Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Akibat Dari Putusan Praperadilan

21 Februari 2015   18:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putusan praperadilan yang dihasilkan oleh hakim Sarpin Rizaldi telah menimbulkan kontroversi tersendiri di dunia hukum. Kontroversi tidak saja pada isi dari putusan tetapi juga akibat atau impilikasi dari putusan tersebut. Tulisan ini akan mengulas akibat dari putusan praperadilan itu yang berwujud upaya hukum lanjutan. Upaya hukum sebaiknya dilihat dari aspek positif. Maksudnya, meskipun upaya hukum lanjutan yang akan dilakukan para pihak itu akan menuai kontroversi baru, namun kontroversi akan membuahkan suatu sintesis. Menghasilkan pengetahuan baru di bidang hukum untuk dijadikan pembelajaran dikemudian hari. Berikut bentuk upaya hukum yang (mungkin) akan dilakukan:

PENINJAUAN KEMBALI

Secara khusus perihal ini sudah saya tulis dalam artikel berjudul Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. KPK dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan praperadilan ke Mahkamah Agung (MA). Hanya yang menjadi masalah adalah dasar hukum penggunaan PK atas putusan praperadilan.

Upaya hukum luar biasa ini sebatas menggunakan dasar Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014. Tidak berdasarkan undang-undang. Baik UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) maupun UU No.14 Tahun 1985 (UU Mahkamah Agung). KUHAP pada pokoknya menerangkan bahwa PK untuk putusan pengadilan umum (pidana) yang telah menempuh upaya hukum biasa: banding dan kasasi. Sehingga PK kadang diterjemahkan upaya hukum luar biasa atas putusan kasasi.Sedangkan UU MA secara rinci menjelaskan prosedur dan tata cara pengajuan PK untuk perkara perdata, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Sementara hukum acara PK untuk praperadilan (pidana) tidak diatur jelas di kedua undang-undang tersebut.

SEMA 4/2014 yang menjadi landasan hukum permohonan pengajuan PK menimbulkan tiga masalah pokok: pertama, prosedur dan tatacara (hukum acara) pemeriksaan tidak dijelaskan secara jelas dan rinci; kedua,tidak jelasnya frasa “penyelundupan hukum” yang menjadi alasan pengajuan PK atas putusan praperadilan. Ketiga, SEMA tidak termasuk dalam perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011. Secara teoritik, SEMA bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan(beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).

Ketidakpastian hukum acara PK atas putusan praperadilan, sebaiknya menjadi perhatian bagi perumus undang-undang untuk melakukan revisi atas KUHAP atau UU MA. Agar ada kepastian dasar hukum yang cukup jelas. Karena selama ini, MA menggunakan sumber hukum berupa yurisprudensi untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan perkara putusan praperadilan (pidana).

KASASI

Tersiar kabar KPK mengajukan kasasi ke MA (sumber). Secara terang benderang, KPK telah menabrak ketentuan dalam Pasal 45A UU MA. Tidak ada kasasi dalam perkara putusan praperadilan. Saya tidak percaya jika kuasa hukum KPK dan orang-orang disekitar KPK tidak mengetahui ketentuan yang sudah jelas ini. Saya menduga ada maksud lain, dari upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh KPK itu.

Alasan logisnya, ketika para pihak mengajukan kasasi, mereka beranggapan bahwa putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap. Dalam konteks ini, KPK tidak hendak menyatakan bahwa putusan praperadilan sudah berkekuatan hukum tetap. Karena belum berkekuatan hukum tetap, lazimnya upaya hukum biasa dilakukan dengan cara banding atau kasasi. Konsekwensinya, dengan anggapan putusan praperadilan belum berkekuatan hukum tetap, KPK tetap bisa melanjutkan proses penyidikan perkara Budi Gunawan. Dengan suatu skenario apabila MA menyatakan kasasi tidak dapat diterima atau Niet Ontvantkelijk Verklaard (NO), baru KPK mengajukan PK. Bila benar dugaan saya seperti itu, kuasa hukum KPK sudah melakukan “politisasi” atas putusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tidak ada pembelajaran hukum yang dipetik dari upaya ini, selain melakukan “politisasi”. Karena jelas Pasal 45A UU MA menyatakan tidak ada kasasi dalam perkara putusan praperadilan.

PENETAPAN MA

Usul adanya penetapan MA untuk membatalkan putusan praperadilan datang dari mantan hakim agung Djoko Sarwoko. Menurut Djoko, MA dapat mengeluarkan penetapan untuk membatalkan putusan praperadilan. Putusan hakim juga dapat langsung dinyatakan batal demi hukum karena hakim praperadilan telah melanggar ketentuan KUHAP. "MA harus cepat merespon karena ini akan mempengaruhi semua proses hukum. MA harus mengeluarkan penetapan mendasarkan pada kewenangan pengawasan MA Pasal 32 UU No.5 Tahun 2004 jo UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA karena itu sudah melanggar UU," katanya (sumber).

Pendapat ini tidak punya landasan hukumnya. Semua putusan pengadilan tak terkecuali putusan praperadilan hanya dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan juga (yang lebih tinggi). Penetapan MA tidak dapat membatalkan putusan praperadilan. Jika hal ini dilakukan, suatu bentuk dari intervensi MA atas kekuasaan hakim yang merdeka dan independen.

Rujukan Djoko dengan mengutip Pasal 32 UU MA pun keliru. Norma dalam pasal tersebut adalah kewenangan dan tugas MA melakukan pengawasan atas tingkah laku dan perbuatan hakimsecara personal. Lewat Badan Pengawas Internal, MA berhak mengeluarkan sanksi kepada hakim yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik hakim. Namun demikian, Penetapan atau surat dari Bawas internal MA itu tidak sertamerta dapat membatalkan putusan hakim. Sekalipun hakim yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Sebagaimana yang pernah dialami oleh hakim Suko Harsono pada tahun 2013. MA lewat surat atau penetapan menjatuhkan sanksi demosi namun tidak membatalkan putusan praperadilan.

GUGATAN REHABILITASI

Kuasa hukum Budi Gunawan akan melakukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi karena merasa dirugikan oleh KPK akibat proses penyidikan (sumber). Gugatan rehabilitasi ini dibenarkan dalam Pasal 63 UU KPK.Seperti disebut dalam Pasal 63 ayat (3) gugatan yang dimaksud diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Tetapi yang jadi masalah adalah batasan kewenangan Pengadilan Tipikor yang sudah jelas tertuang dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 46 Tahun 2009. Sebatas mengadili tindak pidana korupsi.

Baik KUHAP, UU KPK maupun UU Pengadilan Tipikor tidak menjelaskan tata cara dan prosedur pengajuan gugatan rehabilitasi yang lebih tepat dikatagorikan sebagai gugatan perdata. Dengan batasan mengadili tindak pidana korupsi an sich, pengadilan Tipikor tidak punya kewenangan untuk memeriksa gugatan rahabilitasi/ ganti kerugian yang bersifat perdata tersebut.

Andaipun kuasa hukum Budi Gunawan akan melakukan gugatan rehabilitasi, dia harus menunggu terlebih dahulu perkara tindak pidana suap/gratifikasi yang dituduhkan naik ke persidangan. Dengan kata lain, Budi Gunawan harus menjadi terdakwa dulu. Karena kewenangan Tipikor tidak dapat memeriksa perkara (perdata) yang terpisah dari pokok perkara berupa tindak pidana korupsi.

Ini masalah perumusan undang-undang yang tidak sinkron. Satu sisi dalam UU KPK, memberi hak pada setiap orang (tersangka/terdakwa/saksi) untuk melakukan gugatan rehabilitasi tapi disatu pihak UU Pengadilan Tipikor tidak memberi kewenangan pemeriksaan gugatan yang terpisah dari pokok perkara. Pelajaran berharga yang dipetik, sinkronisasi antar perundang-undangan sebaiknya harus disusun lebih cermat. Dalam hal ini, Kementrian hukum dan HAM yang bertugas melakukan sinkronisasi RUU dengan UU yang sudah ada, semestinya lebih cermat lagi.

