Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tipuan Ancaman Politisi

19 Februari 2015   21:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:52 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terus terang, saya jarang sekali mengartikan pernyataan yang keluar dari mulut politisi dalam pengertian harfiah. Pernyataan tersurat dan eksplisit. Pernyataan itu selalu ada tendensi, bermakna ganda, terselubung dan terselip pesan. Termasuk beberapa keputusan politik yang lahir di gedung DPR. Sarat kepentingan. Karena memang itulah politik.

Sebab pernyataan politik seperti itu jika diteropong menggunakan kajian akademik yang ilmiah pastilah gugur. Hampir tidak ada nalarnya. Keabsahan nalar dan rumusan teori sekolahan sulit untuk dicarikan pembenarannya. Sialnya, para akademisi, ahli dan pengamat yang sering tampil di media televisi memberi pembenaran ilmiah. Ujung-ujungnya kredibilitas ahli anjlok seketika karena membenarkan pernyataan politik yang bukan itu maksud secara eksplisit.

Misalnya, saat anggota DPR bicara akan melakukan interpelasi atau mau menggunakan hak angket. Memang di sekolah, hak itu milik DPR dan dapat dipergunakan. Tetapi, tidak bisa dijelaskan secara text book, mengapa hak itu kemudian dipergunakan? Menjelaskan secara normatif. Karena fakta-fakta politik tidak gamblang nampak di permukaan. Menjadi latar dari penggunaan hak-hak tersebut. Secara sederhana, saya menafsirkan bahwa ketika anggota DPR meneriakan hak-hak itu tidak lebih gertak dan menebar ancaman. Karena tidak diakomodirnya kepentingan atau mengajak melakukan pertukaran kepentingan.

Kita bisa lihat contohnya. Saat pemerintah Jokowi menaikan harga BBM bersubsidi, fraksi-fraksi di DPR menyatakan akan melakukan interpelasi. Lalu apa yang kemudian terjadi? Muncul kehebohan bukan soal interpelasi tapi materi interpelasi tentang kenaikan harga BBM. Banyak ahli dan pengamat menyorot tentang kenaikan harga BBM dikaitkan dengan soal kesejahteraan rakyat, dengan turunya harga mentah dunia, dengan postur anggaran APBN 2014, dengan alokasi anggaran subsidi. Semua sibuk dengan perdebatan yang sebenarnya tidak substansial dari gertak yang dilakukan oleh anggota DPR. Lalu apa kelanjutannya? Sampai hari ini ancaman interpelasi yang pernah diucapkan oleh politisi fraksi partai Demokrat, Golkar dan PKS, sudah sepi, nyaris tak terdengar. Sungguh kasian para ahli dan pengamat yang sudah memberi pembenaran ilmiah (khususnya dari sudut pandang ekonomi) atas kecaman DPR itu.

Pun begitu saat Bambang Soesatyo dari fraksi partai Golkar yang akan melakukan interpelasi atas program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Berbondong-bondong para ahli dan pengamat melakukan analisanya atas pelayanan kesehatan. Membandingkan KIS dan BPJS. Mempertanyakan pos anggaran dan legalitas hukum program itu. Menggunakan data orang miskin dan layanan kesehatan di sejumlah rumah sakit. Tapi apa yang terjadi kemudian? Ancaman interpelasi sepi dan nyaris tak terdengar lagi.

Sejumlah fraksi di DPR khususnya yang tergabung dalam KMP sudah menggalang akan melakukan interpelasi. Dasarnya pemerintahan Jokowi dianggap telah melanggar ketentuan UU No.12/2014 tentang APBN Perubahan. Selain tentang kenaikan harga BBM juga turut dipersoalkan tentang program-program perlindungan sosial. Bahkan pada bulan November 2014, ditargetkan akan terkumpul 300 tanda tangan untuk mengajukan usul hak interpelasi. Lalu apa yang terjadi ? Rapat Paripurna DPR tanggal 13 Februari 2015 telah mengesahkan APBN-P 2015. Kemanakah perginya “bunyi” interpelasi itu? Nyaris tak terdengar.

