Membaca berita proses praperadilan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan (BG), saya terkekeh sendiri. Prilaku dan tindakan yang dilakukan oleh kuasa hukum BG meruntuhkan pengetahuan hukum yang saya terima di sekolah dulu. Pertunjukan itu tak lebih dari sekedar komedi. Tontonan menghibur yang tak ada sangkutpautnya dengan kewenangan praperadilan. Dari sejumlah saksi yang dihadirkan dan akan dihadirkan; tumpukan berkas yang katanya bukti dan dalil-dalil yang dikemukakan. Mungkin bagi kebanyakan masyarakat awam, tontonan itu dapat memberi pengetahuan baru yang maha dahsyat. Tapi bagi saya, tak lebih dari komedi yang tidak lucu.
Pada dasarnya praperadilan itu sidang pemeriksaan yang sederhana dan kewenangannya terbatas. Hanya untuk memeriksa dan memutuskan apakah penangkapan, penahanan, pengentian penyidikan, penghentian penuntutan dan penyitaan itu sah atau tidak. Ringkasnya apakah upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum itu sah atau tidak. Itu saja. Lebih ringkas lagi, hanya memeriksa surat. Entah surat penangkapan, dan seterusnya. Hampir mirip dengan PTUN yang memeriksa surat. Apakah surat itu sah atau tidak? Tinggal dibuktikan saja di persidangan. Makanya sidang putusan praperadilan hanya memakan waktu maksimal 7 (tujuh) hari. Karena itu tadi sidang yang sederhana. Bahasa hukumnya, memeriksa syarat formil.
Saya tidak akan lagi mengulas apakah penetapan tersangka itu masuk dalam obyek perkara praperadilan atau bukan. Sudah banyak yang mengulasnya. Saya akan mengikuti jalan pikiran dari kuasa hukum BG saja. Dari apa yang telah dilakukan selama dua hari proses persidangan itu, nampaknya kuasa hukum BG tidak dapat memisahkan mana persidangan di Tipikor, dan mana persidangan praperadilan. Dicampur aduk jadi satu. Dengan masuk ke pokok perkara. Padahal pokok perkara yang berkaitan dengan syarat formil itu nanti akan dijelaskan panjang lebar dalam pembacaan eksepsi di pengadilan Tipikor. Meski begitu, saya ikuti saja jalan pikiran kuasa hukum BG yang sudah melampaui pagar praperadilan itu.
Kita berandai-andai saja. Andai praperadilan punya wewenang untuk memeriksa penetapan tersangka. Fokuskan saja pada surat perintah penyidikan (Sprindik). Dalam perkara ini Sprindik No. 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015. Dengan pedoman KUHAP, apakah Sprindik itu sah atau tidak. Kata KPK sah, sebagai tindak lanjut dari Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) No. 36/01/06/2014 tanggal 2 Juni 2014 (sumber). Dimana peningkatan perkara tersebut disesuaikan dengan temuan tim penyelidik KPK atas tindak pidana korupsi terhadap BG. Ya, sebatas itu saja.
Karena tidak mau kalah, lalu cari dalil lain. Mempertanyakan dua alat bukti yang sah sebagai dasar penetapan sebagai tersangka. Tidak mungkin alat bukti itu dibuka oleh penyidik (KPK) sebelum digelar sidang pengadilan di Tipikor. Hanya pengadilan yang berhak nantinya menilai apakah alat bukti itu sah atau tidak. Hakim praperadilan tidak punya wewenang memutuskan bahwa alat bukti itu sah atau tidak. Karena masing-masing punya jalurnya sendiri-sendiri.