PELIMPAHAN PENYIDIKAN

Sebagaimana diketahui, putusan praperadilan sebatas menyatakan bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyidikan atas Budi Gunawan (salah subyek hukum). Tetapi tidak menghilangkan peristiwa tindak pidana suap/gratifikasi yang menjadi dasar dilakukannya penyidikan. Ringkasnya, Budi Gunawan tetap dianggap melakukan tindak pidana suap, tetapi KPK tidak berwenang menyidiknya.

Atas situasi ini, pimpinan KPK sementara Taufiequrachman Ruki mengajukan opsi pelimpahan penanganan perkara kepada Kepolisian atau Kejaksaan. "Kan ada mekanisme pelimpahan dan pengambilalihan (perkara). Sepanjang jalurnya adalah hukum, bukan koridor adat (akan dilakukan KPK)," kata Ruki (sumber). Pertanyaannya apa dasar hukumnya dan bagaimana caranya?

UU KPK memang mengenal mekanisme pengambilalihan perkara baik penyidikan maupun penuntutan dari pihak kepolisian atau kejaksaan (vide Pasal 9). Tetapi tidak sebaliknya, dimana KPK dapat melimpahkan perkara atau pihak kepolisian atau kejaksaan dapat mengambilalih dari KPK. Artinya tidak ada dasar hukumnya, opsi yang diajukan oleh Ruki tersebut.

Andaipun ada, inipun akan menimbulkan masalah terutama jika dilimpahkan ke Kepolisian. Sebelumnya pihak Barekrim Mabes Polri telah melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana suap/gratifikasi atau disebut “rekening gendut” Budi Gunawan. Dari hasil penyelidikan itu, tidak ditemukan adanya peristiwa tindak pidana korupsi sehingga tidak dapat dinaikan ke tingkat penyidikan. Bagaimana mungkin kepolisian yang sudah menyatakan tidak ditemukan adanya peristiwa tindak pidana korupsi, tiba-tiba diserahkan berkas dari KPK proses penyidikan yang jelas termuat ditemukannya peristiwa tindak pidana korupsi.

Lalu bagaimana selanjutnya? Tidak jelas. Sekalipun putusan praperadilan telah mencabut penetapan tersangka pada Budi Gunawan, putusan itu tidak bisa mengugurkan proses penyidikan yang sudah berjalan. Menurut UU, KPK tidak bisa menghentikan proses penyidikan yang sudah berjalan (SP3). Andaipun, proses penyidikan tetap berjalan dan harus dinaikan sampai ke penuntutan dan persidangan, pertanyaannya: siapakah tersangka/terdakwanya? Terbukti terjadi peristiwa tindak pidana korupsi, tetapi tersangka atau terdakwanya tidak ada. Bila tetap menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka, bukankah putusan praperadilan sudah menyatakan KPK tidak berwenang menyidik Budi Gunawan yang bukan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum (subyek hukum). Meskipun sudah ditemukan 1000 alat bukti yang sah dan akan menetapkan kembali Budi Gunawan sebagai tersangka. Karena KPK tidak berwenang menyidik Budi Gunawan.

Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa ini,satu sisi putusan peradilan seharusnya juga memperhatikan implikasi dari penerapan hukum yang bersumber dari undang-undang lain. Bila terjadi benturan, maka akan menimbulkan ketidakpastian. Sebaliknya, para perumus undang-undang, khususnya UU KPK memasukan klausula peristiwa ini dalam melakukan revisi. Agar peristiwa-peristiwa yang sama terjadi di kemudian hari, bisa dijawab dan diatasi dengan prinsip kepastian hukum.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun