja dilarang. Aturan darimana itu?
Jawab: Aturan seperti memang lazim diperuntukan bagi hakim-hakim. Awalnya dari tradisi hukum di Amerika. Hakim disana seperti diisolasi. Bertetangga saja tidak boleh. Apalagi kalau ketauan pergi ke pesta. Tapi aturan itu dikatagorikan sebagai pelanggaran etika profesi hakim. Baru UU KPK, yang menyatakan aturan seperti itu dikatagorikan sebagai tindak pidana.
Tanya: Bukankah KPK juga punya ketentuan Etika Profesi juga?
Jawab: Benar.
Tanya: Apa bedanya, contohnya seperti apa?
Jawab: Misalnya AS melakukan pertemuan. Hanya pertemuan saja dengan pihak lain. Terserah apa ada hubunggannya dengan perkara yang tengah ditangani atau tidak. Pokoknya melakukan pertemuan, hukumnya wajib memberitahu pimpinan KPK yang lain. Atau AS bermain golf dengan pihak lain.
Tanya: Haaah, bermain golf aja dianggap melanggar kode etik? Kalau main catur dengan pihak lain, melanggar ngga?
Jawab: Kamu aja yang bikin aturan sendiri.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H