Tetap tidak mau kalah lagi, dicari alasan bahwa penetapan BG sebagai tersangka tidak sah. Karena Sprindik itu hanya ditandatangani oleh empat orang pimpinan KPK dari jumlah seharusnya lima orang (sumber). Dalil ini yang membuat blunder. Praperadilan selalu berpedoman pada KUHAP bukan kitab hukum atau undang-undang yang lain. Untuk memperkuat dalil itu digunakanlah UU KPK. Padahal UU KPK masuk dalam katagori hukum tata negara bukan hukum acara pidana. Dalil itu mengutip Pasal 21 ayat (5) UU KPK dan Penjelasannya tentang pengertian “kolektif kolegial”. Bantahan KPK pun berdasarkan ketentuan hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Dengan mengutip Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2009 dan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No: 49/PUU-XI/2013 tanggal 14 November 2013. Pertunjukan praperadilan jadi sengkarut. Bukannya berdebat soal hukum acara pidana malah saling debat soal tafsir Pasal 21 ayat (5) UU KPK. Sama sekali tidang nyambung dengan sidang praperadilan.
Tidak cukup hanya disitu. Kuasa hukum BG bilang, KPK tidak berwenang menyidik BG dalam perkara yang dilakukan pada tahun 2003. Saat itu BG sebagai Karobinkar Polri dengan jenjang eselon II (sumber).Dalam UU KPK, eselon II tidak termasuk dalam katagori penyelenggara negara. Sekali lagi UU KPK digunakan sebagai dasarnya. Meski begitu kutipan “eselon” tidak ada dalam UU KPK tapi terdapat dalam UU No. 28 Tahun 1999. Dalam Penjelasan apa yang dimaksud dengan “pejabat lain”. Andaipun ingin dibantah dengan mudah dapat dipatahkan. Bahwa Pasal 16 UU KPK menyebut dua jabatan: pegawai negeri atau penyelenggara negara. Lalu siapakah pegawai negeri itu? Pasal 2 ayat (1) UU 43/1999 dan Pasal 1 ayat 2 jo Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Kepolisian menyebut bahwa anggota Kepolisian RI termasuk pegawai negeri. Tidak ada urusan dengan eselon. Tapi pasti mengutap-kutip pasal di undang-undang lain diluar KUHAP, menjadi proses praperadilan menjadi semakin tidak jelas. Undang-undang lain diluar KUHAP ikut dibawa-bawa.
Tambah keblinger, saat mengemukakan dalil bahwa KPK menduga Budi Gunawan melakukan korupsi dan pencucian uang pada tahun 2003. Sedangkan UU Tindak Pencucian Uang baru berlaku pada tahun 2010 (sumber). Apakah sangkaan itu benar atau tidak, dalil yang dikemukakan sudah masuk ke pokok perkara. Harusnya hal ini dikemukakan dalam pembacaan eksepsi di Tipikor. Tapi, okelah saya ikuti saja jalan pikiran yang aneh ini.
Faktanya, Sprindik yang dikeluarkan oleh KPK mensangka BG melakukan tindak pidana suap/gratifikasi dan tidak ada sangkaan pencucian uang. Terlihat pada Pasal yang disangkakan: Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 atau 12 B UU Tipikor. (sumber). Tidak ada pasal sangkaan berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Andaipun ada pasal sangkaan itu, sah saja KPK menggunakan UU Tipikor tahun 2010. Sebab Pasal 95 UU 8/2010 menyebutkan “Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002”. Hal yang sama pernah dikemukakan oleh kuasa hukum terdakwa Joko Susilo dalam eksepsinya. Dengan alasan tempus delicti 2003 tidak dapat dijangkau oleh UU 8/2010. Tapi kemudian ditolak hakim, karena Pasal 95 UU 8/2010 itu.
Tapi apapun itu semua, proses persidangan praperadilan yang sedang dan akan berlangsung itu telah menyuguhkan komedi yang tidak lucu. Mendatangkan saksi (yang melihat, mendengar dan menyaksikan langsung) tidak berhubungan dengan Sprindik. Membawa bukti berupa dokumen tertulis yang tidak ada hubungannya dengan Sprindik. Menggunakan dalil hukum diluar KUHAP. Mencampuradukan syarat formil dan pokok perkara (materiil). Jadi kita tonton saya komedi ini.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H