Kenapa tiba-tiba anggota DPR yang awalnya garang dengan ancaman interpelasi bisa layu sebelum berkembang. Sulit untuk menduganya, karena fakta-fakta politik tidak semua bisa terungkap di permukaan. Yang pasti gertak dan ancaman itu sirna karena kepentingan telah dipenuhi. Apa kepentingan yang dimaksud? Saya juga tidak tahu. Hanya menduga-duga saja.

Dugaan saya, suara-suara garang dan kritis itu hilang ditelan bumi ketika pemerintah Jokowi memberi tambahan anggaran sebesar Rp 1,6 triliun bagi anggota DPR.Dengan nama mata anggaran “rumah aspirasi”. Artinya masing-masing anggota DPR kebagian uang Rp1,78 miliar untuk tahun anggaran 2015. Selain itu ada pula dana penanggulangan lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar. Dua mata anggaran ini tidak ada dalam APBN sebelumnya.

Dana “rumah aspirasi” bagi semua anggota DPR itu diperuntukan gaji tenaga ahli dan biaya operasional rumah aspirasi di masing-masing daerah pemilihan. Saat ini, 1 (satu) orang anggota DPR memiliki 3 (tiga) orang tenaga ahli. Bila ditambah lagi dengan 2 (dua) orang tenaga ahli di rumah aspirasi, berarti ada 5 (lima) orang tenaga ahli setiap anggota DPR (sumber). Rata-rata gaji tenaga ahli berkisar Rp 10 juta per bulan per orang. Di luar gaji staff biasa – setiap anggota punya 2 (dua) orang staff – yang digaji Rp 7,5 juta per bulan. Apakah dengan penambahan anggaran dan tenaga ahli akan berkorelasi positif dengan meningkatnya kinerja dan profesionalisme anggota DPR? Tidak ada hubungannya.

Yang pasti, dalam APBN-P 2015 terdapat mata anggaran tambahan yang diperuntukan untuk semua anggota DPR sejumlah Rp 1,6 triliun. Tambahan ini membuat anggaran DPR tahun 2015 menjadi Rp 5,192 triliun. APBN-P yang sebelumnya gencar diserang dengan ancaman interpelasi.

Di lain pihak, bisa jadi kebijakan ini juga siasat Jokowi. Siasat klasik memberi gula-gula untuk anak yang menangis. Maksud interpelasi itu bukan untuk mempertanyakan pencabutan subsidi BBM. Pun bukan mempersoalkan pengalokasian anggaran dari dana subsidi tadi ke mata anggaran lain. Tapi yang dilihat ada “uang nganggur” dari pencabutan subsidi BBM tersebut. Daripada “uang nganggur” itu seluruhnya dialokasikan untuk program-program kesejahteraan rakyat, “jatah anggota DPR” mana? Bukankah anggota DPR juga rakyat yang wajib disejahterakan oleh pemerintah.

Point tulisan ini bahwa ancaman dan gertak anggota DPR yang diucapkan dalam pernyataan politik tidak bisa ditafsirkan secara eksplisit. Tidak penting isinya tapi mengapa dia “menangis”, itu yang lebih dalam harus ditelusuri motifnya. Isi pernyataan bisa apa saja dengan alasan apa saja yang dapat dicari-cari pembenarannya. Sebab jika tidak, kita semua yang berada di luar lingkar kekuasaan akan dijebak dan ditipu oleh pernyataan-pernyataan politik itu. Ikut berdebat dengan menggunakan dalil, teori dan berdasar kitab-kitab sekolahan. Menghitung rasio fiskal, indeks kesejahteraan, lifting minyak, dan segala hal yang berbau akademik. Pada kenyataannya semua itu nihil. Pihak-pihak yang bertengkar yang heboh didepan publik itu dengan disertai ancaman pemakzulan pada akhirnya “berpelakuan” setelah gula-gula dibagikan.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun